INDONESIA MERDEKA

INDONESIA MERDEKA

Sunday, May 3, 2009

Cambodia

Khmer Merah hanyalah segelintir dari rezim yang penuh darah dan sangat gawat. Antara 1975 – 1979, Kamboja benar – benar dibuat rata dengan tanah oleh sejumlah kecil penganut Marxisme-Leninisme yang berhati batu. Dengan pengalaman yang minim dalam pemerintahan, “Organisasi Revulusioner” ini membangun rencana muluk dalam mencapai tatanan baru komunis hanya dalam semalam. Lantas mereka memperkosa hak hidup rakyat kamboja demi memulai revolusi Marxis-Leninis paling instant, paling kejam dan paling ambisius sepanjang sejarah.
Khmer mengambil jutaan rakyat sebagai mesin pekerja demi mencapai “kedaulatan” Kamboja. Rakyat yang menolak bergabung dengan “revolusi” dan menghindari kerja paksa dicap sebagai musuh bangsa, diperlakukan dengan kasar. Perpaduan akibat rencana sembrono, kepemimpinan buruk, kerja paksa diluar batas itu kemudian memicu malapetaka. Perekonomian rontok, rawan pangan, beras habis, dan kelaparan merebak. Dalam kurun waktu tersebut, sekurangnya 1,4 juta rakyat kamboja mati. Ada yang mati karena kurang makan, kesehatan buruk dan dihukum mati secara teratur dan massal.
Demikian secuil gambaran yang satir tentang the killing fields dalam pengantar : Stay Alive, My Son sebuah kisah pribadi seorang rakyat Kamboja bernama Pin Yathay. Sebelum kebijakan kader-kade Khmer merah yang paranoid itu meletus di 1975, Yathay adalah seorang insinyur berusia sekitar 30an yang bekerja pada Kementrian Pekerjaan Umum yang hidup normal dengan istri dan anaknya. Tapi kemudian “revolusi” itu meledak kesetanan, meruntuhkan system social ke titik tragis dan Phnom Penh pun menjadi tempat yang tidak lagi nyaman.
Hidup mereka jadi semakin menderita. Revolusi yang membabi buta tanpa kemanusiaan menghantarkan kehidupan yang miris. Hidup super prihatin, dalam siang malam yang gelisah digentayangi hantu represif tentara Khmer. Selama dua tahun pertama Kamboja berubah menjadi penjara tani besar-besaran. Rombongan keluarga Yathay terus dipindah-pindah dari satu daerah ke dareah kerja yang berakhir diwilayah barat laut yang buas dibawah pengawasan kader Khmer Merah. Mereka dipaksa bekerja di luar batas, Semua mati dengan sangat mengenaskan. Merasa ngeri karena terancam hukuman mati, Yathay bertekad kabur melintasi pegunungan yang ganas menuju Thailand.
Hal yang paling mencekam dari buku ini adalah drama pelarian itu. Saat demi memudahkan pelarian Yathay dan istrinya harus meninggalkan Nawath, putra mereka berusia 6 tahun yang sedang sakit ditangan orang yang bersedia merawat anak itu. Setidaknya saya mencatat dua konflik maha dahsyat yang berkecamuk dalam diri Yathay.
Pertama, pada detik-detik meninggalkan Nawath yang sedang sakit. Dimana Yathay mati-matian menekan airmata, bergulat dengan perasaan, menemukan kata-kata perpisahan yang elegan pada Nawath.
Kedua, sesaat setelah Any, istrinya hilang ditengah kobaran api di hutan.. Artinya, hanya dalam tempo duapuluh tujuh bulan, ia kehilangan tujuhbelas anggota keluarganya. Dalam kecamuk gundah itu Yathay masih sempat menggumam :
"Sesaat aku sadar bahwa dia telah memilih pengorbanan teragung seorang ibu. Orang bilang bahwa pengorbanan teragung seorang ibu adalah mati bersama anaknya. Keliru – bila kematian sudah tak terelakkan, pengorbanan paling mulia seorang ibu adalah meninggalkan anaknya, bila hal itu memperpanjang hidup anak itu".

Dintara semua anggota keluarganya, (mungkin) hanya Nawath saja yang masih hidup. Atau begitulah harapan Yathay. Setahun sebelum itu ayahnya sendiri yang sedang sekarat telah memohon padanya agar “bertahan hidup”. Permohonan serupa pula yang diucapkannya pada Nawath sebelum pelarian yang menguras tenaga itu. Belakangan, Yathay tak lagi mendengar berita tentang Nawath. Masih hidup atau tidak.

Ah, bagaimana sejarah manusia harus dibasahi kedukaan segawat itu?

Gagasan Stay Alive My Son sama menggetarkannya dengan auto-genocide yang menjadi benang merah A Cambodian Odyssey (1987). Sama-sama membuka mata tentang revolusi yang kesasar dan tentang ratusan ribu jiwa yang jadi korban sia-sia demi serangkaian gagasan kosong.

“Kau harus bertahan hidup. Ingatlah : Pertahankan Hidupmu, Putra-ku….”
Nawath mendengarkan dengan diam, mengangguk, matanya tetap kering dan tampak serius – terlalu serius bagi seorang anak laki-laki berusia 6 tahun. Tapi aku bangga dengan dirinya dan keberaniannya. Keberanian yang melebihi keberanianku.
(Pin Yathay)

No comments: