INDONESIA MERDEKA
Friday, July 11, 2008
Strange Dayz
Sebelum harga BBM di negeri kartun itu naik untuk kesekian kalinya, Si Kampleng adalah seorang buruh di sebuah pabrik kompor minyak. Tapi setelah musibah nasional itu terjadi, Si kampleng jadi kehilangan karirnya, ia diberhentikan. Perusahaan tempatnya bekerja hampir bangkrut. Alasan yang diberikan oleh perusahaan adalah karena meningkatnya ongkos produksi yang tinggi karena meningkatnya ongkos bahan bakar pabrik dan menurunnya demand terhadap produksi kompor minyak (masyarakat negeri kartun mulai meninggalkan kompor minyak karena harga eceran minyak tanah yang menggila), memaksa perusahaan untuk merasionalisasi pegawai dengan pemutusan hubungan kerja itu tadi.
Sebulan pasca pemecatan, Si Kampleng masih belum punya pekerjaan baru. Ia tidak punya penghasilan lagi. Bantuan Langsung Tunai, ia gak dapet karena buruknya pelaksanaan.Mau usaha, gak ada modal. Kredit Usaha Rakyat yang dipersiapkan pemerintah negeri kartun gak semudah yang dikomunikasikan di tivi. Padahal, buat makan sehari - hari Si Kampleng juga butuh dana, sementara uang tabungannya menipis. Si Kampleng butuh uang.
Makanya begitu tau Komisi Pemilihan Umum negeri kartun itu mengundi nomor urut partai kartun peserta pemilu dan menentukan tanggal start kampanye partai, Si Kampleng langsung pasang kuda - kuda Troya. "Musim kampanye, partai-partai kartun pasti butuh massa bayaran biar kampanyenya rame. Gak perlu repot, cuma dateng ke panitia. Dapet Kaos + Ikat kepala. Ikut pawai, sambil teriak-teriak membela partai. Mendengarkan pidato. tepuk tangan. teriak-teriak lagi. kalo ada artis dangdut, ikut joged. lalu ambil honor kampanye dan nasi bungkus, trus kaos bisa dibawa pulang!!" Pikirnya singkat tapi jitu. "Anggap saja satu partai membayar 25 ribu perak + makan siang per hari. Kalau ikut kampanye partai saja, saya bisa dapet sekian. Kalau 5 partai itu, berkampanye 10 kali saya jadi bisa dapet sekian," tambahnya sambil mengkalkulasi. "Lumayan!!"
Dengan cepat Si Kampleng segera menginventarisir nama-nama partai kartun yang (ia pikir) punya dana besar. Sederhana saja, "Partai berdana besar, pasti ngasih bayaran yang besar dan "fasilitas" yang oke punya", pikirnya. Dengan cepat pula ia menyimpan nama, lantas susun strategi.
"Hari pertama ikut kampanye Partai Demokartun Indonesia. Hari Kedua ikut kampanye Partai Kartun Indonesia. Hari Ketiga ikut kampanye Partai Kartun Selamanya. Hari keempat ikut kampanye Partai Kartun Banget. Hari kelima ikut kampanye Partai Golongan Kartun. Hari kelima Partai Kartun Persatuan. Demikian dan seterusnya dan seterusnya.
Sejak hari itu si Kampleng memutuskan untuk melacur. Melacur yang bukan tanpa alasan. "untuk apa menjadi konstituen sejati jikalau harapan tidak pernah didengar, dan janji dilupakan?". Beberapa tahun silam Si Kampleng pernah menaruh kepercayaan pada sebuah parti politik. Dengan sepenuh hati mencoblos sang wakil. Partainya dapet suara. Dan sang wakilpun naik ke parlemen dan duduk menjadi anggota dewan yang terhormat.
Tapi kemudian, keadaan jadi semakin tak dikenalinya. Sang wakil berubah jadi sosok yang asing. Harapan, janji menguap entah kemana, bersama angin disela-sela ventilasi rumah rakyat.
Si Kampleng pernah jengah, dalam panas yang terabaikan ia pernah ditipu mentah-mentah. Memang tidak ada komitmen sampai mati dan keingkaran sang wakil kian menjadi.
Si Kampleng mungkin muak.. dengan muak yang tk berkekuatan apa-apa.. Ia hanya akar rumput yang bisa diracun herbisida sewaktu-waktu.
Jika hari ini dan besok, Si Kampleng telah mamasung pikirannya, ia tak bisa disalahkan. Bukan karna tidak ingin jadi rakyat kartun yang taak. Atau abai terhadap politiknya. Si Kampleng hanya ingin mesra dengan Golput, takdirnya.
Tuesday, July 8, 2008
Morrison Bagi The Doors
3 Juli itu benar-benar menjadi sebuah pintu masa depan, bagi John Densmore, Robbie Krieger, atau Ray Manzarek. Mereka bertiga menggantung malam di studio, menunggu kepulangan Morrison. Selang 3 bulan setelah sang vokalis meninggalkan L.A, ia tidak pernah kembali seutuhnya. Hanya nama, hanya kehilangan besar, hanya gejolak nafas panjang pecinta classic rock.
Jim Morrison pamit, mengucapkan selamat tinggal pada para personel The Doors April 1971. Ia ingin pindah ke Paris, melarikan diri dari gejolak ketenaran, sambil menulis puisi. Tak ada yang bisa membiarkan, karena mereka setuju bahwa keberangkatan Jim akan berguna bagi dirinya, “Jim merusak dirinya sendiri, mengkonsumsi banyak alcohol, kelelahan. Kami terancam kehilangan dirinya.” Densmore adalah anggota The Doors terakhir yang berbicara dengan Morrison. “Jim menelpon saya dari Paris, menanyakan perkembangan L.A Woman. Saya ingin tahu apakah Jim mabuk, dan dia memang mabuk”. Morrison ditemukan tewas 3 juli itu, gagal jantung.
Kematian Morrison adalah tragedi band besar itu. Seorang produser musik pernah mengungkapkan, “The Doors adalah satu”, dan kematian Morrison memecahkan ‘satu’ itu, lantas mengungkap keretakan dalam hubungan antar personil The Doors dikemudian hari (sesuatu yang tak pernah terungkap dalam musik agung mereka). “Tanpa Jim, kami semua lari kearah yang berbeda,” tutur Manzarek lirih, “Jim mengharuskan kami bertiga terjun ke dalam liriknya, dan menciptakan musik yang mengitarinya”. Densmore juga mengenang emosinya yang tumpah saat membangun pondasi musik The Doors “Saya tidak tahu kenapa saya melakukan itu. Jim terbawa arus. Dia menyerahkan dirinya kepada musik dan merasuki kami”. Manzarek dan Densmore benar, tanpa Morrison The Doors kehilangan ‘satu’ dari perpaduan empat orang, empat ego yang saling mengimbangi. “Dinamika itu menjadi kacau, karena orang keempat tak ada,” ujar Krieger.
Pasca kematian itu visi musik sisa personel The Doors bubar. Densmore, Manzarek dan Krieger mencoba mencari vokalis baru, tapi gagal karena Morrison terlalu sakral. Tapi untunglah mereka sepakat (pasca kematian Morrison) dalam menjaga warisan musik, membawa presentasi sejarah dan rekaman asli The Doors ke generasi berikutnya. Katalog The Doors terus dirilis ulang, sampai ke soundtrack film pada tahun-tahun sesudahnya. The Doors menjadi daya tarik, menjual 1,5 juta keeping setiap tahunnya, mengalami regenerasi sebagai salah satu keajaiban terbesar dalam dunia musik rock.
Perselisihan Manzarek, Krieger dan Densmore tak hanya itu. Tahun 2003 lalu, Densmore pernah menuntut Manzarek dan Krieger (Yang melakukan tur sebagai The Doors of 21st century bersama vokalis Ian Astbury) dengan tuduhan melanggar kontrak dan menyalahgunakan hak milik. 2 tahun berselang, Densmore memenangkan gugatan, termasuk keputusan larangan (bagi para personel The Doors yang tersisa) untuk menggunakan nama The Doors dalam bentuk apapun.
Namun konflik itu belum juga reda, Manzarek dan Krieger naik banding. Memperdalam esensi perselisihan antara rekan-rekan Morrison. Alasannya, mereka bertiga meyakini bahwa mereka sedang memperjuangkan kehormatan dan nilai-nilai band yang asli dalam sebuah bisnis yang telah berubah sejak the Doors berdiri tahun 1965. Tanpa Morrison, kini dalam Densmore dan Manzarek-Krieger tiada lagi ‘satu’ itu.
Cekcok itu pulalah yang memberi warna keanehan pada perayaan 40 tahun The Doors tahun lalu. Mereka berdiri diblok-blok yang berbeda. Manzarek berdiri di Cat Club (bekas klub London Fog), dimana The Doors tampil live untuk pertama kali di tahun 66. Krieger ada di Whiskey a Go Go, dimana The Doors mengasah stage show eksplosif yang menjadikan mereka bintang. Dan Densmore pun berdiri di Book Soup (bekas Cinematheque 16), dimana Morrison sering membaca puisi-puisinya disana.
Saya memang belum lama memutuskan mencintai The Doors, tapi saya menyayangkan ini. Sayang karena, orang-orang yang melangkah keluar dari akal mereka (dari diri mereka sendiri) untuk memberikan energi yang menciptakan kancah musik L.A ini harus berada dalam ruang yang berbeda dalam mengenang Morrison.
37 tahun setelah kematiannya, kehadiran suara spiritalitas yang krusial Morrison memang masih terasa setiap kali anggota The Doors yang masih hidup memperdebatkan masa lalu dan masa depan musik The Doors. Pada kenyataannya, Manzarek, Krieger dan Densmore harus bertanya kepada diri mereka sendiri, “Apa yang diinginkan Jim?” atau “Itu satu hal yang dapat kita katakan pada Jim. Jika mungkin Jim akan berubah, kita tidak akan tahu Jim mau kemana sekarang”.
Saya sekata dengan mendiang Pamela Courson (janda Morrison)
“The Doors hanyalah Jim, Ray, Robbie dan John. Empat orang itu ajaib. Don’t F**k with it!”.
Monday, July 7, 2008
Lagu Cinta Untuk Lenin
Saya hanya ingin tahu, apa yang dilakukan Lenin dikuburnya. Apakah ditengah persiapan pledoinya atas pertanyaan Munkar dan Nakir, Lenin masih sempat berpikir tentang sebuah ideology yang dimasa lampau pernah dibesarkannya dengan darah, yang kini berangsur membujur lemah dan hampir pudar?
Mungkin Lenin marah, ketika angin Glasnost dan Perestroika tak biasa dicegah, ditahan. Sebab seketika itu pula, semua impiannya kandas, merosot ke keadaan terburuk, lebih buruk ketimbang The Communist Homeland yang merobohkan patung berbentuk dirinya. Pun lebih buruk dari kematiannya (karena Lenin masih punya Stalin dan Chernenko).
Sepanjang umurnya, Lenin urung berhenti berpikir bagaimana organisasi revolusioner versinya harus dibangun. Bagaimana mempertautkan cendekiawan dan kelas buruh atau pekerja. Lenin punya konsep. Sentalistik, ketat, keras dan penuh rahasia. Lenin menciptakan Bolshevik, lantas ia menyetubuhi pengasingannya dengan gelora sosialime yang sexy. Berkeliling Eropa, untuk menggemakan ide sosialisnya yang segar, tanpa meninggalkan teori Marx dan menyusupi pandangannya dalam Marxisme Leninisme. Semangatnya berkobar, membara dalam sekam revolusi demi mempersatukan Negara-negara kecil di bumi Rusia dalam sebuah republik federasi.
Saya tidak pernah tahu, apakah ini adalah bagian dari impian masa kecil Lenin? Mimpi yang mulai mekar bersama bunga-bunga ditepian sungai
Lenin meulai mempelajari tulisan Marx atau Chernoshevsky, memulai kontak kelompok-kelompok revolusioner. Ia menepati janjinya untuk berkembang bersama kaum buruh, agar kelak bisa melahirkan orok perubahan, radikal. Namun, jalan yang ditempuh Lenin tidak mudah. Lenin jatuh bangun untuk sampai pada Revolusi Bolsheviks yang bersejarah itu. Ketika Tsar Nicholas II berkuasa dan membantai para pemogok, Lenin di buang ke
Saat Bolsheviks memperoleh mayoritas suara di Moskow, Lenin memimpin. Ia mengumandangkan revolusinya tak hanya disemenanjung timur Eropa, tapi sampai ke belahan lain dunia. Ia menjalarkan komunisme kemana-mana, merambat sebagai sebuah sistem.
Seorang pengarang pernah menulis, “Tak sesaatpun Lenin merasa kuatir, tinggal seorang diri dalam perjuangan. Ia menciptakan sahabat sebanyak-banyaknya dan merontokkkan musuh-musuhnya. Lenin telah mengembalikan rakyat pada harga diri mereka. Bagi Lenin, cita-cita sosial bukan kepentingan diri sendiri.Semua itu tiada artinya jika tanpa kemenangan. kemenangan adalah segalanya.”
Karena demi kemenangan itulah, Lenin menjelma menjadi sebuah ketakutan sekaligus kekaguman. Lenin menganggap, untuk membangun revolusi yang sempurna, menghabisi lawan adalah keharusan. Tidak ada tempat bagi pembangkang, demikian juga dengan mereka yang membangkang.
Tangan Lenin memamng penuh darah. Tidak terkecuali untuk Anastasia dan keluarganya. Maxim Gorky berbisik, “Lenin, ampuni dia”. Tapi semua tanpa pengecualian. Konon hanya dengan mencoretkan sebuah tanda silang dikertas, Lenin bisa mengakhiri hidup ribuan manusia di kamp tahanan. Begitu beku.
Tibet Dalam Ingatan Seorang Jurnalis
Joshua Kurlantzik masuk ke dalam sebuah ruangan kecil, berbau sangat tak sedap. Joshua mendapati ada dua manusia disana. Seorang Lhundrub Zangmo yang mendung dan seorang wanita muda terbaring diatas sebuah ranjang besi,yang merintih lemah dan muntah darah.
Joshua mengenang cerita Zangmo diruang itu.
“Zangmo dan beberapa biarawan-biarawati Budha meninggalkan Tibet berjalan kaki menembus Himalaya menuju tempat pengungsian rakyat Tibet di India. Mereka adalah yang pertama ditangkap tahun 1990, kerena berdemonstrasi di Lhasa, Ibukota Tibet. Meneriakkan “Free Tibet!!”, menyuarakan kemarahan mereka terhadap kehadiran Cina di tanah kelahiran mereka. Polisi Cina yang bergerak cepat, memukul sampai jatuh dan menyeret mereka ke dalam penjara”.
Joshua mengenang lagi, “Di Drapchi (penjara menakutkan di
Lhasa adalah ibukota dari sebuah kerajaan terpencil dimana para Dalai Lama memipin peradaban yang penuh dengan spiritualitas. Terisolasi dari dunia luar, penduduk Tibet membentuk sebuah agama yang penuh ritual dan tingkatan structural. Bagi orang Tibet, pusat pengabdian mereka adalah Dalai Lama, yang dianggap sebagai dewa. Hubungan spiritual Dalai Lama dan orang Tibet begitu besar. Dalam dunia modern yang penuh dengan perang dan konsumerisme, Dalai Lama yang sekarang (yang hidup dalam pengasingan di Dharamsala, India sejak Cina mengambil alih Tibet pada 1959) telah menjadi ikon dunia, menginspirasi jutaan orang di Barat.
Namun waktu Tibet mungkin akan segera habis. Dalam decade terakhir Cina telah melancarakan perang diam-diam yang kejam terhadap masyarakat Tibet. melucuti “Atap Dunia” dari semua bentuk spiritualitas dan otonomi politik. Secara sistematis Beijing telah mengganti biksu (sebagai pusat kekuatan rakyat Tibet) dengan pimpinan boneka dan membunuh mereka yang menolak mengakui kekuasaan Cina. Cina membanjiri Tibet dengan ribuan imigran asal Chine sendiri, yang mengambilalih kendali atas bisnis local dan mendorong penduduk Tibet dalam kemiskinan dan pelacuran. Cina menegakkan kondisi di Tibet. Kondisi yang mengubah optimisme Dalai Lama menjadi kekhawatiran (secara perlahan-lahan), “Ini adalah masa kritis untuk Tibet, Kita akan menghadapi kepunahan.”
Joshua berjumpa dengan Lhasang Tsering, seorang aktivis terkenal Tibet di pengasingannya sejak meninggalakan Tibet 20 tahun silam. Joshua menuliskan keputus-asaan Tsering, “Saya tidak punya harapan atas masa depan Tibet. Waktu mulai habis. Setiap hari ketika kita duduk disini berdoa untuk perdamaian dunia, Ratusan Cina berdatangan, sumber daya dari Tbiet keluar. Begitu orang Cina memiliki daerah untuk mereka sendiri, mereka mengkondisikan orang Tibet seperti anda orang Amerika melakukan (hal yang sama) dengan orang-orang Indian”. Joshua mengingat, Tsering meletakkan meletakkan kepalanya di tangan, bahunya terguncang hebat karena isakan.
Ketika Cina menduduki Tibet tahun 1959, mereka menghancurkan Negara itu, membiarkan tentara-tentara Mao menghancurkan kuil-kuil, membunuh hampir 1,2 juta orang. Ribuan lainnya dieksekusi, banyak yang meninggal karena kelaparan. Tapi taktik itu tidak berhasil menghancurkan identitas budaya Tibet. Pada akhir tahun 80an, rakyat Tibet yang mulai muak dengan tekanan Cina mulai menyerang balik, membanjiri jalan-jalan di Lhasa, menuntut kemerdekaan. Hu Jintao, seorang birokrat Beijing mengeluarkan perintah darurat perang, menerjunkan ribuan tentara untuk mengunci Tibet. Tapi taktik tangan besi ini justru mengakibatkan dukungan internasional terhadap Dalai lama dan Tibet.
Kini, Cina sudah mengadopsi pendekatan yang lebih lunak. Cina tahu bahwa bersikap keras hanya akan menghasilkan protes keras dari dunia Internasional, mendorong timbulnya perpecahan dibagian lain dari Cina. Cina juga menginginkan ribuan barel minyak dan gas yang baru saja ditemukan di Tibet, sumber daya yang dapat membantu kekurangan bahan baker untuk kemajuan industri Cina yang pesat. Beijing telah menerapkan kebijakan baru yang disebut “merangkul dua tangan”, mendekati rakyat Tibet sembari membungkam mereka yang masih menginginkan kemerdekaan. Beijing tidak lagi menerjunkan barisan tentara dijalan-jalan, menyegel kuil-kuil, namun mencoba mengikis inti dari identitas rakyat Tibet : kependetaan.
Cina telah mengumumkan kebijakan tentang toleransi terhadap Budha. Misalnya Beijing telah mengucurkan dana untuk memperbaiki Potala Palace, dan mebangun kuil baru untuk para Turis. Tapi diblok seberang Potala, seorang pendeta yang tinggal disebuah pondok menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi, “Polisi Cina berpakaian sipil berada ditiap-tiap kuil. Setiap pendeta berkumpul, mereka selalu mengawasi. Orang-Orang Cina melakukan ‘kampanye patriotik” dan semua pendeta dipaksa untuk meninggalkan Dalai lama,” kata pendeta itu pada Joshua.
Disebuah perjalanan di gang kecil di Lhasa kemarin, Joshua bergegas. Ia mencatat “Saya tidak lagi melihat apapun yang yang pernah ada sekitar 25 tahun lalu, diaman para pedagang berkumpul di pasar terbuka, dan para peziarah dengan jubah panjang menggumamkan doa. Kini Lhasa seperti kota modern. Para pekerja konstruksi menggali seluruh kota, membangun jalan baru yang berisi bank-bank dari China, toserba dan restoran cepat saji di depan Jokhang yang suci. Disepanjang jalan utama, taksi dan bus tour Cina memenuhi jalan. Ketika Lhasa dibangun kembali dari bawah, Orang-orang Tibet terdorong ke pinggiran, dibagian baru kota ini. Dan kecepatan perubahan itu semakin tinggi, Cina membuka jalur rel kereta apai ke Tibet, untuk mengangkut ribuan orangnya menduduki Tibet. Uang telah meningkatkan pertumbuhan dan mencipta kemakmuran, tapi itu bukan untuk rakyat Tibet. Tanpa kompnesasi apapun untuk rakyat yang lambat laun akan jadi kaum minoritas di Lhasa!”.
Imigran Cina telah mengambil alih Lhasa, mengbah kebudayaan tradisonal Tibet menjadi sebuah panggung karnaval. Cina telah sukses menyengsarakan Tibet, merampas tanah mereka yang tidak mampu bersaing dengan para imigran. Tingkat kemiskinan Tibet bergerak ke level yang tinggi, mereka mengalami kurang gizi dan tingginya angka kematian bayi. Anak-anak muda jarang mendapat pekerjaan, yang didominasi para imigran. Banyak yang jadi gelandangan, dan terpuruk ke area prostitusi. Ini yang paling menyedihkan bagi Joshua. Di suatu malam ia bercerita, “Di gang belakang Toserba itu, seorang gadis yang masih seperti anak kecil menawarkan oral seks pada saya dengan 5 dollar. Saya menolak, ia lantas menurunkannya menjadi 3 dollar, memohon saya untuk tinggal. Ketika saya menolak lalu pergi menjauh, ia menjerit pedih.”
Dan pada sebuah kesempatan wawancara yang singkat dan ajaib di
Ketika wawancara akan berakhir, Joshua berujar pelan pada Dalai Lama, bahwa ia baru kembali dari Tibet, sebuah daerah yang tidak bisa dikunjunginya selama hampir setengah abad. Dalai Lama tersentak, menampakkan keharuan. “Apakah anda melihat kota-kota baru sepanjang rel? saya mendengar ada banyak kota-kota Cina yang baru disana”. Ketika Joshua mencoba menggambarkan apa yang dilihatnya di Tibet, ia melirik pada pengawal Dalai Lama yang mulai gugup. Seorangterkemuka telah menunggu Dalai Lama untuk sebuah pemotretan. Tapi Dalai Lama mengacuhkan mereka, dan kembali bertanya pada Joshua, “Apakah anda melihat pengaruhnya pada rakyat dan lingkungan?” Dalai Lama begitu antusias menyodorkan keingintahuan pada tanah kelahirannya.
Akhirnya para pengawal, berhasil menarik perhatiannya. Dalai lama menggenggam tangan Joshua dan menatap mata Joshua dalam-dalam, “Terima kasih”.
Ketika menyaksikan Dalai Lama pergi, Joshua teringat bahwa masa depan Tibet terletak pada orang tua ini. Dalam era terror seperti hari ini, pesan damainya dihadapan kehancuran negerinya telah menciptakan sebuah inspirasiluar biasa bagi banyak orang. Tapi terlepas dari pencapaian Dalai Lama, tak ada pemimpin yang bisa menggantikannya dan kekerasan di Tibet akan semakin meningkat jika ia tiada. Butuh waktu lama untuk menunggu Dalai Lama baru memimpin rakyatnya, dan selama itu pula Orang-orang Cina akan terus berdatangan dan generasi berikutnya akan makin menjauhi gerakan damai. Atap Dunia tidak akan dikenal lagi sebagai
“Ini seperti ada pistol ditodongkan dikepala kita dan didepan kita ada jurang”.
Genocide
Malam ini saya sedang terikat pada kalimat ini “ Kita tahu sebabnya ada orang yang percaya bahwa pembunuhan bahkan pembantaian anak-anak bisa halal.
Bukan pada kekecewaan pada ketidaksempurnaan atau bukan pula kekecewaan pada demokrasi, saya merentangkan garis. melainkan pada sisi yang ganda, yaitu kehidupan beragama.
Agama selalu menuntun agar kehidupan manusia tidak kacau balau. Setidaknya secara awam saya menerjemahkan pemahaman saya seperti itu. Tapi sejarah juga mencatat, pemahaman yang “unik” terhadap keagamaan menjadi faktor timbulnya pertentangan, bahkan meletuskan perang yang meluluhlantakkan sebuah bangsa.
Balkan pada awal 1990an, terguncang dalam kisruh. Yugoslavia yang tangguh di era Joseph Bros Tito, remuk terpecah karena pertikaian yang berdarah. Bosnia-Herzegovina, Kroasia,Serbia dan Macedonia berai, memisahkan diri dan berperang atas nama perbedaan agama. “Sekarang pastilah sudah, pertikaian telah menghentikan belajar kami, menutup sekolah kami dan mengirim kami ke kamp pengungsian, bukan ke kelas”, demikian Zlata Filipovic menulis dalam diarinya pada 17 Mei 1992 diantara reruntuhan bangunan di puing-puing Sarajevo. Zlata yang saat itu berusia 13 tahun, bersaksi “Perang bukanlah lelucon. Perang benar-benar menghancurkan, membunuh, membakar, memisahkan, membawa kepedihan”.
Hal serupa juga pernah meremukkan Lebanon. Dalam soal agama,
Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika juga punya catatan kelam.