Pada suatu hari yang biasa, Kampleng menyimak balada seorang Minah.
“Minggu diawal Oktober tahun silam Minah tengah menyusuri perkebunan milik PT Rumpun saat matanya melihat tiga buah kakao matang menggelantung di pohon. Seperti sejumlah warga lainnya, Minah menggunakan lahan tersisa diantara pohon kakao untuk bercocok tanam. Tiga kakao itu kemudian dipetik Minah. Saat mengupas kakao itulah muncul seorang petugas patrol. Sang petugas menduga buah itu akan di jual Minah.
“Kalau dijual sekitar Rp 30 ribu,”ujar sang petugas saat diperiksa polisi sebagai saksi. “Dia meminta aaf sambil menangis,” Sang petugas menyatakan ketika itu ia melepas Minah karena kasihan. Adapun tiga buah kakao dan karung plastic milik minah, ia ambil dan diserahken ke perusahaan.
Rupanya laporan sang petugas berbuntut panjang. PT Rumpun membawa kasus ini ke Kepolisian Sektor. Jajaran polisi bekerja sigap. Minah diperiksa dan jadi tersangka dan dikenai status tahanan rumah. Perkara ini masuk kejaksaan dan Minah didakwa melanggar Pasal362 KUHP dengan ancaman maksimal lima tahun penjara. Lalu, perkara ini disidangkan di pengadilan negeri. Minah sendiri. Tanpa ada pengacara yang mendampingi.
Minah sendiri hanya hadir saat pembacaan dakwaan dan putusan. Kepada hakim ia mengatakan tidak bisa hadir karena tidak punya uang. Maklum untuk mencapai pengadilan dari dusunnya Minah harus berganti kendaraan umum tiga kali dengan ongkos sekitar Rp 100 ribu.
Hari itu adalah hari dimana hakim akan memutus kasus “pencurian” ini. “Saya tidak mencuri, saya hanya mau ambil bijinya untuk ditanam.” Ujarnya pendek dalam bahasa jawa sesaat sebelum sidang digelar.
Di kursi terdakwa, Minah lebih banyak menunduk. Sesekali ia mengusap wajahnya dengan ujung kerudung. “Kulo mboten pengin dihuku, Pak Hakim. Kulo pengin bebas.” Ujarnya dengan suara tercekat. Karena Minah tak memahami bahasa Indonesia, Pimpinan Majelis Hakim membacakan vonis dengan menggunakan bahasa jawa. Menurutnya, Minah terbukti mencuri tiga buah kakao (jika dijual di pasaran harganya sekitar Rp2.000) milik PT Rumpun. Kepada hakim, Minah mengakui perbuatannya.
Meskipun jaksa menuntut hukuman enam bulan, hakim memvonis minah hanya satu setengah bulan 15 hari dengan masa percobaan tiga bulan. Menurut hakim, tidak ada yang memberatkan Minah dalam kasus ini. “Dia petani yang tak akan kaya hanya dengan mengambil tiga kakao.”
Kasus Minah ini tak pelak membuat berbagai pihak prihatin. Di tengah maraknya kasus korupsi miliaran rupiah yang sebagian pelakunya divonis ringan, perkara Minah adalah sebuah ironi. Pada Desember 2008 misalnya, Mahkamah Agung memvonis satu tahun penjara kepada empat anggota DPRD Semarang karena terlibat korupsi Rp 2,16 miliar. Bahkan sebelumnya keempatnya hanya dihukum percobaan oleh pengadilan negeri!