Malam ini saya sedang terikat pada kalimat ini “ Kita tahu sebabnya ada orang yang percaya bahwa pembunuhan bahkan pembantaian anak-anak bisa halal.
Bukan pada kekecewaan pada ketidaksempurnaan atau bukan pula kekecewaan pada demokrasi, saya merentangkan garis. melainkan pada sisi yang ganda, yaitu kehidupan beragama.
Agama selalu menuntun agar kehidupan manusia tidak kacau balau. Setidaknya secara awam saya menerjemahkan pemahaman saya seperti itu. Tapi sejarah juga mencatat, pemahaman yang “unik” terhadap keagamaan menjadi faktor timbulnya pertentangan, bahkan meletuskan perang yang meluluhlantakkan sebuah bangsa.
Balkan pada awal 1990an, terguncang dalam kisruh. Yugoslavia yang tangguh di era Joseph Bros Tito, remuk terpecah karena pertikaian yang berdarah. Bosnia-Herzegovina, Kroasia,Serbia dan Macedonia berai, memisahkan diri dan berperang atas nama perbedaan agama. “Sekarang pastilah sudah, pertikaian telah menghentikan belajar kami, menutup sekolah kami dan mengirim kami ke kamp pengungsian, bukan ke kelas”, demikian Zlata Filipovic menulis dalam diarinya pada 17 Mei 1992 diantara reruntuhan bangunan di puing-puing Sarajevo. Zlata yang saat itu berusia 13 tahun, bersaksi “Perang bukanlah lelucon. Perang benar-benar menghancurkan, membunuh, membakar, memisahkan, membawa kepedihan”.
Hal serupa juga pernah meremukkan Lebanon. Dalam soal agama,
Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika juga punya catatan kelam.
No comments:
Post a Comment