INDONESIA MERDEKA
Thursday, April 30, 2009
Pintu
Aduhai, dimana puan mengapa pergi tanpa pamitan
Lembah Ku turuni, bukit nan tinggi ku daki
Aduhai, tak kunjung jumpa mengapa hilang tak tertentu rimba
Laut, hempaskan ku padanya
Bintang tunjukkan arah, oh angin bisikkanlah dimana dia
Hati cemas bimbang, harapan timbul tenggelam..
Permata hati, mungkinkah kelak berjumpa lagi
Gak banyak informasi tentang lirik di atas. SORE – Pergi Tanpa Pesan. Cuma sebaris kata ini : “a reworking of a forgotten Indonesian classic from the late 1950s.
Forgotten?
Untungnya lagu secanggih ini (in my opinion) masih ada yang mengapresiasi.
SORE,.. SOREZEBAND
SORE ?? Siapa SORE?? Baru kemarin magrib seorang drummer kidal menggulirkan itu lagi. Mengulang ketidaktahuan banyak orang..
Karena SORE jarang nongol di tivi??
Bisa jadi, tapi memang saya yang beruntung. Bisa jatuh hati pada “Pergi Tanpa Pesan”,.. lalu kenal SORE.
Lagu itu tanpa basa-basi membuat saya tidak bisa menghindar. Pintu untuk pencarian yang makin penasaran.. Apa lagi yang dilakukan SORE?
Beberapa lagu di beberapa album soundtrack.. Dua album studio mereka “Centralismo” dan “Ports of Lima” sudah saya dapat. Semuanya sudah nyaman dalam playlist sekarang.
Saya putar tak tentu waktu, saya simak. Dan kebanggaan saya atas musik negeri dalam negeri hari ini seperti terselamatkan.
Saya suka SORE. Titik.
Apa musik SORE?? Electrical pop absurd? Indonesiana Rock Revival ? College Rock ? Chamber Pop ? Indie Rock ? Psychedelia??
.., Monggo monggo wae…
Atau,
Imagine The Beatles grew up in the Pacific, listening to the music of Steely Dan, Morrissey, Interpol, and Antonio Carlos Jobim?? Their music is a curious blend of traditional pop song-writings and mood explorations, ranging from the calmest whisper to the Wagnerian exuberance of the horn sections and fuzz guitars??
Sak-karepmu lah..
Yang paling penting : Saya suka SORE. Titik.
Tuesday, April 28, 2009
Entry
Ia menengok ke atas buffet yang ditunjuk sang kakak, tapi karena sedang makan, tidak sempat Pak Koes mengamatinya.
“Award apa?’’
“Dari Partai Rakyat Demokratik”.
Habis makan, Pak Koes gak ingat lagi pada award itu. Tapi sewaktu mau pulang dan sudah di depan rumah, ia ingat dan bertanya pada kakaknya :
“Megawati mau dihajar, ya?”
Ia tanya demikian karena pemberitaan gencar surat – surat kabar sekitar tindakan rekayasa pemerintah untuk menjatuhkan Mega sebagai pempimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Rekayasa itu terlihat sangat gambling, bahkan oleh orang yang buta politik sekalipun. Megawati dan para pendukungnya berkeras menolak paksaan dan pemerintah semakin tidak sabar menghadapinya, dimana angkatan bersenjata sudah tentu siap bergerak.
Apa jawaban kakaknya ia tak ingat lagi. Kalau tak salah, sang kakak mengatakan bahwa sewaktu – sewaktu bisa saja terjadi kekerasan.
Dalam perjalanan pulang menuju rumahnya di Depok, Koesalah naik metromini sampai Megaria dan dari situ meneruskan perjalanan dengan KRL dari stasiun Cikini.
Belum lagi masuk persimpangan depan Megaria, jalanan sudah macet, sehingga ia terpaksa turun dan selanjutnya berjalan kaki. Jalan Dipoegoro macet. Yang dinamakan “mimbar bebas” digelar disitu. Banyak orang bergerombol, dan orasi pembicara pun terdengar dari jauh.
Dari kereta ia sempat melongok ke jendela. Tampak memang manusia membludak, Orang – orang di kiri-kanan pun melongok, tapi tanpa komentar. Karena kereta berjalan cepat, tidak jelas siapa yang berbicara dan apa yang dibicarakan.
Tidak disangka, tiga hari kemudian meletus apa yang dinamakan “Peristiwa 27 Juli”. Hari itu juga televisi menjadikannya headline. Semua orang pun membicarakannya.
Pertama, kantor PDI telah diserbu anak buah Surjadi, ketua PDI hasil kongres di Medan.
Kedua, polisi hadir tetapi tidak bertindak apa-apa.
Ketiga, militer campur tangan, lalu terjadi kekerasan termasuk pembunuhan, dengan korban dalam jumlah banyak.
Keempat, massa menjadi beringas dan membakar sejumlah gedung dan mobil.
Kelima, kerusuhan menjalar sampai ke Salemba, Cikini dan Senen.
Suara umum mengecam pemerintah dan tindakan represif aparat. Sebaliknya pemerintah lewat media massa mengkambinghitamkan PRD!.
Demikianlah yang dirangkum dari sebuah entry catatan pribadi Koesalah Soebagyo Toer tentang sang kakak, Pramoedya Ananta Toer. Sang kakak adalah sebuah monumen. Sudah banyak yang mengupas tentang beliau, baik yang berhubungan dengan karya sastranya, Lekra ataupun Pulau Buru. Sang Adik sadar, bahwa kakaknya bukan hanya lagi milik keluarga. Sang kakak yang telah melambung, melintasi sekat-sekat budaya dan organisasi itu telah menjadi milik bangsa, bahkan telah pula melintasi batas-batas negeri yang menjadikannya menjadi milik internasional.
Tapi “Mas Pram dan PRD” adalah kurva lain. Cuma satu dari sekian banyak sekali entry catatan, beraneka rupa warnanya dan ditulis secara sangat personal, dari seorang adik kepada kakaknya. Ini yang sangat jarang
Sunday, April 26, 2009
Tisu Bekas
Blues punya sejarah sosial, politik dan rasial yang mengusik pikiran. Dalam sejarah awal musikal yang hanya didapat melalui tradisi lisan dimana hampir semua pelakunya adalah kulit hitam yang pada zaman itu masih banyak yang berstatus sebagai budak.
Tapi aku mengenal Blues lewat jendela yang sebaliknya. Lewat seorang Eric Clapton. Ia bukan seorang musisi blues murni, tapi ia menggunakan blues sebagai dasar dalam berkembang. Ia bermain lirih, khas blues. Tapi tak melulu blue, masih ada kehangatan sinar matahari dan romantisme yang seimbang. Sejak itu aku mulai mengintip Blues dari sebilik kamar di sebuah
Aku mulai tertarik dengan B.B King . Orang ini memang racun, ia mixed tangga nada dan reperoir blues dengan teknis jazz ala
Sebuah catatan : “Asal usul blues tidak seperti asal usul hidup, ia tak terlempar begitu saja di dunia”. Demikian itu kembali ikut bergerak dan melayang di pikiran setelah beberapa malam terakhir aku sibuk menyimak DVD konser BB King : Live In