INDONESIA MERDEKA

INDONESIA MERDEKA

Monday, July 7, 2008

Genocide

Malam ini saya sedang terikat pada kalimat ini “ Kita tahu sebabnya ada orang yang percaya bahwa pembunuhan bahkan pembantaian anak-anak bisa halal. Ada orang yang percaya bahwa orang yang tewas itu adalah korban yang diperlukan untuk memperoleh sebuah efek”.

Bukan pada kekecewaan pada ketidaksempurnaan atau bukan pula kekecewaan pada demokrasi, saya merentangkan garis. melainkan pada sisi yang ganda, yaitu kehidupan beragama.

Agama selalu menuntun agar kehidupan manusia tidak kacau balau. Setidaknya secara awam saya menerjemahkan pemahaman saya seperti itu. Tapi sejarah juga mencatat, pemahaman yang “unik” terhadap keagamaan menjadi faktor timbulnya pertentangan, bahkan meletuskan perang yang meluluhlantakkan sebuah bangsa.

Balkan pada awal 1990an, terguncang dalam kisruh. Yugoslavia yang tangguh di era Joseph Bros Tito, remuk terpecah karena pertikaian yang berdarah. Bosnia-Herzegovina, Kroasia,Serbia dan Macedonia berai, memisahkan diri dan berperang atas nama perbedaan agama. “Sekarang pastilah sudah, pertikaian telah menghentikan belajar kami, menutup sekolah kami dan mengirim kami ke kamp pengungsian, bukan ke kelas”, demikian Zlata Filipovic menulis dalam diarinya pada 17 Mei 1992 diantara reruntuhan bangunan di puing-puing Sarajevo. Zlata yang saat itu berusia 13 tahun, bersaksi “Perang bukanlah lelucon. Perang benar-benar menghancurkan, membunuh, membakar, memisahkan, membawa kepedihan”.

Hal serupa juga pernah meremukkan Lebanon. Dalam soal agama, Lebanon adalah negeri Arab yang plural. Tapi ancaman konflik tetap tak terbendung. Antar agama berperang, menghancurkan Beirut yang mempesona. Mematahkan sajak-sajak Kahlil Gibran.

India pun terkoyak. Peperangan agama nyaris tak berujung. Medio 1940an, kemerdekaan yang baru seumur jagung, menjadi hambar. India langsung terbelah. Ali Jinnah memutuskan memisahkan diri dan membentuk Pakistan. Namun perpisahan itu bukan perpisahan yang manjur. Karena hingga saat ini konflik tetap meraja. Lihat saja pada kegelisahan di Kashmir.

Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika juga punya catatan kelam. Jakarta, Ambon, Kupang, Situbondo menyimpan deretan duka karena kerusuhan berbau konflik antar agama, merasakan angin yang tak sejuk itu.

Dan pastilah dibelahan dunia lain, dimana pengetahuan saya tak cukup untuk merangkum dan menceritakannya kembali. Ah, tiba-tiba saya enggan. Ingin rasanya melepaskan ikatan itu. Terlalu tragis untuk malam ini. Takut nanti gak bisa tidur.

No comments: