INDONESIA MERDEKA
INDONESIA MERDEKA
Tuesday, September 7, 2010
Perjalanan Dimulai (Lagi) dari Banda Naira
Hujan agak deras tiba-tiba turun, tidak lama setelah saya dan seorang karib tiba disebuah café di sekitar Tamansari Bandung. Untuk sebuah reuni kecil sekaligus buka puasa. Pertemuan yang tidak dirancang jauh-jauh hari. Kebiasaan yang serba mendadak. Kebetulan ketika itu pekerjaan saya dan seorang teman sudah selesai. Kebetulan jam kuliah seorang teman yang lain juga sudah habis. Kebetulan juga ada berita dari akun Dira Sugandhi (seorang penyanyi jazz muda), bahwa ia akan bernyanyi di Café itu pada senja yang sama untuk sebuah acara Charity. Dan kebetulan kami memang sudah lama tak berkumpul. Klop…
Menu makanan dan minuman dan perbincangan sore itu tidak akan dibahas. Saya lebih tertarik bercerita tentang panggung kecil disitu. Panggung sederhana dan akustik.. Pemusik-pemusik lokal Bandung tampil, beberapa diantaranya adalah artis atau personel band mayor label yang kerap saya lihat di televisi. Suasananya hangat, penonton ramai memberi apresiasi.
Jam setengah delapan lewat saat pemandu acara menyuarakan bahwa setelah ini yang akan tampil adalah Banda Naira!
Hah? Banda Naira? Irsa Destiwi? Lea Simanjuntak?
Bener saja, mereka berdua muncul di panggung. Irsa memang selalu cantik dan sungguh elegan dibalik pianonya. Tapi malam itu make-upnya agak lebih tebal dari biasanya. Dan Lea memang selalu pintar menyapa penonton dan bercerita. Tiga lagu saja malam itu dari album independen mereka : The Journey of Indonesia. Penampilan singkat tapi cukup pas dan menggelora.
Saya jadi tertarik dengan album itu.
Pernah mendengar sedikit tentang album ini akhir tahun lalu, tapi saya belum sempat menyimaknya. Kebetulan (lagi) saja, di belakang panggung ada yang jual dan tidak butuh pikir panjang untuk segera membelinya.
Lalu acara selesai, perjumpaan kembali berakhir dan saya pulang dengan CD album itu. Sampai jumpa kawan lama,.. Selamat datang di Banda Naira…
Banda Naira adalah duet piano-vocal kedua orang tadi. Nama Banda Naira diambil dari sebuah pulau di perairan Maluku. Entah kenapa mereka memilih Banda Naira sebagai bendera, jelas bukan sekedar turut menamai diri dengan tapak geografis seperti Halmahera, Karimata, Krakatu, mungkin. Hingga kemudian terpilihlah konsep ini, dan saya setuju dengan ulasan wartajazz tentang pilihan mereka : Ada kesan noir dari citra penyanyi solo yang bersanding anggun dengan pemain piano tunggal. Atribut minimalistik yang melambungkan ingatan kita pada crooning beriringkan piano stride dari Édith Piaf (legenda pemilik “La Vie En Rose”). Piaf menarasikan “Milord” dalam gestur monolog mendongak, menghayati drama rayuan lagu.
Dibuka dengan Indonesia Pusaka, salah satu dari empat karya komponis Ismail Marzuki yang masuk dalam Album ini. Langsung terasa solidnya. Duet ini berpadu manis dengan rhythm yang dibangun pemain bass Doni Sundjoyo dan permainan perkusi seorang bule, Philippe Ciminato. Track selanjutnya, Cinta Indonesia ciptaan Guruh Sukarno Putra. Komposisi aroma latino yang ceria. “Cinta Indonesia, padamu beta t’lah menyatu, padamu beta kan setia membela. Oh tanah tumpah darah nan suci mulia”. Penuh rangsangan untuk memacu rasa bangga pada tanah air. Saya suka dengan suara tebal Lea di lagu ini, sangat memunculkan karakter yang dinamis..
Sepasang Mata Bola (Ismail Marzuki) dimainkan secara memikat di urutan ketiga. Saya sangat suka dengan model aransemen macam ini. Suara mute trumpet yang dimainkan dengan lirih oleh Indra Artie Dauna (seperti kata Arif Kusbandono), seolah memindahkan kabut malam di Bourbon street ke Yogyakarta. Sepintas saya membayangkan seperti seorang pemuda pejuang yang sedang berada dalam perjalanan kereta api dari Batavia menuju Jogja, membawa propaganda Indonesia Merdeka. Pepat dengan bisikan patriotik nan romantic.
The Jakarta Broadway Singers turut unjuk sentuhan di album ini. Memberi latar yang gempita dan penuh gizi ketika mengiringi nyanyian Lea nan centil menggoda dalam Sersan Mayor (Ismail Marzuki). Lea sepertinya paham betul bagaimana melantunkan barisan kata-kata kekaguman pada sosok “idaman hasrat hati” dengan vocal impresif : “Alangkah manisnya, Miring pecinya. Aku namakan dia burung garuda nan istimewa”.
Banda Naira secara gagah berani merekam kembali lagu-lagu wajib jaman SD dulu. Macam Maju Tak Gentar (C. Simandjuntak), Hari Merdeka (H.Mutahar), Ibu Kita Kartini (WR. Supratman) atau Desaku (L. Manik). Dalam racikan Banda Naira lagu-lagu itu bagai menjadi muda kembali. Istimewa, lezat, benar-benar dalam kemasan anyar nan beda. Hingga nomor-nomor yang kerap terlupa itu singgah kembali dalam deretan playlist , bersanding dengan Starlite Carrousel – Frau, Speak for Your Self - Imogen Heap, atau Sarasvati.
Pun aksen-aksen menawan Banda Naira pada dua lagu yang akan selalu lekat di ingatan sepanjang masa, seperti Payung Fantasi (Ismail Marzuki) dan Dibawah Sinar Bulan Purnama (Maladi). Kian mengukuhkan respek luar biasa atas pilihan bermusik mereka.
The Journey of Indonesia sungguh terasa futuristik. Peluang intepretasi dan menggubah “bait-bait muda patriotik” dan “pesona abadi” para penggubah Indonesia dimanfaatkan seluas-luasnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment