INDONESIA MERDEKA

INDONESIA MERDEKA

Monday, July 7, 2008

Tibet Dalam Ingatan Seorang Jurnalis

Joshua Kurlantzik masuk ke dalam sebuah ruangan kecil, berbau sangat tak sedap. Joshua mendapati ada dua manusia disana. Seorang Lhundrub Zangmo yang mendung dan seorang wanita muda terbaring diatas sebuah ranjang besi,yang merintih lemah dan muntah darah.

Joshua mengenang cerita Zangmo diruang itu.

“Zangmo dan beberapa biarawan-biarawati Budha meninggalkan Tibet berjalan kaki menembus Himalaya menuju tempat pengungsian rakyat Tibet di India. Mereka adalah yang pertama ditangkap tahun 1990, kerena berdemonstrasi di Lhasa, Ibukota Tibet. Meneriakkan “Free Tibet!!”, menyuarakan kemarahan mereka terhadap kehadiran Cina di tanah kelahiran mereka. Polisi Cina yang bergerak cepat, memukul sampai jatuh dan menyeret mereka ke dalam penjara”.

Joshua mengenang lagi, “Di Drapchi (penjara menakutkan di Lhasa) pada suatu hari ada 4 biarawati menolak untuk melepaskan kepercayaan Budha mereka didepan tentara Cina. Mereka dipukul sampai mati” kata Zangmo Zangmo sambil menatap lantai dan mulai menangis, “Mereka mati bersama-sama”.

Lhasa adalah ibukota dari sebuah kerajaan terpencil dimana para Dalai Lama memipin peradaban yang penuh dengan spiritualitas. Terisolasi dari dunia luar, penduduk Tibet membentuk sebuah agama yang penuh ritual dan tingkatan structural. Bagi orang Tibet, pusat pengabdian mereka adalah Dalai Lama, yang dianggap sebagai dewa. Hubungan spiritual Dalai Lama dan orang Tibet begitu besar. Dalam dunia modern yang penuh dengan perang dan konsumerisme, Dalai Lama yang sekarang (yang hidup dalam pengasingan di Dharamsala, India sejak Cina mengambil alih Tibet pada 1959) telah menjadi ikon dunia, menginspirasi jutaan orang di Barat.

Namun waktu Tibet mungkin akan segera habis. Dalam decade terakhir Cina telah melancarakan perang diam-diam yang kejam terhadap masyarakat Tibet. melucuti “Atap Dunia” dari semua bentuk spiritualitas dan otonomi politik. Secara sistematis Beijing telah mengganti biksu (sebagai pusat kekuatan rakyat Tibet) dengan pimpinan boneka dan membunuh mereka yang menolak mengakui kekuasaan Cina. Cina membanjiri Tibet dengan ribuan imigran asal Chine sendiri, yang mengambilalih kendali atas bisnis local dan mendorong penduduk Tibet dalam kemiskinan dan pelacuran. Cina menegakkan kondisi di Tibet. Kondisi yang mengubah optimisme Dalai Lama menjadi kekhawatiran (secara perlahan-lahan), “Ini adalah masa kritis untuk Tibet, Kita akan menghadapi kepunahan.”

Joshua berjumpa dengan Lhasang Tsering, seorang aktivis terkenal Tibet di pengasingannya sejak meninggalakan Tibet 20 tahun silam. Joshua menuliskan keputus-asaan Tsering, “Saya tidak punya harapan atas masa depan Tibet. Waktu mulai habis. Setiap hari ketika kita duduk disini berdoa untuk perdamaian dunia, Ratusan Cina berdatangan, sumber daya dari Tbiet keluar. Begitu orang Cina memiliki daerah untuk mereka sendiri, mereka mengkondisikan orang Tibet seperti anda orang Amerika melakukan (hal yang sama) dengan orang-orang Indian”. Joshua mengingat, Tsering meletakkan meletakkan kepalanya di tangan, bahunya terguncang hebat karena isakan.

Ketika Cina menduduki Tibet tahun 1959, mereka menghancurkan Negara itu, membiarkan tentara-tentara Mao menghancurkan kuil-kuil, membunuh hampir 1,2 juta orang. Ribuan lainnya dieksekusi, banyak yang meninggal karena kelaparan. Tapi taktik itu tidak berhasil menghancurkan identitas budaya Tibet. Pada akhir tahun 80an, rakyat Tibet yang mulai muak dengan tekanan Cina mulai menyerang balik, membanjiri jalan-jalan di Lhasa, menuntut kemerdekaan. Hu Jintao, seorang birokrat Beijing mengeluarkan perintah darurat perang, menerjunkan ribuan tentara untuk mengunci Tibet. Tapi taktik tangan besi ini justru mengakibatkan dukungan internasional terhadap Dalai lama dan Tibet.

Kini, Cina sudah mengadopsi pendekatan yang lebih lunak. Cina tahu bahwa bersikap keras hanya akan menghasilkan protes keras dari dunia Internasional, mendorong timbulnya perpecahan dibagian lain dari Cina. Cina juga menginginkan ribuan barel minyak dan gas yang baru saja ditemukan di Tibet, sumber daya yang dapat membantu kekurangan bahan baker untuk kemajuan industri Cina yang pesat. Beijing telah menerapkan kebijakan baru yang disebut “merangkul dua tangan”, mendekati rakyat Tibet sembari membungkam mereka yang masih menginginkan kemerdekaan. Beijing tidak lagi menerjunkan barisan tentara dijalan-jalan, menyegel kuil-kuil, namun mencoba mengikis inti dari identitas rakyat Tibet : kependetaan.

Cina telah mengumumkan kebijakan tentang toleransi terhadap Budha. Misalnya Beijing telah mengucurkan dana untuk memperbaiki Potala Palace, dan mebangun kuil baru untuk para Turis. Tapi diblok seberang Potala, seorang pendeta yang tinggal disebuah pondok menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi, “Polisi Cina berpakaian sipil berada ditiap-tiap kuil. Setiap pendeta berkumpul, mereka selalu mengawasi. Orang-Orang Cina melakukan ‘kampanye patriotik” dan semua pendeta dipaksa untuk meninggalkan Dalai lama,” kata pendeta itu pada Joshua.

Disebuah perjalanan di gang kecil di Lhasa kemarin, Joshua bergegas. Ia mencatat “Saya tidak lagi melihat apapun yang yang pernah ada sekitar 25 tahun lalu, diaman para pedagang berkumpul di pasar terbuka, dan para peziarah dengan jubah panjang menggumamkan doa. Kini Lhasa seperti kota modern. Para pekerja konstruksi menggali seluruh kota, membangun jalan baru yang berisi bank-bank dari China, toserba dan restoran cepat saji di depan Jokhang yang suci. Disepanjang jalan utama, taksi dan bus tour Cina memenuhi jalan. Ketika Lhasa dibangun kembali dari bawah, Orang-orang Tibet terdorong ke pinggiran, dibagian baru kota ini. Dan kecepatan perubahan itu semakin tinggi, Cina membuka jalur rel kereta apai ke Tibet, untuk mengangkut ribuan orangnya menduduki Tibet. Uang telah meningkatkan pertumbuhan dan mencipta kemakmuran, tapi itu bukan untuk rakyat Tibet. Tanpa kompnesasi apapun untuk rakyat yang lambat laun akan jadi kaum minoritas di Lhasa!”.

Imigran Cina telah mengambil alih Lhasa, mengbah kebudayaan tradisonal Tibet menjadi sebuah panggung karnaval. Cina telah sukses menyengsarakan Tibet, merampas tanah mereka yang tidak mampu bersaing dengan para imigran. Tingkat kemiskinan Tibet bergerak ke level yang tinggi, mereka mengalami kurang gizi dan tingginya angka kematian bayi. Anak-anak muda jarang mendapat pekerjaan, yang didominasi para imigran. Banyak yang jadi gelandangan, dan terpuruk ke area prostitusi. Ini yang paling menyedihkan bagi Joshua. Di suatu malam ia bercerita, “Di gang belakang Toserba itu, seorang gadis yang masih seperti anak kecil menawarkan oral seks pada saya dengan 5 dollar. Saya menolak, ia lantas menurunkannya menjadi 3 dollar, memohon saya untuk tinggal. Ketika saya menolak lalu pergi menjauh, ia menjerit pedih.”

Dan pada sebuah kesempatan wawancara yang singkat dan ajaib di New York, Joshua bertemu dengan Dalai Lama. “Saya tidak bisa menolak tanggung jawab ini, saya harus memikul itu meninggalkan masa remaja saya,” ujar Dalai Lama yang duduk diseberang Joshua sambil menunduk. Pada momen itu Dalai lama menggambarkan pada Joshua, ancaman-ancaman yang dihadapi Tibet, sikap pemerintah Beijing menurutnya tidak membantu. “Rel kereta baru menuju Lhasa telah membawa pembangunan yang merajalela yang menyebabkan konsekuensi bagi ‘hewan liar dan lingkungan’. Kemudian tekanan demografis meningkat dan masalah ekologi menjadi sangat serius.” Tiba-tiba (kenang Joshua) wajah Dalai Lama menjadi cerah, Dalai bersikeras masih ada harapan di Tibet.

Ketika wawancara akan berakhir, Joshua berujar pelan pada Dalai Lama, bahwa ia baru kembali dari Tibet, sebuah daerah yang tidak bisa dikunjunginya selama hampir setengah abad. Dalai Lama tersentak, menampakkan keharuan. “Apakah anda melihat kota-kota baru sepanjang rel? saya mendengar ada banyak kota-kota Cina yang baru disana”. Ketika Joshua mencoba menggambarkan apa yang dilihatnya di Tibet, ia melirik pada pengawal Dalai Lama yang mulai gugup. Seorangterkemuka telah menunggu Dalai Lama untuk sebuah pemotretan. Tapi Dalai Lama mengacuhkan mereka, dan kembali bertanya pada Joshua, “Apakah anda melihat pengaruhnya pada rakyat dan lingkungan?” Dalai Lama begitu antusias menyodorkan keingintahuan pada tanah kelahirannya.

Akhirnya para pengawal, berhasil menarik perhatiannya. Dalai lama menggenggam tangan Joshua dan menatap mata Joshua dalam-dalam, “Terima kasih”.

Ketika menyaksikan Dalai Lama pergi, Joshua teringat bahwa masa depan Tibet terletak pada orang tua ini. Dalam era terror seperti hari ini, pesan damainya dihadapan kehancuran negerinya telah menciptakan sebuah inspirasiluar biasa bagi banyak orang. Tapi terlepas dari pencapaian Dalai Lama, tak ada pemimpin yang bisa menggantikannya dan kekerasan di Tibet akan semakin meningkat jika ia tiada. Butuh waktu lama untuk menunggu Dalai Lama baru memimpin rakyatnya, dan selama itu pula Orang-orang Cina akan terus berdatangan dan generasi berikutnya akan makin menjauhi gerakan damai. Atap Dunia tidak akan dikenal lagi sebagai Tibet.

“Ini seperti ada pistol ditodongkan dikepala kita dan didepan kita ada jurang”.

No comments: