Jakarta melenggang sendirian, tanpa deretan pedagang buku bekas di sepanjang Kwitang Raya.. Aku Berduka untuk itu. Memang konglomerasi itu tidak mati, hanya berpindah ruang. Tapi tetap saja, lengang di sore itu membekas..
Aku memang belum terbiasa, apalagi siang itu disebuah kamar di Jogjakarta. ”Demi ketertiban dan menghidupkan kembali fungsi taman kota, semuanya harus dipindahkan...” Dan siang itu kenapa jadi semakin gerah?!
Aku berhenti, ku parkir motorku didepan sebuah bank… Ku pandangi trotoar yang hampa. Tanpa jejak. Ku putar ingatanku kencang-kencang, demi menggarami sensasi sebuah buku yang pertama kali kutemukan disana 8 tahun lalu, Letzte briefe au Stalingrad, sebuah kumpulan surat-surat ribuan tentara Nazi Jerman yang sedang menunggu ajal dalam hidup yang penuh tanda tanya. Ada senyum pahit, itu buku bagus yang sudah hilang entah kemana dan sekarang tempat asal muasalnya juga raib.
Didepan lampu merah, aku mencoba sudut lain. Aku seperti orang gila, yang semakin berkabung kehilangan. Itu tidak mengembalikan apa-apa.
Seminggu kemudian, ku coba singgah ke ruang baru bagi yang terbuang dari kwitang di sebuah sudut tanah abang. Alhamdulilah ramai, tapi entahlah, aku mengecap aroma yang lain.. Banyak yang tidak nampak.. Sekat-sekat baru disana menghilangkan daya magis yang sudah – sudah.
Sudah. Semua sudah berpindah. Yang mutlak sekarang adalah penyesuaianku. Menghirup kembali debu.. yang berbeda
Aku memang belum terbiasa, apalagi siang itu disebuah kamar di Jogjakarta. ”Demi ketertiban dan menghidupkan kembali fungsi taman kota, semuanya harus dipindahkan...” Dan siang itu kenapa jadi semakin gerah?!
Aku berhenti, ku parkir motorku didepan sebuah bank… Ku pandangi trotoar yang hampa. Tanpa jejak. Ku putar ingatanku kencang-kencang, demi menggarami sensasi sebuah buku yang pertama kali kutemukan disana 8 tahun lalu, Letzte briefe au Stalingrad, sebuah kumpulan surat-surat ribuan tentara Nazi Jerman yang sedang menunggu ajal dalam hidup yang penuh tanda tanya. Ada senyum pahit, itu buku bagus yang sudah hilang entah kemana dan sekarang tempat asal muasalnya juga raib.
Didepan lampu merah, aku mencoba sudut lain. Aku seperti orang gila, yang semakin berkabung kehilangan. Itu tidak mengembalikan apa-apa.
Seminggu kemudian, ku coba singgah ke ruang baru bagi yang terbuang dari kwitang di sebuah sudut tanah abang. Alhamdulilah ramai, tapi entahlah, aku mengecap aroma yang lain.. Banyak yang tidak nampak.. Sekat-sekat baru disana menghilangkan daya magis yang sudah – sudah.
Sudah. Semua sudah berpindah. Yang mutlak sekarang adalah penyesuaianku. Menghirup kembali debu.. yang berbeda
No comments:
Post a Comment