Lha kog kamu gak pernah pulang tho min?? Sudah 5 kali lebaran ini kamu gak ada kabarnya.
Kamu disana ngapain tho?? Kerjamu apa??
Saya gak ngerti min, Memangnya di Jakarta ada apa?? Kog bisa sampai bikin kamu lupa.
Kalau saya liat ditivi sepertinya tinggal di Jakarta memang enak ya???
Mobil dimana-mana, Gedungnya tinggi-tinggi, tempat belanja dan hiburannya juga banyak… Mau apa aja, ada. Gak seperti disini. Sepi, gak ada apa-apanya.
Apa di Jakarta mudah dapat uang?
Habis, kog sepertinya banyak yang lari untuk mencarinya disana.. Gak Cuma kamu. Bagong, Gareng, Petruk semuanya sekarang ikutan merantau ke Jakarta.
Perempuan disana juga cantik – cantik ya min??
Makanya, kamu betah disana!!
Lagi-lagi kalo lihat di tivi sepertinya di Jakarta banyak yang ayu.. Yang main di sinetron-sinetron atau di infotemen itu lho??. Cakep-cakep’e…
Si Sembadra anak pak Carik, pasti kalah ya??
Oiya min, Blekberi atau fesbuk itu apa?? Katanya semua orang dikota, kalo gak punya itu berarti payah, gak gaul.. Kamu punya tho??
Saya nulis surat ini cuma mau bertahu kalau Bapak-mu itu kangen sama kamu.
Jangankan datang, mengirim surat tanda memberi kabar pun kamu gak pernah.
Setiap ketemu saya, dia selalu mengeluh. Selalu heran, kenapa kamu gak pernah pulang..
Setiap ada berita tentang Jakarta di tivi, dia selalu semangat. Katanya, “Siapa ngerti bisa ada Parmin di tivi??”
Mbok ya kamu kasih kabar tho min?? Di sana kan pasti kamu punya HP, bisa sms kan?? Pak lurah punya HP, nomernya 08123456789. Sms ke beliau saja, kasih tau kabar kamu, nanti pasti disampaikan ke Bapakmu.
Kasian bapakmu dirumah min, sendirian.. Nggarap sawah juga sendiri. Dia sudah makin tua, tenaganya udah berkurang..
Ya sudah, mudah-mudahan surat ini bisa sampai ke kamu.
Syukur – syukur kamu mau pulang kemari. Saya pengen denger cerita kamu tentang Jakarta min. Saya kan juga pengen punya blekberi atau fesbuk. Biar gak taunya Cuma nanem padi atau nyari belut saja
Kalau kamu ketemu Luna Maya atau Sandra Dewi, saya titip salam ya??
Temanmu,
Kampleng
INDONESIA MERDEKA
INDONESIA MERDEKA
Thursday, May 21, 2009
Sunday, May 17, 2009
Bulan Diatas Jalan Veteran*
Bulan sedang penuh. Bulat menggoda.
Aku masih mengendara dengan kecepatan tetap.
“Disitu, dulu tempat ketemu-nya” Laki-laki senja itu berujar. Menunjuk pada sebuah gedung yang nampak renta, agak tak terawat.
Gedung PWI disebuah ruas di Jalan Veteran.
“Wah, udah lama.. sekitar tahun 73an,“ ia menambahkan ,” dulu sama-sama kerja disitu”.
Ia tidak bercerita banyak,.. tapi aku menarik kesimpulan : jalan itu punya kesaksian atas kisah masa mudanya.
“Ya, kaya anak muda sajalah. Biasa jalan, nyari makan bareng di sekitaran Pecenongan..”
“Atau sebulan sekali, kalo tanggal muda biasa nraktir makan es krim Italia di Ragusa”
Aku masih menyimak ceritanya..
“Dulu, gak punya kendaraan. Jadi kalo mau anter pulang ya naik bis kota. “ ujar-nya lagi. Lalu??
“Biasa, kalo pulang kerja jalan dulu nyari bis di Lapangan Banteng. Dulu ada terminal bis disitu”.
“Sesekali juga, iseng jalan ke Pasar Baru. Jalan Kaki”
Cerita berhenti sampai disitu saja.
Ada imajinasiku yang menyusul kemudian.. Membayangkan jalan itu di 36 tahun yang lalu..
Sepasang anak muda, tengah mengejar isyarat.
Mencarinya di sepanjang jalan.
Mungkin saling bertukar cerita, berbagi kata.
Melepas canda, meledakkan tawa.. Berdua saja..
Dalam media yang paling sederhana.
Tanpa ponsel, tanpa facebook, atau yahoo messenger.
Jalan Veteran masih menyisakan ruang, dalam ingatan senja laki-laki itu. Ia hanya bercerita dengan datar. Tanpa emosi.
Sebuah pertemuan pertama, juga pertemuan-pertemuan selanjutnya..
Jika mungkin pertemuan tak pernah terjadi.
Mungkin juga tiada pernah aku menulis diblog ini..
Laki-laki itu, bapakku..
*) Mengambil struktur "Moon Over Bourbon Street - Sting"
Aku masih mengendara dengan kecepatan tetap.
“Disitu, dulu tempat ketemu-nya” Laki-laki senja itu berujar. Menunjuk pada sebuah gedung yang nampak renta, agak tak terawat.
Gedung PWI disebuah ruas di Jalan Veteran.
“Wah, udah lama.. sekitar tahun 73an,“ ia menambahkan ,” dulu sama-sama kerja disitu”.
Ia tidak bercerita banyak,.. tapi aku menarik kesimpulan : jalan itu punya kesaksian atas kisah masa mudanya.
“Ya, kaya anak muda sajalah. Biasa jalan, nyari makan bareng di sekitaran Pecenongan..”
“Atau sebulan sekali, kalo tanggal muda biasa nraktir makan es krim Italia di Ragusa”
Aku masih menyimak ceritanya..
“Dulu, gak punya kendaraan. Jadi kalo mau anter pulang ya naik bis kota. “ ujar-nya lagi. Lalu??
“Biasa, kalo pulang kerja jalan dulu nyari bis di Lapangan Banteng. Dulu ada terminal bis disitu”.
“Sesekali juga, iseng jalan ke Pasar Baru. Jalan Kaki”
Cerita berhenti sampai disitu saja.
Ada imajinasiku yang menyusul kemudian.. Membayangkan jalan itu di 36 tahun yang lalu..
Sepasang anak muda, tengah mengejar isyarat.
Mencarinya di sepanjang jalan.
Mungkin saling bertukar cerita, berbagi kata.
Melepas canda, meledakkan tawa.. Berdua saja..
Dalam media yang paling sederhana.
Tanpa ponsel, tanpa facebook, atau yahoo messenger.
Jalan Veteran masih menyisakan ruang, dalam ingatan senja laki-laki itu. Ia hanya bercerita dengan datar. Tanpa emosi.
Sebuah pertemuan pertama, juga pertemuan-pertemuan selanjutnya..
Jika mungkin pertemuan tak pernah terjadi.
Mungkin juga tiada pernah aku menulis diblog ini..
Laki-laki itu, bapakku..
*) Mengambil struktur "Moon Over Bourbon Street - Sting"
Tuesday, May 12, 2009
Seniman KRL
Baru beberapa detik kereta listrik itu melaju dibawah fly over Jagakarsa. Bergerak ke selatan. Matahari sudah naik menuju sepenggal galah, saat saya menengok ke jendela..
Seorang pria tambun serba hitam lusuh, bersandal jepit datang masuk dari gerbong depan.. Kulitnya gelap, wajahnya agak kumal, dan ada beberapa butir keringat disekitar dahinya.
Di tangan kirinya tergantung plastik bungkus permen, seperti yang biasa digunakan untuk menampung uang receh.. Ia pengamen (tanpa alat musik sama sekali) ??
Tiba ia duduk, bersila.. seperti tapa.
Ia memejam mata, sebentar.. ada tarikan nafas.
Ia menyanyi : tembang jawa !!
Damn, bagus banget!! Menjadi letupan di waktu sepagi itu…
Orang ini pasti tidak bernyanyi dengan sembarangan.. Power oke. dan yang paling basic : mengartikulasi tembang itu dengan melodius. Menggamit nuansa!
Hal yang susah itu, bisa ia capai.
Saya gak paham lirik apa yang ia senandungkan. Bahasa jawa klasik. Yang saya ngerti Cuma beberapa kata saja : surya (matahari), candra (bulan), bayu (angin), bhumi (bumi), tirta (air), agni (api). Orang itu nampak menghayati tembang sekuat tenaga. Sepanjang bernyanyi ia banyak memejamkan mata. Seolah mencari soul¬nya.
Ia bernyanyi, seperti berdoa.
Atau sepenggal kalimat hampir utuh di ujung-ujung tembang :
Nguribi jagad tan leren,…
kalo saya gak salah artinya kurang lebih :
Menghidupi dunia tanpa berhenti.
Entah apa makna dari tembang itu. Sepertinya ada hal vertikal yang menempel pada muatan sang tembang. Seperti kebanyakan tembang-tembang jawa yang dramatis.
Tidak pernah mudah bisa melantun tembang jawa sedemikian baik. Orang itu pasti punya pengalaman yang cukup dalam nembang. Tapi kenapa ia sampai di kereta ini??
Mungkin ini secuil dari rahasia kota.
Ia lalu berdiri, pamit. Lalu memohon kontribusi se-ikhlasnya dari orang-orang seantero gerbong. Seribu rupiah dari kantong jaket, mungkin terlalu tak berharga dibanding kelangkaan itu. Di rimba bernama Jakarta.
Seorang pria tambun serba hitam lusuh, bersandal jepit datang masuk dari gerbong depan.. Kulitnya gelap, wajahnya agak kumal, dan ada beberapa butir keringat disekitar dahinya.
Di tangan kirinya tergantung plastik bungkus permen, seperti yang biasa digunakan untuk menampung uang receh.. Ia pengamen (tanpa alat musik sama sekali) ??
Tiba ia duduk, bersila.. seperti tapa.
Ia memejam mata, sebentar.. ada tarikan nafas.
Ia menyanyi : tembang jawa !!
Damn, bagus banget!! Menjadi letupan di waktu sepagi itu…
Orang ini pasti tidak bernyanyi dengan sembarangan.. Power oke. dan yang paling basic : mengartikulasi tembang itu dengan melodius. Menggamit nuansa!
Hal yang susah itu, bisa ia capai.
Saya gak paham lirik apa yang ia senandungkan. Bahasa jawa klasik. Yang saya ngerti Cuma beberapa kata saja : surya (matahari), candra (bulan), bayu (angin), bhumi (bumi), tirta (air), agni (api). Orang itu nampak menghayati tembang sekuat tenaga. Sepanjang bernyanyi ia banyak memejamkan mata. Seolah mencari soul¬nya.
Ia bernyanyi, seperti berdoa.
Atau sepenggal kalimat hampir utuh di ujung-ujung tembang :
Nguribi jagad tan leren,…
kalo saya gak salah artinya kurang lebih :
Menghidupi dunia tanpa berhenti.
Entah apa makna dari tembang itu. Sepertinya ada hal vertikal yang menempel pada muatan sang tembang. Seperti kebanyakan tembang-tembang jawa yang dramatis.
Tidak pernah mudah bisa melantun tembang jawa sedemikian baik. Orang itu pasti punya pengalaman yang cukup dalam nembang. Tapi kenapa ia sampai di kereta ini??
Mungkin ini secuil dari rahasia kota.
Ia lalu berdiri, pamit. Lalu memohon kontribusi se-ikhlasnya dari orang-orang seantero gerbong. Seribu rupiah dari kantong jaket, mungkin terlalu tak berharga dibanding kelangkaan itu. Di rimba bernama Jakarta.
Sunday, May 10, 2009
Sore Tugu Pancoran
Tak ku pelajari dimana pelangi itu,
Diantara kabut ku cari jemari itu
(Mata Berdebu – SORE)
Ketar – ketir. Menteng basah, .
Senja hampir habis, apa di selatan hujan juga??
Belum hujan. Sehabis adzan magrib berangkat. jadi juga.
Efek Rumah kaca memulai dengan “Jalang”,
SORE menutup dengan “Funk The Hole”
Suka gak ??
(Semoga Cepat sembuh)
Tribun mulai gelap,…
Leher pegel… pinggang agak gak karuan
posisi duduk tidak menguntungkan..
Demikianlah teater…
Gak ada yang tersedia selain junk food.
Hampir tengah malam
Hajar saja-lah
(Kijang 1 tiba di markas dengan selamat)
Macet,.. Berjejalan.. mencuri lahan parkir..
Tiba juga akhirnya.
Manik – manik. Kain. Apa sajalah..
Blok S..
Film Komersil di bioskop... Mendadak
(Gusi juga agak nyeri. Sama gak dengan tamblan gigi yang hampir habis?? )
Bentara Budaya
Paling rame sepanjang sejarah.. ada GIGI
Kuat berdiri seperti nonton bola??
Byuurr... Hujan kan??
Payung membentang...
Macam nonton layar tancep ya??
(Pulang... )
Pameran foto. Pasar baru yang tua.
Panas berhenti.. Tanpa berita..
(Sendiri-lah… )
Sore, diatas fly over pancoran
Kembali ke kantor..
Iseng di atas Meja kerja
* Judul lagu Iwan fals, asal comot saja.
Diantara kabut ku cari jemari itu
(Mata Berdebu – SORE)
Ketar – ketir. Menteng basah, .
Senja hampir habis, apa di selatan hujan juga??
Belum hujan. Sehabis adzan magrib berangkat. jadi juga.
Efek Rumah kaca memulai dengan “Jalang”,
SORE menutup dengan “Funk The Hole”
Suka gak ??
(Semoga Cepat sembuh)
Tribun mulai gelap,…
Leher pegel… pinggang agak gak karuan
posisi duduk tidak menguntungkan..
Demikianlah teater…
Gak ada yang tersedia selain junk food.
Hampir tengah malam
Hajar saja-lah
(Kijang 1 tiba di markas dengan selamat)
Macet,.. Berjejalan.. mencuri lahan parkir..
Tiba juga akhirnya.
Manik – manik. Kain. Apa sajalah..
Blok S..
Film Komersil di bioskop... Mendadak
(Gusi juga agak nyeri. Sama gak dengan tamblan gigi yang hampir habis?? )
Bentara Budaya
Paling rame sepanjang sejarah.. ada GIGI
Kuat berdiri seperti nonton bola??
Byuurr... Hujan kan??
Payung membentang...
Macam nonton layar tancep ya??
(Pulang... )
Pameran foto. Pasar baru yang tua.
Panas berhenti.. Tanpa berita..
(Sendiri-lah… )
Sore, diatas fly over pancoran
Kembali ke kantor..
Iseng di atas Meja kerja
* Judul lagu Iwan fals, asal comot saja.
Wednesday, May 6, 2009
(Memaksa) Sting Bertanya, (Memaksa) Sapardi Menjawab
How could I be this way when I pray to God above?
( Moon Over Bourbon Street; 1985)
Ia pun suatu saat ingin meloloskan dirinya ke dalam doa,
Tetapi tak pernah mengetahui awal dan akhir sebuah doa.
Barangkali seluruh hidup adalah sebuah doa yang panjang.
(Pada Suatu Malam; 1964)
***
Have you seen a bright lily grow Before rude hands have touched it?
(Have you seen the bright Lily Grow?; 2006)
Tak ada alasan untuk memahami
Kenapa wanita yang selama ini rajin menyiraminya
dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta ini
kini wajahnya anggun dan dingin,
menanggalkan kelopaknya selembar demi selembar
dan membiarkannya berjatuhan menjelma pendar-pendar di permukaan kolam
(Bunga,2,; 1975)
***
Whenever the TV makes me mad, whenever I'm paralyzed with fear ?
(Whenever I Say Your Name; 2003)
Hafalkan namamu. Tikungan demi tikungan,
Warna demi warna tanda-tanda jalanan yang menunjuk ke arah kita,
yang kemudian menjanjikan arah yang kabur
(New York, 1971; 1971)
***
Turn on the radio, the static hurts my ears. Tell me, where would I go?
(When The World Is Running down, You Make The Best of What’s Still Arround; 1986)
Cahaya bertebaran disekitarmu,
Butir-butirnya membutakan dua belah matamu.
Lupakah kau bahwa baru saja meninggalkan dermaga?
(Cahaya Bertebaran; 1970)
***
Convince an enemy, convince him that he's wrong, Is to win a bloodless battle where victory is long ?
(History will teach us nothing; 1987)
Saksikan saja dengan teliti bagaimana Matahari
memulasnya warna-warni sambil diam – diam
membunuhnya dengan hati-hati sekali dalam kasih sayang;
Lihat, ia pun terkulai perlahan-lahan
dengan indah sekali
(Sonet : Hei! Jangan Kau patahkan; 1967)
***
After the tears have washed your eyes, You'll find that I've take nothing?
(After The Rain Has Fallen; 1999)
Ku kirim padamu beberapa patah kata
yang sudah langka -
jika suatu hari nanti mereka mencapaimu,
rahasiakan, sia-sia saja memahamiku;
Dalam setiap kata yang kau baca
selalu ada huruf yang hilang –
kelak kau pasti kembali menemukannya
di sela-sela kenangan penuh ilalang
(Sajak-Sajak Empat Seuntai;1989)
***
Every place around the world (it seemed the same) can't hear the rhythm for the drums ?
(Jeremiah Blues(Part 1); 1991)
Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya,
dan tak lagi mengenalnya
(Hujan Dalam Komposisi, 1; 1969)
***
In the cold weather, a hand needs a glove, At times like this, a lonely man like me needs love ?
(Epilouge; 1993)
Seperti engkau berbicara di ujung jalan
-Waktu dingin, sepi gerimis tiba-tiba
seperti engkau memanggil-manggil dikelokan itu
untuk kembali berduka-
untuk kembali kepada rindu panjang dan cemas
seperti engkau yang memberi tanda tanpa lampu-lampu
(Gerimis Kecil di Jalan Jakarta, Malang; 1968)
***
Red the port light, Starboard the green, How will she know of the devils I've seen ? (Valparaiso; 1996)
Perempuan mengirim air matanya
ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan
ke landasan cakrawala; kepalanya diatas bantal
lembut bagaikan bianglala
(Pertemuan; 1968)
***
When the map you have leads you to doubt, When there's no information, Does the compass turns to nowhere that you know well ??
(Let Your Soul Be Your Pilot; 1996)
Mendadak kau mengabut dalam kamar,
mencari-cari dalam cermin
Tapi cermin buram kalau kau entah dimana,
kalau kau mengembun dan menempel dikaca,
kalau kau mendadak menetes dan terpercik kemana-mana;
dan cermin menangkapmu sia-sia
(Cermin, 2; 1980)
***
All the bloodshed, all the anger, All the weapons, all the greed, All the armies, all the missiles, All the symbols of our fear, There is a deeper wave than this??
(Love Is The 7th Wave; 1985)
Masih adakah?
Alangkah angkuhnya langit
Alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita seluruhnya
Seluruhnya kecuali kenangan
pada sebuah gua yang menjadi sepi tiba-tiba
(Sehabis Mengantar Jenazah; 1967)
***
To save his farm from the banker's draft, The farmer took out a book on some old witchcraft, (then) He made a spell and a potion on a midsummer's night ??
(Heavy Cloud No Rain; 1993)
Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang,
dan payung, berdiri disamping tiang listrik.
Katanya kepada lampu jalan, “Tutup matamu dan tidurlah.
Biar Kujaga malam”.
“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah,
Asalmu dari laut, langit, bumi.
Kembalilah, jangan menggodaku tidur.
Aku sahabat manusia. Ia suka terang
(Percakapan Malam Hujan; 1973)
***
Must I praise the leaves where no fruit I find?
(Can She Excuse My Wrongs?; 2006)
Saat tiada pun tiada, aku berjalan
(tiada gerakan, serasa isyarat)
Kita pun bertemu
Sepasang Tiada tersuling
(tiada gerakan, serasa nikmat) :
Sepi meninggi
(Dalam Doa : II; 1968)
***
Sometimes I see your face, The stars seem to lose their place. Why must I think of you?
(Why Should I Cry for you; 1991)
Karena sehabis suara gemuruh itu yang tampak olehku,
hanyalah tubuhmu telanjang dengan rambut terurai
Mengapung dipermukaan air bening yang mengalir tenang –
Tapi,.. tak kau sahut panggilanku
(Sehabis Suara Gemuruh ; 1973)
***
Did you ever wonder what you'd been carrying since the world was black?
(Dead Man’s Rope; 2003)
Ya. Di ruangan ini kita gaib dalam gema.
Diluar malam hari mengendap, kekal dalam rahasia
Kita pun setia memulai percakapan kembali
seakan abadi, menanti-nanti lonceng berbunyi
(Dalam Sakit; 1967)
***
It's a shaggy kind of story, Would I tell you if I thought it was a lie?
(Perfect Love Gone Wrong; 1999)
Tidak usah.
Pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau takkan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal lagi
Namun disela-sela huruf sajak ini,
kau takkan letih-letihnya kucari
(Pada Suatu Hari Nanti; 1991)
***
The sky turned to black, Would he ever come back?
(Tea In The Sahara, 1987)
Lelaki tua yang rajin itu, mati hari ini
Sayang bahwa ia tak bisa menjaga kuburnya sendiri
(Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati;1964)
***
My comfortable existence is reduced to a shallow meaningless party?
(Driven To Tears; 1986)
Entahlah. Aku memesan rasa sakit
yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
memesan rasa lapar yang asing itu
(Di Restoran; 1989)
( Moon Over Bourbon Street; 1985)
Ia pun suatu saat ingin meloloskan dirinya ke dalam doa,
Tetapi tak pernah mengetahui awal dan akhir sebuah doa.
Barangkali seluruh hidup adalah sebuah doa yang panjang.
(Pada Suatu Malam; 1964)
***
Have you seen a bright lily grow Before rude hands have touched it?
(Have you seen the bright Lily Grow?; 2006)
Tak ada alasan untuk memahami
Kenapa wanita yang selama ini rajin menyiraminya
dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta ini
kini wajahnya anggun dan dingin,
menanggalkan kelopaknya selembar demi selembar
dan membiarkannya berjatuhan menjelma pendar-pendar di permukaan kolam
(Bunga,2,; 1975)
***
Whenever the TV makes me mad, whenever I'm paralyzed with fear ?
(Whenever I Say Your Name; 2003)
Hafalkan namamu. Tikungan demi tikungan,
Warna demi warna tanda-tanda jalanan yang menunjuk ke arah kita,
yang kemudian menjanjikan arah yang kabur
(New York, 1971; 1971)
***
Turn on the radio, the static hurts my ears. Tell me, where would I go?
(When The World Is Running down, You Make The Best of What’s Still Arround; 1986)
Cahaya bertebaran disekitarmu,
Butir-butirnya membutakan dua belah matamu.
Lupakah kau bahwa baru saja meninggalkan dermaga?
(Cahaya Bertebaran; 1970)
***
Convince an enemy, convince him that he's wrong, Is to win a bloodless battle where victory is long ?
(History will teach us nothing; 1987)
Saksikan saja dengan teliti bagaimana Matahari
memulasnya warna-warni sambil diam – diam
membunuhnya dengan hati-hati sekali dalam kasih sayang;
Lihat, ia pun terkulai perlahan-lahan
dengan indah sekali
(Sonet : Hei! Jangan Kau patahkan; 1967)
***
After the tears have washed your eyes, You'll find that I've take nothing?
(After The Rain Has Fallen; 1999)
Ku kirim padamu beberapa patah kata
yang sudah langka -
jika suatu hari nanti mereka mencapaimu,
rahasiakan, sia-sia saja memahamiku;
Dalam setiap kata yang kau baca
selalu ada huruf yang hilang –
kelak kau pasti kembali menemukannya
di sela-sela kenangan penuh ilalang
(Sajak-Sajak Empat Seuntai;1989)
***
Every place around the world (it seemed the same) can't hear the rhythm for the drums ?
(Jeremiah Blues(Part 1); 1991)
Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya,
dan tak lagi mengenalnya
(Hujan Dalam Komposisi, 1; 1969)
***
In the cold weather, a hand needs a glove, At times like this, a lonely man like me needs love ?
(Epilouge; 1993)
Seperti engkau berbicara di ujung jalan
-Waktu dingin, sepi gerimis tiba-tiba
seperti engkau memanggil-manggil dikelokan itu
untuk kembali berduka-
untuk kembali kepada rindu panjang dan cemas
seperti engkau yang memberi tanda tanpa lampu-lampu
(Gerimis Kecil di Jalan Jakarta, Malang; 1968)
***
Red the port light, Starboard the green, How will she know of the devils I've seen ? (Valparaiso; 1996)
Perempuan mengirim air matanya
ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan
ke landasan cakrawala; kepalanya diatas bantal
lembut bagaikan bianglala
(Pertemuan; 1968)
***
When the map you have leads you to doubt, When there's no information, Does the compass turns to nowhere that you know well ??
(Let Your Soul Be Your Pilot; 1996)
Mendadak kau mengabut dalam kamar,
mencari-cari dalam cermin
Tapi cermin buram kalau kau entah dimana,
kalau kau mengembun dan menempel dikaca,
kalau kau mendadak menetes dan terpercik kemana-mana;
dan cermin menangkapmu sia-sia
(Cermin, 2; 1980)
***
All the bloodshed, all the anger, All the weapons, all the greed, All the armies, all the missiles, All the symbols of our fear, There is a deeper wave than this??
(Love Is The 7th Wave; 1985)
Masih adakah?
Alangkah angkuhnya langit
Alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita seluruhnya
Seluruhnya kecuali kenangan
pada sebuah gua yang menjadi sepi tiba-tiba
(Sehabis Mengantar Jenazah; 1967)
***
To save his farm from the banker's draft, The farmer took out a book on some old witchcraft, (then) He made a spell and a potion on a midsummer's night ??
(Heavy Cloud No Rain; 1993)
Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang,
dan payung, berdiri disamping tiang listrik.
Katanya kepada lampu jalan, “Tutup matamu dan tidurlah.
Biar Kujaga malam”.
“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah,
Asalmu dari laut, langit, bumi.
Kembalilah, jangan menggodaku tidur.
Aku sahabat manusia. Ia suka terang
(Percakapan Malam Hujan; 1973)
***
Must I praise the leaves where no fruit I find?
(Can She Excuse My Wrongs?; 2006)
Saat tiada pun tiada, aku berjalan
(tiada gerakan, serasa isyarat)
Kita pun bertemu
Sepasang Tiada tersuling
(tiada gerakan, serasa nikmat) :
Sepi meninggi
(Dalam Doa : II; 1968)
***
Sometimes I see your face, The stars seem to lose their place. Why must I think of you?
(Why Should I Cry for you; 1991)
Karena sehabis suara gemuruh itu yang tampak olehku,
hanyalah tubuhmu telanjang dengan rambut terurai
Mengapung dipermukaan air bening yang mengalir tenang –
Tapi,.. tak kau sahut panggilanku
(Sehabis Suara Gemuruh ; 1973)
***
Did you ever wonder what you'd been carrying since the world was black?
(Dead Man’s Rope; 2003)
Ya. Di ruangan ini kita gaib dalam gema.
Diluar malam hari mengendap, kekal dalam rahasia
Kita pun setia memulai percakapan kembali
seakan abadi, menanti-nanti lonceng berbunyi
(Dalam Sakit; 1967)
***
It's a shaggy kind of story, Would I tell you if I thought it was a lie?
(Perfect Love Gone Wrong; 1999)
Tidak usah.
Pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau takkan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal lagi
Namun disela-sela huruf sajak ini,
kau takkan letih-letihnya kucari
(Pada Suatu Hari Nanti; 1991)
***
The sky turned to black, Would he ever come back?
(Tea In The Sahara, 1987)
Lelaki tua yang rajin itu, mati hari ini
Sayang bahwa ia tak bisa menjaga kuburnya sendiri
(Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati;1964)
***
My comfortable existence is reduced to a shallow meaningless party?
(Driven To Tears; 1986)
Entahlah. Aku memesan rasa sakit
yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
memesan rasa lapar yang asing itu
(Di Restoran; 1989)
Sunday, May 3, 2009
Cambodia
Khmer Merah hanyalah segelintir dari rezim yang penuh darah dan sangat gawat. Antara 1975 – 1979, Kamboja benar – benar dibuat rata dengan tanah oleh sejumlah kecil penganut Marxisme-Leninisme yang berhati batu. Dengan pengalaman yang minim dalam pemerintahan, “Organisasi Revulusioner” ini membangun rencana muluk dalam mencapai tatanan baru komunis hanya dalam semalam. Lantas mereka memperkosa hak hidup rakyat kamboja demi memulai revolusi Marxis-Leninis paling instant, paling kejam dan paling ambisius sepanjang sejarah.
Khmer mengambil jutaan rakyat sebagai mesin pekerja demi mencapai “kedaulatan” Kamboja. Rakyat yang menolak bergabung dengan “revolusi” dan menghindari kerja paksa dicap sebagai musuh bangsa, diperlakukan dengan kasar. Perpaduan akibat rencana sembrono, kepemimpinan buruk, kerja paksa diluar batas itu kemudian memicu malapetaka. Perekonomian rontok, rawan pangan, beras habis, dan kelaparan merebak. Dalam kurun waktu tersebut, sekurangnya 1,4 juta rakyat kamboja mati. Ada yang mati karena kurang makan, kesehatan buruk dan dihukum mati secara teratur dan massal.
Demikian secuil gambaran yang satir tentang the killing fields dalam pengantar : Stay Alive, My Son sebuah kisah pribadi seorang rakyat Kamboja bernama Pin Yathay. Sebelum kebijakan kader-kade Khmer merah yang paranoid itu meletus di 1975, Yathay adalah seorang insinyur berusia sekitar 30an yang bekerja pada Kementrian Pekerjaan Umum yang hidup normal dengan istri dan anaknya. Tapi kemudian “revolusi” itu meledak kesetanan, meruntuhkan system social ke titik tragis dan Phnom Penh pun menjadi tempat yang tidak lagi nyaman.
Hidup mereka jadi semakin menderita. Revolusi yang membabi buta tanpa kemanusiaan menghantarkan kehidupan yang miris. Hidup super prihatin, dalam siang malam yang gelisah digentayangi hantu represif tentara Khmer. Selama dua tahun pertama Kamboja berubah menjadi penjara tani besar-besaran. Rombongan keluarga Yathay terus dipindah-pindah dari satu daerah ke dareah kerja yang berakhir diwilayah barat laut yang buas dibawah pengawasan kader Khmer Merah. Mereka dipaksa bekerja di luar batas, Semua mati dengan sangat mengenaskan. Merasa ngeri karena terancam hukuman mati, Yathay bertekad kabur melintasi pegunungan yang ganas menuju Thailand.
Hal yang paling mencekam dari buku ini adalah drama pelarian itu. Saat demi memudahkan pelarian Yathay dan istrinya harus meninggalkan Nawath, putra mereka berusia 6 tahun yang sedang sakit ditangan orang yang bersedia merawat anak itu. Setidaknya saya mencatat dua konflik maha dahsyat yang berkecamuk dalam diri Yathay.
Pertama, pada detik-detik meninggalkan Nawath yang sedang sakit. Dimana Yathay mati-matian menekan airmata, bergulat dengan perasaan, menemukan kata-kata perpisahan yang elegan pada Nawath.
Kedua, sesaat setelah Any, istrinya hilang ditengah kobaran api di hutan.. Artinya, hanya dalam tempo duapuluh tujuh bulan, ia kehilangan tujuhbelas anggota keluarganya. Dalam kecamuk gundah itu Yathay masih sempat menggumam :
"Sesaat aku sadar bahwa dia telah memilih pengorbanan teragung seorang ibu. Orang bilang bahwa pengorbanan teragung seorang ibu adalah mati bersama anaknya. Keliru – bila kematian sudah tak terelakkan, pengorbanan paling mulia seorang ibu adalah meninggalkan anaknya, bila hal itu memperpanjang hidup anak itu".
Dintara semua anggota keluarganya, (mungkin) hanya Nawath saja yang masih hidup. Atau begitulah harapan Yathay. Setahun sebelum itu ayahnya sendiri yang sedang sekarat telah memohon padanya agar “bertahan hidup”. Permohonan serupa pula yang diucapkannya pada Nawath sebelum pelarian yang menguras tenaga itu. Belakangan, Yathay tak lagi mendengar berita tentang Nawath. Masih hidup atau tidak.
Ah, bagaimana sejarah manusia harus dibasahi kedukaan segawat itu?
Gagasan Stay Alive My Son sama menggetarkannya dengan auto-genocide yang menjadi benang merah A Cambodian Odyssey (1987). Sama-sama membuka mata tentang revolusi yang kesasar dan tentang ratusan ribu jiwa yang jadi korban sia-sia demi serangkaian gagasan kosong.
“Kau harus bertahan hidup. Ingatlah : Pertahankan Hidupmu, Putra-ku….”
Nawath mendengarkan dengan diam, mengangguk, matanya tetap kering dan tampak serius – terlalu serius bagi seorang anak laki-laki berusia 6 tahun. Tapi aku bangga dengan dirinya dan keberaniannya. Keberanian yang melebihi keberanianku.
(Pin Yathay)
Khmer mengambil jutaan rakyat sebagai mesin pekerja demi mencapai “kedaulatan” Kamboja. Rakyat yang menolak bergabung dengan “revolusi” dan menghindari kerja paksa dicap sebagai musuh bangsa, diperlakukan dengan kasar. Perpaduan akibat rencana sembrono, kepemimpinan buruk, kerja paksa diluar batas itu kemudian memicu malapetaka. Perekonomian rontok, rawan pangan, beras habis, dan kelaparan merebak. Dalam kurun waktu tersebut, sekurangnya 1,4 juta rakyat kamboja mati. Ada yang mati karena kurang makan, kesehatan buruk dan dihukum mati secara teratur dan massal.
Demikian secuil gambaran yang satir tentang the killing fields dalam pengantar : Stay Alive, My Son sebuah kisah pribadi seorang rakyat Kamboja bernama Pin Yathay. Sebelum kebijakan kader-kade Khmer merah yang paranoid itu meletus di 1975, Yathay adalah seorang insinyur berusia sekitar 30an yang bekerja pada Kementrian Pekerjaan Umum yang hidup normal dengan istri dan anaknya. Tapi kemudian “revolusi” itu meledak kesetanan, meruntuhkan system social ke titik tragis dan Phnom Penh pun menjadi tempat yang tidak lagi nyaman.
Hidup mereka jadi semakin menderita. Revolusi yang membabi buta tanpa kemanusiaan menghantarkan kehidupan yang miris. Hidup super prihatin, dalam siang malam yang gelisah digentayangi hantu represif tentara Khmer. Selama dua tahun pertama Kamboja berubah menjadi penjara tani besar-besaran. Rombongan keluarga Yathay terus dipindah-pindah dari satu daerah ke dareah kerja yang berakhir diwilayah barat laut yang buas dibawah pengawasan kader Khmer Merah. Mereka dipaksa bekerja di luar batas, Semua mati dengan sangat mengenaskan. Merasa ngeri karena terancam hukuman mati, Yathay bertekad kabur melintasi pegunungan yang ganas menuju Thailand.
Hal yang paling mencekam dari buku ini adalah drama pelarian itu. Saat demi memudahkan pelarian Yathay dan istrinya harus meninggalkan Nawath, putra mereka berusia 6 tahun yang sedang sakit ditangan orang yang bersedia merawat anak itu. Setidaknya saya mencatat dua konflik maha dahsyat yang berkecamuk dalam diri Yathay.
Pertama, pada detik-detik meninggalkan Nawath yang sedang sakit. Dimana Yathay mati-matian menekan airmata, bergulat dengan perasaan, menemukan kata-kata perpisahan yang elegan pada Nawath.
Kedua, sesaat setelah Any, istrinya hilang ditengah kobaran api di hutan.. Artinya, hanya dalam tempo duapuluh tujuh bulan, ia kehilangan tujuhbelas anggota keluarganya. Dalam kecamuk gundah itu Yathay masih sempat menggumam :
"Sesaat aku sadar bahwa dia telah memilih pengorbanan teragung seorang ibu. Orang bilang bahwa pengorbanan teragung seorang ibu adalah mati bersama anaknya. Keliru – bila kematian sudah tak terelakkan, pengorbanan paling mulia seorang ibu adalah meninggalkan anaknya, bila hal itu memperpanjang hidup anak itu".
Dintara semua anggota keluarganya, (mungkin) hanya Nawath saja yang masih hidup. Atau begitulah harapan Yathay. Setahun sebelum itu ayahnya sendiri yang sedang sekarat telah memohon padanya agar “bertahan hidup”. Permohonan serupa pula yang diucapkannya pada Nawath sebelum pelarian yang menguras tenaga itu. Belakangan, Yathay tak lagi mendengar berita tentang Nawath. Masih hidup atau tidak.
Ah, bagaimana sejarah manusia harus dibasahi kedukaan segawat itu?
Gagasan Stay Alive My Son sama menggetarkannya dengan auto-genocide yang menjadi benang merah A Cambodian Odyssey (1987). Sama-sama membuka mata tentang revolusi yang kesasar dan tentang ratusan ribu jiwa yang jadi korban sia-sia demi serangkaian gagasan kosong.
“Kau harus bertahan hidup. Ingatlah : Pertahankan Hidupmu, Putra-ku….”
Nawath mendengarkan dengan diam, mengangguk, matanya tetap kering dan tampak serius – terlalu serius bagi seorang anak laki-laki berusia 6 tahun. Tapi aku bangga dengan dirinya dan keberaniannya. Keberanian yang melebihi keberanianku.
(Pin Yathay)
Subscribe to:
Posts (Atom)