INDONESIA MERDEKA

INDONESIA MERDEKA

Tuesday, November 25, 2008

Jangan Halangi Lastri


Saya kuatir, andai Saya benar-benar gagal ”bertemu” dengan Lastri dalam sebuah setting 1965.. Rencana penciptaan Lastri masih mengendap penuh ketidakpastian dalam berita. Bisa terus, bisa gagal. Tapi saya doakan semoga yang pertama.
Dari layar monitor Saya menangkap kemuraman seorang perempuan. Ia gelisah, dalam debutnya sebagai seorang Produser dengan pilihan yang jauh dari zaman hari ini (dengan memilih Lastri). Tidak Cuma kantongnya yang rugi, pasti juga batinnya sangat. Ia seperti seni yang dilecehkan.
Saya yakin si perempuan tidak sedang menabur propaganda, atau dalam arti yang paling tragis : Komunisme. Perempuan itu hanya akan menyajikan menu drama romantis dalam sosok Lastri. Hanya Cinta lintas ideologi yang kebetulan saja. Lastri adalah seorang aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang condong ke Partai Nasional Indonesia dan Rangga (tokoh kekasih Lastri), adalah anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia. Di sinopsis Saya baca, sejak peristiwa G30S, Rangga lenyap tak jelas rimbanya demi menyelamatkan diri. Lastri yang kalut bertemu dengan seorang alumnus akademi militer. Lastri dipersunting. Tapi beberapa tahun kemudian, setelah situasi politik relatif tenang, Rangga muncul. Menciptakan komplikasi pada sisi batin Lastri, hal yang sebenarnya ingin ditampilkan pembuatnya. Tidak lebih.
”Film ini berisi tentang power of love. Kami tidak mebuat film dokumenter, bahkan based on true story pun tidak,” jerit perempuan itu. Ia ditemani Erros Djarot, sang sutradara yang pasti juga terpukul dengan dahsyatnya. Erros boleh heran, karena ia jadi korban prasangka Front Pembela Islam dan Hizbullah Bulan Bintang. Dua brigade itu yang mencekal Lastri di sebuah desa di Solo. Alasan si komandan brigade, Lastri punya aroma ideologi komunisme, dan ”Kami menolak film Partai Komunis Indonesia”. Kasihan Erros, ia dikeroyok di tanah orang. Brigade yang (selalu) siap konfrontasi, ingin bubarkan paksa jika Erros meneruskan syuting. Sejumlah warga dilokasi syuting yang semula tidak mempersoalkan dan ingin terlibat, tiba-tiba ikut-ikutan menolak film itu.
Erros tidak punya tujuan apa-apa di desa itu selain Lastri sebagai sebuah karya. Ia butuh suasana 60an. Dan baginya desa itu cukup mewakili. Saya yakin awalnya Erros pasti antusias, demikian juga si perempuan dengan soul yang ia sudah temukan. Tapi mimpi menciptakan pilihan yang langka itu harus berubah jadi runyam karna pemboikotan tadi. Yang saya tahu, semula Erros mau nekad melanjutkan syuting, tapi karena semakin hari ancaman semakin mengerikan dan selalu dipingpong tanpa jaminan keamanan, erros memilih mundur.
Ada hal yang belakangan saya tahu, dan itu sangat saya sesalkan. Brigade itu memaksa Erros pergi tanpa berdialog dan membaca skenario Lastri secara utuh. Yang lebih suram Lastri, polisi setempat seolah-olah membenarkan langkah brigade-brigade itu. Saya Cuma kuatir, ”pembenaran” pak polisi dianggap sebagai angin yang mendukung tindakan represif brigade itu selanjutnya di wilayah-wilayah yang lain.
Saya tertarik dengan pernyataan ini : melarang produksi sebuah film adalah tindakan defensif yang tidak sehat. Karya dilawan dengan karya. Kompetisi berlangsung tanpa represi dari siapapun. Potensi yang dimiliki suatu kelompok harus dikerahkan untuk menghasilkan karya (Yang selaras dengan ideologinya) daripada melarang karya orang lain yang tidak sesuai dengan ideologi mereka.
Apalagi kalau mereka menyimak kesimpulan dari cerita Lastri lewat pengakuan seorang ideolog CGMI di bagian akhir : ”Komunisme adalah filsafat yang kering.”
Ah, terlalu banyak hal-hal yang sulit saya mengerti akhir-akhir ini.

Monday, November 24, 2008

Debu Kosmik


Jakarta melenggang sendirian, tanpa deretan pedagang buku bekas di sepanjang Kwitang Raya.. Aku Berduka untuk itu. Memang konglomerasi itu tidak mati, hanya berpindah ruang. Tapi tetap saja, lengang di sore itu membekas..
Aku memang belum terbiasa, apalagi siang itu disebuah kamar di Jogjakarta. ”Demi ketertiban dan menghidupkan kembali fungsi taman kota, semuanya harus dipindahkan...” Dan siang itu kenapa jadi semakin gerah?!
Aku berhenti, ku parkir motorku didepan sebuah bank… Ku pandangi trotoar yang hampa. Tanpa jejak. Ku putar ingatanku kencang-kencang, demi menggarami sensasi sebuah buku yang pertama kali kutemukan disana 8 tahun lalu, Letzte briefe au Stalingrad, sebuah kumpulan surat-surat ribuan tentara Nazi Jerman yang sedang menunggu ajal dalam hidup yang penuh tanda tanya. Ada senyum pahit, itu buku bagus yang sudah hilang entah kemana dan sekarang tempat asal muasalnya juga raib.
Didepan lampu merah, aku mencoba sudut lain. Aku seperti orang gila, yang semakin berkabung kehilangan. Itu tidak mengembalikan apa-apa.
Seminggu kemudian, ku coba singgah ke ruang baru bagi yang terbuang dari kwitang di sebuah sudut tanah abang. Alhamdulilah ramai, tapi entahlah, aku mengecap aroma yang lain.. Banyak yang tidak nampak.. Sekat-sekat baru disana menghilangkan daya magis yang sudah – sudah.
Sudah. Semua sudah berpindah. Yang mutlak sekarang adalah penyesuaianku. Menghirup kembali debu.. yang berbeda