INDONESIA MERDEKA

INDONESIA MERDEKA

Sunday, April 26, 2009

Tisu Bekas

Blues punya sejarah sosial, politik dan rasial yang mengusik pikiran. Dalam sejarah awal musikal yang hanya didapat melalui tradisi lisan dimana hampir semua pelakunya adalah kulit hitam yang pada zaman itu masih banyak yang berstatus sebagai budak. Para budak menyanyikan lagu-lagu yang menceritakan penderitaan berat dan kemalangan mereka sebagai bentuk reaksi terhadap ketertindasan. Seperti penderitaan yang ditampilkan dalam nyanyian dan teriakan berirama juga penghayatan akan kesenduan hidup. Memberi suara untuk rasa terasing dan terbuang yang muncul, akibat perbudakan yang memaksa, semena – mena bahkan sampai membunuh. Mereka melantunkan barisan kata lirih, lalu gitar mereka menyahut dengan melodi selaras melengking menembus dasar hati, konon itulah Blues.

Ada yang pernah menuturkan singkat “Bertahun - tahun musik ini hanya terekam dalam ingatan, dimainkan spontan dan hanya bagi dirinya sendiri”. Menjadi saksi atas perbudakan, perang sipil, kerja paksa, kematian, pembunuhan, pelacuran, penjara. Blues memang identik dengan kegusaran yang pekat dan depresif.

Tapi aku mengenal Blues lewat jendela yang sebaliknya. Lewat seorang Eric Clapton. Ia bukan seorang musisi blues murni, tapi ia menggunakan blues sebagai dasar dalam berkembang. Ia bermain lirih, khas blues. Tapi tak melulu blue, masih ada kehangatan sinar matahari dan romantisme yang seimbang. Sejak itu aku mulai mengintip Blues dari sebilik kamar di sebuah kota kecil. Tidak luas, hanya sedapatnya saja. Aku mulai mengenal Willie Dixon yang gemar berpuisi dengan Blues. Ada sebuah rekaman Willie yang aku dapat, katanya itu rekaman tahun 50an. Sangat kental aroma delta mississipi –nya. Repertoir Willie saat itu makin menyajikan harapan bahwa Blues bisa jadi formula yang magis untuk menghasilkan semangat memulai garap skripsi. Beruntun kemudian aku menemukan Kenny Wayne Shepherd Band, Joe Louis Walker, Clarence G. Brown, Chet Atkins.. Semuanya ku lahap mentah-mentah dan efek sampingnya adalah Blues semakin meradang.

Aku mulai tertarik dengan B.B King . Orang ini memang racun, ia mixed tangga nada dan reperoir blues dengan teknis jazz ala Memphis. Hasilnya memang bener-bener racun.. Aku jadi semakin bergairah menelusuri jejak pemain blues orisinil dengan gaya setipe B.B dalam kiprah Buddy Guy, Otis Rush, Clapton sampai ke Robert Cray dan Stevie Ray Vaughan.

Sebuah catatan : “Asal usul blues tidak seperti asal usul hidup, ia tak terlempar begitu saja di dunia”. Demikian itu kembali ikut bergerak dan melayang di pikiran setelah beberapa malam terakhir aku sibuk menyimak DVD konser BB King : Live In Memphis.. Sebelumnya aku agak jarang menyimak Blues seliat dulu, tapi bisa menyaksikan B.B bermain Blues dengan tulus saat ia tak lagi kuat berdiri, seolah membangkitkan kembali perhatianku pada Blues. Aku jadi ingat, aku masih belum mencicipi Muddy Waters, John Lee Hooker, T-Bone Walker dan Bassie Smith dengan memadai.

Terima kasih atas B.B King Live In Memphis yang tiba-tiba itu. So Thankfull.. Blues terdengar sejuk di siang yang menyengat ini.. Telingaku nyaman saat diperdengarkannya.. Kalaupun aku masih bekeringat, masih ada tisu bekas yang membantu… Everything would be fine,..

No comments: