INDONESIA MERDEKA

INDONESIA MERDEKA

Monday, June 30, 2008

Hatta

Konon, ada seorang istri yang harus menyisihkan sebagian dari penghasilan yang diberikan suaminya untuk membeli sebuah mesin jahit. Namun pada suatu ketika, tiba-tiba rencana untuk membeli mesin jahit itu terpaksa harus ditunda, diurungkan. Karena tiba – tiba saja pemerintah hari itu mengeluarkan kebijakan pemotongan nilai rupiah (sanering) dari Rp. 100 menjadi Rp.1. Jadinya, nilai perhitungan tabungan yang sudah dikumpulkan sang istri tidak cukup untuk sang mesin.

Karena sedikit kecewa, sang istri menanyakan kepada suaminya, yang notabene merupakan pejabat tinggi Negara kenapa sang suami tidak memberitahukan akan ada sanering. Dengan kalem dan tenang, sang suami menjawab, “Itu rahasia Negara, jadi tidak boleh diberitahukan, sekalipun kepada keluarga sendiri”.

Sang suami, seorang pemimpin yang langka. Lahir dengan nama (pemberian orang tuanya) Muhammad Athar, pada sebuah Agustus di Bukit Tinggi. Hatta lahir dan besar di keluarga ulama di ranah leluhurnya, Minang. Zaman itu, ia termasuk bocah yang beruntung karena punya kesempatan untuk studi sampai ke MULO di padang. Pada masa belia, ia merantau ke Batavia dan pada masa inilah ia mulai menentukan arah. Ia mulai rajin menulis di Jong Sumatera. Ia mulai meretas kesadaran politiknya, terinspirasi dari Abdoel Moeis, sang idola. Tercatat, ia pernah terjun di Jong Sumatranen Bond, Perhimpunan Indonesia, berkawan dengan seorang nasionalis Hindustan, Jawaharlal Nehru saat bergabung dalam Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di negeri Belanda.

Hatta yang sederhana itu pernah akrab dengan terror. Ia sering ditangkap. Dibuang ke tempat yang asing dan sunyi, Digul, Banda, atau Bangka. Pengasingan sebagai sebuah risiko dari arah yang ia tentukan tadi. Ia berjuang bersama Sukarno, Founding Father negeri ini. Meski dalam perjuangan yang sering dialiri perbedaan persepsi politik dan cara dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Mereka pernah jalan bertentangan, tapi dalam sebuah malam mereka menyadari bahwa mereka harus bersatu demi suatu tugas yang jauh lebih besar daripada yang dapat dilakukan oleh salah seorang dari mereka. Sukarno dan Hatta yang menanam tekad, janji yang jantan untuk berjuang bersama, memimpin Negara, mengusung sebuah revolusi untuk merdeka.

Hatta memimpin dengan penuh sahaja. Dia rela berjalan satu langkah dibelakang, berbicara dengan nada lebih rendah dan sama sekali tidak bermimpi merebut jabatan presiden. Hatta semakin langka, karena ia adalah pemimpin yang mampu menguasai keadaan, banyak berpikir dengan tenang dan dalam, cermat dan bertanggungjawab atas setiap keoutusannya. Hal yang ia sadari, dalam memimpin republic yang masih sangat muda.

Namun, sejarah kemudian menceritakan pada saya. Perjalanan Hatta menemani Sukarno berhenti juga. Klimaks yang muncul ke permukaan karena perbedaan visi dengan Sukarno dan konstelasi politik yang saat itu menghendakinya demikian. Hatta memilih mundur, dan secara terbuka ia tidak sepaham dengan kebijakan politik dan konsepsi demokrasi Terpimpin sang pemimpin besar revolusi.

Ada ikhwal yang menarik perhatian saya perihal kemundurannya. Hatta pernah curhat pada seorang anak angkatnya, Des Alwi Abubakar. “Om Cuma disuruh ngurus koperasi. Segala keputusan politik tidak dikonsultasikan kepada saya. jadi, Om berhenti saja.” Entah itu adalah tragedy atau bukan. tapi setelah itu, Indonesia terpuruk dan rakyat menderita.

Hatta adalah monumen, untuk mengenang kesehajaan seorang politisi. Hatta pasti bahagia, karena ia tidak hidup hari ini (menurut saya). Hatta juga pengingat, dan sekali lagi, ia sosok yang langka

No comments: