Koesalah tak ingat lagi untuk keperluan apa pada hari Rabu di bulan Juli 1996 itu ia berkunjung ke rumah kakaknya. Karena datang sekitar tengah hari, ia dipersilahkan makan dan diterimanya tawaran itu. Ditengah makan itu kakaknya berujar dengan bangga : “Lihat itu, aku dapat award!”
Ia menengok ke atas buffet yang ditunjuk sang kakak, tapi karena sedang makan, tidak sempat Pak Koes mengamatinya.
“Award apa?’’
“Dari Partai Rakyat Demokratik”.
Habis makan, Pak Koes gak ingat lagi pada award itu. Tapi sewaktu mau pulang dan sudah di depan rumah, ia ingat dan bertanya pada kakaknya :
“Megawati mau dihajar, ya?”
Ia tanya demikian karena pemberitaan gencar surat – surat kabar sekitar tindakan rekayasa pemerintah untuk menjatuhkan Mega sebagai pempimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Rekayasa itu terlihat sangat gambling, bahkan oleh orang yang buta politik sekalipun. Megawati dan para pendukungnya berkeras menolak paksaan dan pemerintah semakin tidak sabar menghadapinya, dimana angkatan bersenjata sudah tentu siap bergerak.
Apa jawaban kakaknya ia tak ingat lagi. Kalau tak salah, sang kakak mengatakan bahwa sewaktu – sewaktu bisa saja terjadi kekerasan.
Dalam perjalanan pulang menuju rumahnya di Depok, Koesalah naik metromini sampai Megaria dan dari situ meneruskan perjalanan dengan KRL dari stasiun Cikini.
Belum lagi masuk persimpangan depan Megaria, jalanan sudah macet, sehingga ia terpaksa turun dan selanjutnya berjalan kaki. Jalan Dipoegoro macet. Yang dinamakan “mimbar bebas” digelar disitu. Banyak orang bergerombol, dan orasi pembicara pun terdengar dari jauh.
Dari kereta ia sempat melongok ke jendela. Tampak memang manusia membludak, Orang – orang di kiri-kanan pun melongok, tapi tanpa komentar. Karena kereta berjalan cepat, tidak jelas siapa yang berbicara dan apa yang dibicarakan.
Tidak disangka, tiga hari kemudian meletus apa yang dinamakan “Peristiwa 27 Juli”. Hari itu juga televisi menjadikannya headline. Semua orang pun membicarakannya.
Pertama, kantor PDI telah diserbu anak buah Surjadi, ketua PDI hasil kongres di Medan.
Kedua, polisi hadir tetapi tidak bertindak apa-apa.
Ketiga, militer campur tangan, lalu terjadi kekerasan termasuk pembunuhan, dengan korban dalam jumlah banyak.
Keempat, massa menjadi beringas dan membakar sejumlah gedung dan mobil.
Kelima, kerusuhan menjalar sampai ke Salemba, Cikini dan Senen.
Suara umum mengecam pemerintah dan tindakan represif aparat. Sebaliknya pemerintah lewat media massa mengkambinghitamkan PRD!.
Demikianlah yang dirangkum dari sebuah entry catatan pribadi Koesalah Soebagyo Toer tentang sang kakak, Pramoedya Ananta Toer. Sang kakak adalah sebuah monumen. Sudah banyak yang mengupas tentang beliau, baik yang berhubungan dengan karya sastranya, Lekra ataupun Pulau Buru. Sang Adik sadar, bahwa kakaknya bukan hanya lagi milik keluarga. Sang kakak yang telah melambung, melintasi sekat-sekat budaya dan organisasi itu telah menjadi milik bangsa, bahkan telah pula melintasi batas-batas negeri yang menjadikannya menjadi milik internasional.
Tapi “Mas Pram dan PRD” adalah kurva lain. Cuma satu dari sekian banyak sekali entry catatan, beraneka rupa warnanya dan ditulis secara sangat personal, dari seorang adik kepada kakaknya. Ini yang sangat jarang
No comments:
Post a Comment