INDONESIA MERDEKA
INDONESIA MERDEKA
Friday, September 24, 2010
Bilur*
Akrab dengan kosakata ini?? Saya sama sekali tidak..
Kemaren langsung buka kamus untuk paham artinya. Cuma ada penjelasan singkat :
“luka panjang pada kulit (bekas kena cambuk/pukulan)”
Benar-benar irit petunjuk tapi sangat tegas : Itu kata tidak jauh dari hal tragedi, kekerasan!
Ada sebuah komposisi lagu berjudul “Bilur”. Sangat indah.
Hal tragedi, kekerasan sangat indah?
Denting datar piano bernada sendu ditimpali suara perempuan dan seruling sunda yang menyayat-nyayat hati di bagian pembuka lagu, bagai gerbang masuk sebuah ruang maha luas yang penuh jeritan pilu dan duka.
Lalu perempuan itu bergumam :
“Selendang bersulam sutra, biduri lembayung jingga...
Saksi mati tuk bersaksi, gelimang pesona diri...
Belia usia dulu, ruap cinta tlah menggebu...
Samar kulihat dunia...tak sadar semua fana... “
Ini karya dedikasi, tutur penulis liriknya.
“Sosok wanita ini biasa dipanggil...Mae. Dengan paras yang cukup cantik, dan talentanya yang luar biasa di dunia tarik suara seni tradisional mampu membuat banyak orang berdecak kagum untuknya. Tersirat bahwa hidupnya dulu bergelimang pesona. Dia suka menggunakan selendang dan biduri (batu permata) pada saat menyanyi diatas panggung. Pada masanya, beliau cukup tenar dikalangan seniman tradisional. Secara personal, dia adalah gadis penurut yang selalu ingin membahagiakan kedua orangtuanya, terlebih ibunya. Tapi disuatu saat, dia berontak tidak mau dikendalikan terus oleh sang ibu dan akhirnya memilih untuk menomorsatukan perasaannya dan menikah dengan laki-laki yang menurutnya adalah laki-laki yg dia "cinta"-i. Dia ingat, saat itu sang ibunda sangat menentang keputusannya, apa yang menjadi firasat ibunya tidak dia hiraukan.“
Na.. na.. na.. na.. Na.. na.. na.. na.. Na.. na.. na.. na..
Na.. na.. na.. na.. Na.. na.. na.. na.. Na.. na.. na.. na..
Na.. na.. na.. na.. A… Na.. na.. na.. na.. A… A….
Perempuan itu memilih berdendang untuk menyembunyikan tangisnya!
Si penulis bercerita lagi.
“Tidak ada yang tahu bagaimana kisah hidupnya, sampai akhirnya ajal menjemputnya secara tiba-tiba, dari situ terkuak semua yang pernah terjadi padanya semasa hidup. Ini memang sangat janggal, karena proses menuju terkuaknya cerita seorang Mae sangat rumit dan tidak masuk akal. Berdasarkan cerita dari bibir ke bibir, sampailah cerita itu ke telinga saya. Saat itu juga saya merasa tergugah akan kisah hidupnya yang pilu.”
“Semerbak dupa iringi ku melangkah..
Cungkupku hanya tanah...
Bilur hati merambah...
Akan datangkah bagiku...Kesempatan...
Bila tak ada titian...
Diri yang rupawan...
Bila tak ada titian...Jalan yang....Rupawan...”
Ini bagian yang paling membunuh! Tak usah bicara soal melodinya. Paling juara untuk didengar pagi senja siang atau malam!
Si penulis bermaksud menyiratkan suara hati Mae yang terluka setelah kematiannya, dimana dia merasa apa yang dia inginkan selama hidupnya ternyata tidak tercapai dan hanya berakhir sia-sia. Dia terbangun dan rumahnya kala ini hanyalah tanah... Semakin dia meratapi kenangan semasa hidupnya semakin jauh dia merasakan keperihan di dalam hatinya. Kepergiannya memang sangat tiba-tiba, tidak ada yang menyangka apalagi saat itu dia tengah mengandung 8 bulan. Kejadian demi kejadian terungkap setelah dia dan janin yang ada di perutnya dikubur bersama. Sampai pada suatu kejadian dimana rohnya merasuki raga seseorang dan memberikan sebuah lirik yang berisi cerita kisah hidupnya kepada seorang temannya. Liriknya berbahasa Sunda, inti dari lagunya sendiri berisi tentang rasa sakit yang tak pernah hilang walau dibawa ke liang lahat dan permohonan maafnya kepada ibu saudara dan teman-teman yang pernah mengenalnya semasa hidup.
Lalu tiba pada bagian lagu yang sangat mistis. Ketika raungan seruling dan kecapi Sunda yang makin memeras air mata, bersahutan dengan curahan hati paling getir. (dinyanyikan dalam bahasa Sunda dengan sempurna oleh Ambu Ida Widawati yang notabene adalah sahabat Mae semasa hidup)
"Duh, teungteuingeun...tuntung lengkah...geuning...bet peurih..."
Artinya kurang lebih “akhir langkahku ternyata tetap perih...dan selalu perih”. Kedukaan yang elegan!
Bagi si penulis lirik, walau singkat...tapi lirik ini mengandung makna sangat kaya yang sangat mewakili perasaan seorang Mae (berdasarkan cerita demi cerita tentangnya). Benar-benar menyakitkan.
Ada cerita menarik soal kelahiran lirik ini. Si penulis pernah sangat kesulitan dalam membuat lirik bahasa sunda untuk lagu ini. Maka kemudian ia meminta agar Ambu Ida mengisi lirik bahasa sundanya.
"Ambu...lirik ini benar-benar bagus dan membuat saya merinding" ujar si penulis setelah membaca lirik yang telah selesai.
Kemudian Ambu Ida bercerita kalau sebenarnya dia juga sempat kesulitan saat mengisi lirik bahasa sunda ini. Tapi konon kemudian Mae Sahabatnya “datang” menghampirinya dan memberikan lirik itu.. Ini cukup janggal, tapi seketika itu juga membuat si penulis merasa sangat terharu.
“Sekilas lihatlah mega, anugerah tiada tara...
Ini tak adil untukku, halimun hitam merasuk...
Ceracau getir ibunda, gemertak sengap hatinya...
Firasat tak penah salah...Hanya kuberbuat... Ulah....”
Respek luar biasa untuk Risa Saraswati, si perempuan penyanyi sekaligus penulis lirik, serta Ambu Ida Widawati atas inspirasi luka dalam hati yang sangat indah.
Saya merapat dalam barisan kalian untuk ini :
"Terimakasih Bu Mae....atas lirik yang indah...dan kisah yang bisa dijadikan pelajaran untuk siapa saja yang mendengarnya....saya yakin, Ibu sekarang sudah jauh lebih tenang... dan menemukan kebahagiaan disana, saya akan selalu berusaha mengingat dan mendoakan ibu..."
*Risa Saraswati sebelumnya dikenal sebagai ikon dari kelompok elektronik Homogenic yang kini bermetamorfosis dalam wujud “Sarasvati”. Ia telah mengeluarkan karya musik bertajuk “Story of Peter”. Sebuah karya yang sangat layak dikonsumsi.
Monday, September 20, 2010
Cerita Ulang Bharatayudha dalam Aransemen Generasi MTV (Bagian 2)
Hari Keempat
Tidak ada sesuatu lain selain sekitar pertarungan dan saling membunuh. Kedua kubu bersiap dengan strategi mutakhir demi meraih kemenangan. Setelah fajar, perang dimulai. Para ksatria sedia menyongsong pertempuran, tampak seperti langit berpetir ditengah hujan badai.
Bhisma memimpin penyerbuan, pasukan Pandawa siap melawan.. Aswatama, Burisrawa, Salya dan Citrasena mengepung dan menyerang Abimanyu yang tiada gentar setitikpun. Melihat putranya dikeroyok, Arjuna langsung datang membantu. Duel makin sengit. Dristadyuma juga datang menopang duo Arjuna – Abimanyu dengan sejumlah infanteri. Ketika posisi Kurawa terdesak, Duryudhana pun datang membantu, lengkap dengan pasukan gajahnya. Pertarungan makin panas, setelah Bima ikutan terjun ke gelanggang!
Bima mengamuk dengan senjata Gada nan berayun-ayun. Pasukan gajah Duryudhana kocar-kacir. Delapan saudara Duryudhana-pun tewas ditangan Bima, hal yang membuat putra sulung Raja Destarata ini naik pitam. Lantas ia menyerang Bima habis-habisan. Tarung kedua musuh bebuyutan ini berlangsung keras. Namun malang, Bima terluka terhunus panah Duryudhana. Ia tersentak dan nyaris jatuh. Gatotkaca yang melihat ayahnya terluka, amat marah. Ia langsung menantang pamannya dan menyerang pasukan Kurawa. Ia berkelabat sangat cepat melancarkan sengatan menusuk nadi pasukan Kurawa. Putra Bima dari istrinya Dewi Arimbi itu terkenal sangat sakti. Konon ia dapat terbang dan mampu berubah menjadi sebesar raksasa. Kurawa kewalahan. Bhisma memerintahkan pasukannya untuk mundur.
Hari itu harinya Gatotkaca. Ia mampu memenangkan Pandawa.
Hari Kelima
Malam sebelum hari kelima perang. Bhisma sesungguhnya telah menasihati Duryudhana untuk menghentikan perang. Melihat ribuan nyawa telah melayang sia-sia, terutama dari kubu Kurawa membuat Putra Gangga itu bersedih hatinya. Ia menyarankan Duryudhana untuk berdamai dengan Pandawa sebagaimana mestinya. Namun nasihat baik itu tidak diindahkan oleh Duryudhana yang angkuh. Ia tidak ingin berdamai.
Esok paginya perang dilanjutkan. Krishna bereksperimen dengan formasi baru Pandawa. Bima berdiri di ujung depan. Dristadyumna, Srikandi, Satyaki dibelakangnya menyokong pusat formasi. Yudhistira, Nakula dan Sadewa menjaga disisi belakang. Namun Bhisma yang berinisiatif melancarkan gempuran duluan melalui serangan panah. Pasukan Pandawa terpukul mundur. Menyaksikan barisannya terdesak, Arjuna segera menantang Bhisma. Durna datang dibelakang Bhisma, dan Satyaki mencoba menghadangnya. Namun Durna masih terlalu kuat bagi Satyaki. Bima pun lantas datang membantu, menghadapi Durna.
Duel jadi makin sengit. Durna, Bhisma dan Salya bersekutu menyerang Bima. Srikandi (yang terlahir sebagai perempuan) datang membantu Bima dengan melancarkan serangan panah pada Bhisma. Ketika Srikandi maju, Bhisma yang berprinsip tidak akan menyerang perempuan segera menarik diri. Melihat Bhisma mundur, Durna segera menyerang Srikandi dan memaksa Srikandi mundur.
Pada sudut yang lain, Duryudhana mengirimkan pasukannya untuk menyerang Satyaki. Tapi dengan mudah Satyaki menghancurkan mereka. Burisrawa datang untuk membantu Duryudhana. Ksatria yang terkenal jago pedang itu berhasil memaksa Satyaki bertahan. Kesepuluh putra Satyaki yang melihat ayah mereka terdesak segera datang membantu. Namun panah-panah Burisrawa terlalu tangguh bagi petarung-petarung muda itu. Tragis, kesepuluh putra Satyaki menemui ajal. Satyaki pun marah, ia lantas menyerang Burisrawa. Namun sekali lagi, Burisrawa terlalu tangguh bagi kerabat Krishna itu. Ilmu pedang Burisrawa memang tiada tandingannya. Kemudian Bima datang menyelamatkan Satyaki. Putra Pandu itu tak ingin Satyaki mati di ujung pedang Burisrawa.
Akhir pertempuran sore itu, Arjuna berhasil mengoyak barisan tentara Kurawa dan kembali memberikan kemenangan pada Pandawa.
Hari Keenam
Yudisthira memerintahkan Senapati Dristadyumna menggunakan formasi makarabyuha, pola berbentuk ikan raksasa dengan kepala bertanduk sebagai bakal strategi Pandawa hari itu. Sementara pasukan Kurawa menyusun formasi kraunchabyuha dengan bentuk burung bangau.
Perang hari ini langsung panas dengan tewasnya lebih banyak prajurit di kedua pihak, bahkan ketika hari masih pagi. Di kubu Kurawa Durna tampil menggila. Sementara Bima menyerbu saudara-saudara Duryudhana. Mereka serentak menyongsongan tantangan itu. Bima pun dikeroyok Dursasana, Durwisaha, Jayasina, Citrasena, Wikarna, Carucitra dan belasan lainnya. Seru. Mereka ingin menangkap Bima hidup-hidup, demi menuntut balas atas serangan Bima yang membunuh kedelapan saudara mereka kemarin. Melihat Bima dikepung bala Kurawa, Dristadyumna tak tinggal diam. Dengan senjata saktinya, putra Panchala itu dapat menyelamatkan Bima dan menangkis balik serangan lawannya. Tidak berapa lama kemudian datang pasukan kiriman Duryudhana untuk menghajar Dristadyumna. Namun tidak lama Abimanyu datang membantu sang Paman.
Hari itu ditandai dengan pertarungan missal yang tidak pandang bulu. Darah membanjir dan padang Kurustra penuh dengan mayat-mayat prajurit, kuda, gajah serta puing-puing kereta perang. Pandawa mengalami kekalahan, meskipun tidak telak.
Hari Ketujuh
Strategi perang kedua kubu dirombak. Pandawa membentuk formasi Wajrawyuha (halilintar), sementara Kurawa mengusung formasi Cakrabyuha, bentuk melingkar. Genderang dan terompet berbunyi bersahutan memulai perang hari ini. Makin hari makin sengit. Makin panas seperti diesel. Arjuna menyerang dan dihadang Bhisma. Wirata terlibat pertarungan sengit dengan Durna. Srikandi versus Aswatama. Nakula dan Sadewa berkolaborasi melawan Salya, paman mereka. Gatotkaca versus Bhogadetta. Satyaki versus Alambasa. Bima dikeroyok Kritawarma, Citrasena, Wikarna dan Durmasha. Yudhistira melawan Srutayu. Dristaketu versus Burisrawa, Chekitana adu tangguh lawan Kripacarya, serta Dristadyumna bertarung dengan Duryudhana.
Duet Bapak anak Arjuna dan Abimanyu menggelar pertarungan dengan sang kakek Bhisma. Sengit. Namun sang kakek mampu menahan mereka sampai matahari terbenam. Perang hari ketujuhpun berakhir cukup seimbang.
Hari Delapan
Hari masih pagi saat Bima berhasil membunuh delapan kurawa saudara Duryudhana. Kematian ini sangat menyayat hati putra sulung raja Destarata itu. Nampaknya Bima benar-benar ingin menuntaskan sumpahnya menghabisi Kurawa. Sumpah yang diucapkannya saat Pandawa dan Drupadi dipermalukan dalam permainan dadu.
Namun hari itu Arjuna juga mengalami kedukaan. Irawan, putranya dari Dewi Ulupi tewas ditangan Alambasa.
Mengetahui sepupunya tewas, Gatotkaca murka. Ia mengamuk menerjang pasukan Kurawa dengan ganas. Kurawa pun menjadi kacau balau. Melihat itu, Duryudhana mencoba menahan Gatotkaca. Awalnya pertarungan berjalan imbang. Keduanya saling melukai. Namun dendam membara atas kematian Irawan membuat Gatotkaca seperti punya motivasi berlipat untuk menghukum Kurawa. Hal ini membuat Duryudhana kewalahan. Bhisma-pun memerintahkan Wanga dan Durna untuk membantu Duryudhana. Pertarungan makin alot, ketika Bima datang membantu putranya.
Senja datang, perang hari kedelapan harus dihentikan. Hari itu, enam belas Kurawa saudara Duryudhana menemui ajal.
Hari Kesembilan
Perang dimulai lagi. Abimanyu melawan Alambasa. Satyaki dengan Aswatama, Arjuna versus Durna, serta Yudistira, Bima, Nakula dan Sadewa menyerbu Bhisma yang dibantu Dursasana.
Sampai perang hari ini, Arjuna masih belum bertarung sungguh-sungguh tiap melawan Bhisma dan Durna, kakek dan guru yang sangat ia cintai. Sedikit informasi, Bhisma dan Durna membela Kurawa bukan dimaksudkan untuk membela para putra Destarata, melainkan karena harus membela Hastinapura, tanah air mereka. Sebagaimana yang pernah dilakukan Kumbakarna saat harus menghadapi Sri Rama dalam babad Ramayana.
Krisna sang sais kereta mampu menangkap gejolak keraguan dalam diri Arjuna. “Kau tidak bertarung dengan sepenuh hati, Arjuna!” Ia kembali turun dari keretanya dan mengancam akan membunuh Bhisma dengan tangannya sendiri.
Namun lagi-lagi Arjuna berhasil menahan Krishna agar tidak melanggar sumpahnya untuk tidak angkat senjata dalam perang ini. “Ini perangku, Wasudewa (Panggilan Krishna). Aku tidak akan mengecewakanmu lagi. Aku akan sungguh-sungguh!”
Hari itu, pasukan Pandawa menderita kekalahan.
Thursday, September 16, 2010
Belajar Pramuka di Afrika Selatan
Itu judul editorial di sebuah koran pagi hari ini. Mau tau isinya tentang apa??
“Rencana Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk Studi Banding Soal Kepramukaan ke Afrika Selatan.”
Tanpa basa-basi Editorial langsung menembak ke pusat keanehan.
“DPR ternyata institusi yang tidak kehabisan akal mengarang alasan untuk bisa plesiran ke luar negeri.. Lihat saja betapa kreatifnya Panitia Kerja RUU Kepramukaan DPR mengemas agenda itu secara mentereng : studi banding ke Jepang, Korea Selatan dan Afrika Selatan.”
“Sungguh tak masuk nalar sebuah RUU Kepramukaan memerlukan studi banding nun jauh ke Afrika!”, keluh Editorial.
“Kepramukaan? Kepanduan? Ya, berbaris-baris, disiplin, keterampilan, ketahanan fisik dan mental, membangun kesetiaan dan kebersamaan. Apakah untuk itu DPR merasa harus mengaisnya hingga ke Afrika Selatan dan menghamburkan uang rakyat hingga mendekati Rp800 juta?!”
Afrika Selatan? Bukan tidak ada yang bisa dipelajari dari negeri ini. Kalo soal bagaimana memaafkan dan melupakan politik apartheid kemudian belajar membangun kerukunan dan toleransi berbangsa, mungkin banyak yang bisa dipelajari. Tapi soal kepramukaan??
Pilihan ini kian membuktikan dewan memang tidak memiliki urgensi agenda. Kian wajar kalo kesan yang kemudian muncul adalah mereka sekedar menghabiskan anggaran yang telah dialokasikan.
Studi banding sama sekali tidak salah. Hakikatnya studi banding adalah uji kecerdasan dan keunggulan antara contoh satu dengan lainnya sebelum mengambil keputusan untuk diterapkan di negeri ini. Tapi dari yang sudah – sudah, Publik tak pernah mendengar adanya paparan hebat mengenai hasil studi banding DPR setelah kunjungan keluar negeri. Walhasil, studi banding ala dewan rakyat ini terkesan hanyalah akal-akalan penuh lelucon.
Siapa yang ga emosi coba?
Saking kesalnya mungkin, Editorial sempat meledek:
“Mungkin kita tidak memahami jalan pikiran DPR. Atau DPR yang kerap bertindak suka-suka dan mengabaikan suara rakyat ini yang memang sulit dipahami? Karena itu jangan kaget jika suatu hari DPR berkunjung ke Somalia untuk mempelajari cara-cara menumpas bajak laut atau berkunjung ke Sudan mempelajari bagaimana Negara itu mengelola taman kanak-kanak..
Komentar pembaca di situs Koran juga beragam.
Ada yang kesal tapi mencoba bersabar,
“kondisi yang memprihatinkan, namun itulah kenyataannya... dan lebih miris lagi, tidak adanya tindakan NYATA yang dilakukan untuk menghentikan itu semua. Sepertinya kuping mereka sudah tebal. Doakan sajalah, dan tetap berkata positif”
Ada yang berbaik hati mendoakan,
“Ya, Allah hukumlah mereka Ya Allah, jadikan satu mata mereka sebesar bola tenis, jadikan hidung mereka belalai gajah, jadikan mulut mereka sebesar mangkuk bakso, jadikan lidah mereka sepanjang 40 cm, jadikan telinga mereka sebesar asbak, dan beri mereka penyakit kelamin yg paling menjijikkan.. Amin Ya Rabbal 'Alamin..”
Dan ada juga yang benar-benar emosi (barangkali),
Sejujurnya DPR RI memang membutuhkan banyak studi banding ke manca negara...karenai rata2 anggota parlemen kita ini memang secara kualitas nol besar.. perlu belajar banyak.. maklumlah kemampuan utama ilmu mereka adalah membohongi rakyat.. kadal mengkadali... akal-akalan... korupsi... dan terutama ahli sulap menyulap... bayangkan kerugian negara 6,7 T kasus Century disulap seolah olah negara tidak dirugikan.... jangan kaget bila kelak mereka akan studi banding ke neraka di biayai negara..!
Jadinya??
Editorial menutup kegelisahaan ini dengan sebaris kata “Studi banding yang dilakukan DPR jelas adalah kebodohan yang tiada bandinganya”
Silahkan dicerna. Boleh setuju. Boleh tidak.
Monday, September 13, 2010
Cerita Ulang Bharatayudha dalam Aransemen Generasi MTV (Bagian 1)
Hari Pertama
Gemuruh pertempuran membelah angkasa. Genderang perang bertalu membahana. Terompet ditiup menderu kencang-kencang. Kuda dan gajah perang meringkik dan melengking. Prajurut bersorak, panah berterbangan bak meteor. Masing-masing sudah ready combat, siap saling serang. Ini adalah perang gila yang mengerikan. Saudara sepupu, Kakek dan cucu, Paman dan Kemenakan, Guru dan Murid saling bunuh di tegal kurusetra. Pandawa mengangkat Sweta, Uttara dan Wratsangka Putra-putra Wirata sebagai panglima perang dan Kurawa menunjuk Bhisma Putra Gangga sebagai sang Senopati.
Bhisma tancap gas, langsung bergerak menggila bagai tarian sang malaikat penghancur. Sebelum tengah hari, pasukan Pandawa banyak mengalami kekalahan. Abimanyu putra Arjuna, The Rising Star kubu Pandawa yang tangkas berperang tak tinggal diam, ia maju menantang sang kakek. Tetua keluarga dan cucu itu bertarung keras. Konon para dewa turun untuk melihat pertempuran itu. Panji-panji berlambang pohon karnikara milik Abimanyu berkibar gagah. Dengan tangkas Abimanyu menangkis serangan-serangan Bhisma yang tajam, sekaligus melayangkan counter attack dengan memenggal kepala sais kereta Bhisma dan menjatuhkan panji-panji pohon palem milik sang Kakek.
Putra Gangga sangat senang melihat keberanian anak muda itu. Dengan berat hati, ia harus mengerahkan seluruh kesaktiannya melawan si cucu. Uttara, Dristadyumna putra Drupada dan Bima segera datang membantu menyerang Bhisma yang ditopang Prabu Salya. Uttara dengan berkendara Gajah gigih menyerang Salya hingga kereta kudanya hancur berantakan. Tetapi secepat kilat, Salya melesatkan tombaknya menghujam jantung Uttara. Uttara roboh seketika.
Swetta menyaksikan bagaimana Salya menghabisi adiknya. Amarahnya memuncak, ia lantas memburu Salya yang segera dilindungi tujuh ksatria Kurawa. Makin sengit, Swetta bertarung bak singa lapar. Ribuan prajurit Kurawa tewas dan kereta perang rusak. Bhisma datang untuk menahan Swetta yang mengganas. Bhisma dan Swetta duel, beradu tombak. Sengit, namun akhirnya Swetta kalah. Tombak Bhisma menembus dadanya, dan tewaslah panglima perang pandawa itu.
Hari pertama, pasukan Pandawa mengalami kekalahan. Duryodana, Dursasana dan Kurawa lainnya menari-nari merayakan kemenangan hari itu.
Hari Kedua
Setelah tewasnya Prabu Swetta, pasukan Pandawa mengangkat Dristadyumna, saudara Drupadi Putra Raja Panchala sebagai Senapatinya. Pasukan Kurawa yang dipimpin Bhisma sekali lagi mengantam lawannya dengan keras. Formasi perang milik Pandawa hancur berantakan. Bhisma menggila!
“Jika hal demikian berlarut, Pasukan kita akan dihabisi. Kakek Bhisma harus dihentikan,”ujar Arjuna.
Arjuna merengsek maju menyerang Bhisma. Duryudhana langsung memerintahkan pasukannya untuk melindungi sang kakek. Ketangkasan Arjuna menggunakan busurnya, mampu memporakporandakan bala tentara yang dikirimkan Duryudhana. Arjuna dan Bhisma, keduanya ksatria terbesar di muka bumi. Pertempuran keduanya tampak seimbang dan berlangsung sengit. Anak panah melesat bagai petir, saling serang. Kereta mereka bergerak sangat cepat. Konon, para dewa turun dari kahyangan menyaksikan laga ini.
Dibagian arena yang lain juga terjadi duel maut antara Durna dan Dristadyumna. Pedang dan anak panah mereka menderu dengan kebencian membara. Dristadyumna akhirnya terluka, bahkan sampai terlempar dari kereta perangnya. Pada saat kritis itu, BIma segera datang menyelamatkan mahasenapatinya. Melihat Bima menyerang Durna, Duryudhana segeram mengirim pasukan Kalinga-nya, semacam pasukan elite milik kubu Kurawa. Bima mengamuk bagai dewa kematian dan membunuh sejumlah besar pasukan itu.
Menyaksikan itu, Bhisma segera datang membantu pasukan Kalinga. Abimanyu, Satyaki dan beberapa ksatria Pandawa segera datang juga membantu Bima. Serangan dahsyat mereka berhasil menewaskan sais kereta Bhisma. Akibatnya, Bhisma menjadi oleng, dan harus berlari meninggalkan medan laga untuk menyelamatkan diri. Kesempatan ini dimanfaatkan pasukan Pandawa untuk menghabisi lawannya. Tidak terhitung kehilangan prajurit yang dialami Kurawa.
Senja datang, menutup perang hari kedua. Giliran Kurawa mengalami suasana kekalahan yang dialami Pandawa pada hari pertama.
Hari Ketiga
Bhisma mengatur pasukan kurawa dengan formasi Garudawyuha (burung garuda). Ia sendiri berdiri paling depan, dan Duryudhana berada dibelakang melindungi bagian ekor. Segala sesuatu diatur dengan cermat, agar tidak menelan kekalahan lagi. Sementara Dristadyumna dan Arjuna mengatur pasukan Pandawa dengan strategi Ardhacandrabyuha (bulan sabit) untuk mengimbangi strategi lawan. Bima berdiri di ujung kanan formasi dan Arjuna disisi sebelah kiri.
Perang kian sengit, deru senjata dan darah membanjir. Serangan serempak kurawa pada posisi Arjuna, masih dapat dihalau putra Pandu dengan ketangkasan yang mengagumkan. Ditempat lain, Sengkuni, paman kurawa bertarung hebat dengan Abimanyu dan Satyaki. Durna dan Bhisma sama-sama menyerang Yudhistira yang dibantu Nakula dan Sadewa. Bima dan putranya, Gatotkaca menyerang pasukan Duryudhana. Duryudhana terluka parah dibagian punggungnya.. Durna dan Bhisma pun segera datang untuk melindungi Duryudhana yang nyaris ambruk.
Setelah siang, Bhisma mengamuk dimedan perang. Ia kerahkan pasukan dan menyerang begitu dahsyat. Bhisma bergerak kilat dari satu tempat ke tempat lain dengan hantaman mematikan. Setiap lawan yang menghadangnya dipukul mundur. Srikandi dan Wasudewa gagal menahannya. Gantian pasukan Pandawa yang kacau balau.
Melihat keadan ini, Krishna (yang telah bersumpah untuk tak angkat senjata dan memilih menjadi sais kereta Arjuna) sang pengatur strategi perang Pandawa memperingatkan Arjuna untuk menghentikan Bhisma. Demikianlah, Krishna memacu kereta Arjuna mendekati Bhsima. Ksatria tua itu menyambut dengan tembakan ratusan anak panah persis mengarah ke sasaran. Panah-panah sang kakek menerjang dengan trengginas. Tapi Arjuna melawan tidak dengan sepenuh hati,ia sangat menghormati kakeknya.
Krishna tidak puas dengan cara Arjuna menghadapi Bhisma. Menurutnya jika Arjuna terus bersikap demikian, pasukan Pandawa yang saat itu mentalnya sedang down akan semakin kacau dan mudah ditaklukkan. Arjuna masih belum melawan dengan sungguh-sungguh, sementara Bhisma makin menguasai keadaan. Hal ini membuat Krishna gatal, ia tidak sabar lagi.
“Aku tidak sabar lagi Arjuna. Akan ku bunuh Bhisma sendiri!” ia berseru pada Arjuna sambil melompat turun dan mengambil kuda-kuda untuk melepas senjata Cakra andalannya kearah Bhisma.
Arjuna terpana melihat kemarahan Krishna. Ia pun merasa malu, dan mengejar Krishna. Akhirnya ia berhasil membujuk Krishna untuk mundur kembali dan berjanji untuk berperang dengan lebih semangat. “Aku berjanji untuk memenuhi kewajibanku memenangkan pertempuran ini!”
Efek “ancaman” Krishna sukses, Arjuna balik mengganas. Ia menyerang balik Bhisma dan tentara kurawa bak banteng terluka. Ksatria sakti itu berhasil meremukkan bangunan formasi Kurawa. Sore itu itu Kurawa kembali mengalami kekalahan. Arjuna putra Pandu Dewanata keluar sebagai Man of the Match dalam perang hari ketiga.
Tuesday, September 7, 2010
Perjalanan Dimulai (Lagi) dari Banda Naira
Hujan agak deras tiba-tiba turun, tidak lama setelah saya dan seorang karib tiba disebuah café di sekitar Tamansari Bandung. Untuk sebuah reuni kecil sekaligus buka puasa. Pertemuan yang tidak dirancang jauh-jauh hari. Kebiasaan yang serba mendadak. Kebetulan ketika itu pekerjaan saya dan seorang teman sudah selesai. Kebetulan jam kuliah seorang teman yang lain juga sudah habis. Kebetulan juga ada berita dari akun Dira Sugandhi (seorang penyanyi jazz muda), bahwa ia akan bernyanyi di Café itu pada senja yang sama untuk sebuah acara Charity. Dan kebetulan kami memang sudah lama tak berkumpul. Klop…
Menu makanan dan minuman dan perbincangan sore itu tidak akan dibahas. Saya lebih tertarik bercerita tentang panggung kecil disitu. Panggung sederhana dan akustik.. Pemusik-pemusik lokal Bandung tampil, beberapa diantaranya adalah artis atau personel band mayor label yang kerap saya lihat di televisi. Suasananya hangat, penonton ramai memberi apresiasi.
Jam setengah delapan lewat saat pemandu acara menyuarakan bahwa setelah ini yang akan tampil adalah Banda Naira!
Hah? Banda Naira? Irsa Destiwi? Lea Simanjuntak?
Bener saja, mereka berdua muncul di panggung. Irsa memang selalu cantik dan sungguh elegan dibalik pianonya. Tapi malam itu make-upnya agak lebih tebal dari biasanya. Dan Lea memang selalu pintar menyapa penonton dan bercerita. Tiga lagu saja malam itu dari album independen mereka : The Journey of Indonesia. Penampilan singkat tapi cukup pas dan menggelora.
Saya jadi tertarik dengan album itu.
Pernah mendengar sedikit tentang album ini akhir tahun lalu, tapi saya belum sempat menyimaknya. Kebetulan (lagi) saja, di belakang panggung ada yang jual dan tidak butuh pikir panjang untuk segera membelinya.
Lalu acara selesai, perjumpaan kembali berakhir dan saya pulang dengan CD album itu. Sampai jumpa kawan lama,.. Selamat datang di Banda Naira…
Banda Naira adalah duet piano-vocal kedua orang tadi. Nama Banda Naira diambil dari sebuah pulau di perairan Maluku. Entah kenapa mereka memilih Banda Naira sebagai bendera, jelas bukan sekedar turut menamai diri dengan tapak geografis seperti Halmahera, Karimata, Krakatu, mungkin. Hingga kemudian terpilihlah konsep ini, dan saya setuju dengan ulasan wartajazz tentang pilihan mereka : Ada kesan noir dari citra penyanyi solo yang bersanding anggun dengan pemain piano tunggal. Atribut minimalistik yang melambungkan ingatan kita pada crooning beriringkan piano stride dari Édith Piaf (legenda pemilik “La Vie En Rose”). Piaf menarasikan “Milord” dalam gestur monolog mendongak, menghayati drama rayuan lagu.
Dibuka dengan Indonesia Pusaka, salah satu dari empat karya komponis Ismail Marzuki yang masuk dalam Album ini. Langsung terasa solidnya. Duet ini berpadu manis dengan rhythm yang dibangun pemain bass Doni Sundjoyo dan permainan perkusi seorang bule, Philippe Ciminato. Track selanjutnya, Cinta Indonesia ciptaan Guruh Sukarno Putra. Komposisi aroma latino yang ceria. “Cinta Indonesia, padamu beta t’lah menyatu, padamu beta kan setia membela. Oh tanah tumpah darah nan suci mulia”. Penuh rangsangan untuk memacu rasa bangga pada tanah air. Saya suka dengan suara tebal Lea di lagu ini, sangat memunculkan karakter yang dinamis..
Sepasang Mata Bola (Ismail Marzuki) dimainkan secara memikat di urutan ketiga. Saya sangat suka dengan model aransemen macam ini. Suara mute trumpet yang dimainkan dengan lirih oleh Indra Artie Dauna (seperti kata Arif Kusbandono), seolah memindahkan kabut malam di Bourbon street ke Yogyakarta. Sepintas saya membayangkan seperti seorang pemuda pejuang yang sedang berada dalam perjalanan kereta api dari Batavia menuju Jogja, membawa propaganda Indonesia Merdeka. Pepat dengan bisikan patriotik nan romantic.
The Jakarta Broadway Singers turut unjuk sentuhan di album ini. Memberi latar yang gempita dan penuh gizi ketika mengiringi nyanyian Lea nan centil menggoda dalam Sersan Mayor (Ismail Marzuki). Lea sepertinya paham betul bagaimana melantunkan barisan kata-kata kekaguman pada sosok “idaman hasrat hati” dengan vocal impresif : “Alangkah manisnya, Miring pecinya. Aku namakan dia burung garuda nan istimewa”.
Banda Naira secara gagah berani merekam kembali lagu-lagu wajib jaman SD dulu. Macam Maju Tak Gentar (C. Simandjuntak), Hari Merdeka (H.Mutahar), Ibu Kita Kartini (WR. Supratman) atau Desaku (L. Manik). Dalam racikan Banda Naira lagu-lagu itu bagai menjadi muda kembali. Istimewa, lezat, benar-benar dalam kemasan anyar nan beda. Hingga nomor-nomor yang kerap terlupa itu singgah kembali dalam deretan playlist , bersanding dengan Starlite Carrousel – Frau, Speak for Your Self - Imogen Heap, atau Sarasvati.
Pun aksen-aksen menawan Banda Naira pada dua lagu yang akan selalu lekat di ingatan sepanjang masa, seperti Payung Fantasi (Ismail Marzuki) dan Dibawah Sinar Bulan Purnama (Maladi). Kian mengukuhkan respek luar biasa atas pilihan bermusik mereka.
The Journey of Indonesia sungguh terasa futuristik. Peluang intepretasi dan menggubah “bait-bait muda patriotik” dan “pesona abadi” para penggubah Indonesia dimanfaatkan seluas-luasnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)