Baru beberapa detik kereta listrik itu melaju dibawah fly over Jagakarsa. Bergerak ke selatan. Matahari sudah naik menuju sepenggal galah, saat saya menengok ke jendela..
Seorang pria tambun serba hitam lusuh, bersandal jepit datang masuk dari gerbong depan.. Kulitnya gelap, wajahnya agak kumal, dan ada beberapa butir keringat disekitar dahinya.
Di tangan kirinya tergantung plastik bungkus permen, seperti yang biasa digunakan untuk menampung uang receh.. Ia pengamen (tanpa alat musik sama sekali) ??
Tiba ia duduk, bersila.. seperti tapa.
Ia memejam mata, sebentar.. ada tarikan nafas.
Ia menyanyi : tembang jawa !!
Damn, bagus banget!! Menjadi letupan di waktu sepagi itu…
Orang ini pasti tidak bernyanyi dengan sembarangan.. Power oke. dan yang paling basic : mengartikulasi tembang itu dengan melodius. Menggamit nuansa!
Hal yang susah itu, bisa ia capai.
Saya gak paham lirik apa yang ia senandungkan. Bahasa jawa klasik. Yang saya ngerti Cuma beberapa kata saja : surya (matahari), candra (bulan), bayu (angin), bhumi (bumi), tirta (air), agni (api). Orang itu nampak menghayati tembang sekuat tenaga. Sepanjang bernyanyi ia banyak memejamkan mata. Seolah mencari soul¬nya.
Ia bernyanyi, seperti berdoa.
Atau sepenggal kalimat hampir utuh di ujung-ujung tembang :
Nguribi jagad tan leren,…
kalo saya gak salah artinya kurang lebih :
Menghidupi dunia tanpa berhenti.
Entah apa makna dari tembang itu. Sepertinya ada hal vertikal yang menempel pada muatan sang tembang. Seperti kebanyakan tembang-tembang jawa yang dramatis.
Tidak pernah mudah bisa melantun tembang jawa sedemikian baik. Orang itu pasti punya pengalaman yang cukup dalam nembang. Tapi kenapa ia sampai di kereta ini??
Mungkin ini secuil dari rahasia kota.
Ia lalu berdiri, pamit. Lalu memohon kontribusi se-ikhlasnya dari orang-orang seantero gerbong. Seribu rupiah dari kantong jaket, mungkin terlalu tak berharga dibanding kelangkaan itu. Di rimba bernama Jakarta.
1 comment:
jadi penasaran ama tembang jawa-nya.
Post a Comment