INDONESIA MERDEKA

INDONESIA MERDEKA

Sunday, October 17, 2010

Surat Singkat Untuk Inge Scholl

Inge,
Bertahun – tahun setelah kematian Hans dan Sophie, kami mencoba mempelajari banyak hal serupa. “We read history in order not to have to repeat it. " Ya, dengan maksud terbaik agar kita tidak mengulangi sejarah yang tragis.

Bersama surat ini kami sampaikan kedukaan terdalam sekaligus penghormatan setinggi-tingginya atas perjuangan anda dan para Scholls. Saya tahu amat sulit menerbangkan berita dan pesan rahasia untuk keluar hidup-hidup dari penjara NAZI, karena Gestapo tak pernah main-main. Pun pasti tidak mudah bagimu mengungkapkan informasi yang terbuka atau hal-hal yang bersifat pribadi untuk kemudian diserang balik oleh kritikan publik. Apalagi, menceritakan kembali luka-luka yang menganga, jauh setelah perang berakhir.

Seperti itukah rasanya akrab dengan deportasi dari kamp ke kamp, penjara ke penjara? Kami tak berani membayangkan pengap dan ketidaknyamanan didalam sana. Kalian tentu sangat menderita.

Kami sedang berharap bisa memiliki sebuah kesadaran yang teguh untuk merintis perdamaian di negeri kami. Ingin rasanya ikut berbaris bersama Hans, Sophie dan teman-teman demi cita-cita perdamaian itu dijalan-jalan Eropa, kemudian melakukan yang sama disini. Sungguh sulit ternyata menemukan model atau peran terbaik apa yang cocok bagi generasi kami. Karena itu, kami ingin belajar dari mereka sebagaimana mereka berhasil menyalakan cahaya kecil di lorong paling gelap dalam sejarah Jerman. Semoga kami tidak putus asa kelak.

Hans, Sophie dan teman-temannya tidak berkata apa-apa tentang eksekusi dan guillotine. Apakah kau tahu, adakah mereka bersuka cita menjemput kematian itu? Memang benar, tiada indahnya penghukuman mereka karena tak ada yang lebih puitis selain kematian itu sendiri.

Regards,
Kampleng

*) Inge Scholl menulis sebuah account yang mencengkeram keberanian dan moralitas berjudul The White Rose : Munich 1942-1943 yang menceritakan tentang saudaranya Hans Scholl dan Sophie Scholl. Mereka memimpin organisasi bawah tanah kecil bernama The White Rose yang mengecam dan menentang kekejaman yang dilakukan Hitler dan rezim NAZI. Hans, Sophie dan seorang mahasiswa lain kemudian tertangkap dan dieksekusi mati. Buku ini berisi surat-surat, kutipan buku harian, foto-foto, transkrip dari leaflet kritis yang pernah disebar Scholl cs serta dokumen pengadilan dan eksekusi.

Sunday, October 10, 2010

Cerita Ulang Bharatayudha dalam Aransemen Generasi MTV (Bagian 3)



Hari Kesepuluh

Pandawa menempatkan Srikandi di lini depan, dengan Arjuna mengiringi di belakangnya. Mereka langsung menyerang Bhisma. Bhisma, sang ksatria terbaik Hastinapura yang begitu garang di medan perang, justru malah gemetar menghadapi Srikandi, sang prajurit perempuan. Bukan karena takut, melainkan karena Putra Gangga langsung terbayang “kenangan pahit” dengan Dewi Amba yang tewas ditangannya. Seketika bergejolak batinnya saat teringat peristiwa ketika ia secara tak sengaja melepaskan anak panahnya hingga membunuh perempuan putri Negara Sriwantipura itu. Bhisma benar-benar tak berdaya karena memori masa lalu itu, hingga membuatnya lemas, lunglai seperti tak berkekuatan.

Dan… kesempatan itu dimanfaatkan Srikandi dengan mendaratkan anak-anak panahnya ke jantung Bhisma! Semula, amarah Bhisma meledak saat busur-busur itu menembus dadanya. Tapi ia segera teringat sumpah yang pernah diucapkannya ”Tidak akan menganiaya perempuan, apalagi membunuhnya”. Sebuah dharma ksatria yang ditepatinya.

Arjuna juga berpenuh daya menguatkan hatinya untuk menyerang sang kakek. Dari belakang Srikandi ia membidikkan panah-panah kearah bagian tubuh Bhisma yang lemah. Belasan anak panah menancap dibadan Bhisma, tentu sakit bukan kepalang. Namun Putra Gangga masih sanggup berdiri tegak, dan ia justru tersenyum ketika anak-anak panah itu makin menghujani tubuhnya. “Ini pasti panah cucu terbaikku, Arjuna!”

Hampir sekujur tubuh Bhisma tertembus panah Arjuna. Seperti pohon tumbang, Bhisma roboh ke tanah. Ketika ia roboh, konon dewa-dewa yang menyaksikannya dari langit menundukkan kepala, mengatupkan kedua tangan untuk member penghormatan terakhir kepada Bhisma. Berdasarkan versi seorang dalang kawakan dari dusun Plelen (Kampung ibuku) Solo dalam Lakon “Bhisma Gugur” yang ku saksikan bersama Pakde 18 tahun lalu, Saat Bhisma roboh itu, tersebar semerbak harum bunga dan hujan turun membasahi seluruh medan kurusetra. 

Badan Bhisma tidak menyentuh tanah. Ia terbaring ditopang panah-panah yang menembus sekujur badannya. Kedua belah pihak menghentikan pertempuran. Semua ksatria berlari mendekati Bhisma dan mengelilingi ksatria besar itu. “Kepalaku terkulai, tidak beralas”, kata Bhisma. Para ksatria Kurawa disekitarnya sibuk mencari dan membawakan bantal. Tapi ksatria tua itu menolak dengan tersenyum dan menoleh pada Arjuna cucu favoritnya. “Cucuku, berikan aku bantal yang pantas untuk seorang ksatria".

Arjuna, yang panah-panahnya menembus sekujur tubuh Bhisma, segera mengambil tiga anak panah, dan langsung menancapkan ketiganya ke tanah sehingga menopang kepala sang kakek. Dalam sekaratnya Bhisma masih meminta Duryudhana untuk menghentikan perang dan berdamai dengan Pandawa. Namun sekali lagi, hati Duryudhana yang angkuh itu telah membatu. Ia menolak berdamai, dan akan terus berperang.

***

Ketika mendengar Bhisma sekarat, Karna (yang selama Bhisma memimpin pasukan Kurawa, memilih menyisihkan diri dari peperangan) segera mendatangi Putra Gangga yang tengah sekarat ditengah medan tempur. Lalu, ia bersimpuh didekat kaki Bhisma sembari memberi penghormatan. Kembali Bhisma meminta Karna untuk mewujudkan perdamaian dengan Pandawa. Namun Karna yang sudah berjanji setia dan berhutang budi kepada Duryudhana, tidak dapat memenuhi permintaan Bhisma. Dengan penuh rasa hormat, ia memohon izin pada Bhisma untuk turun ke medan perang membantu Kurawa.

Setelah mendapat restu dari Bhisma, Karna dengan gagah berani turut angkat senjata.


Hari Kesebelas

Duryudhana akhirnya menunjuk Mahaguru Durna menjadi senopati perang. Pertimbangannya adalah sepeninggal Bhisma, Durna-lah yang dianggap paling senior, yang tidak ada lagi tandingannya dalam hal kewibawaan, kecakapan, kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan. Durna menyanggupi.

Durna mengatur pasukan Kurawa dengan formasi bola. Lubang besar pasca tewasnya Bhisma, dapat terobati dengan hadirnya Karna di kubu mereka. Karna adalah putra sais kereta Destarata. Namun sesungguhnya ia adalah putra sulung Dewi Kunti (ibu Pandawa) dan Bathara Surya, yang dibuang lalu ditemukan dan dibesarkan oleh sang Sais. Dalam hal ketangkasan senjata ia setara dengan Arjuna atau Krishna.

Durna memimpin Kurawa dengan sangat cakap. Meski sudah berumur, ia bergerak sangat lincah dan bertarung tak kalah dengan para ksatria muda. Sang mahaguru bertarung ganas, menghadapi Satyaki, Bima, Arjuna, Dristadyumna, Arjuna dan Drupada tanpa rasa gentar. Semua kalah oleh Durna, meskipun tak ada korban jiwa. Mahaguru kawakan itu mendemonstrasikan kemahirannya bersenjata dengan energy yang luar biasa. Melesat menghancurkan bak api membakar kayu-kayu. Ia berhasil memotong formasi Pandawa menjadi dua bagian.

sektor lain, Sadewa bertarung satu lawan satu dengan Sengkuni. Bima melawan Wiwimsati. Nakula versus Salya sang paman. Dristaketu melawan Kripa. Satyaki melawan Kritawarma. Wirata melawan Karna. Serta Abimanyu yang bergulat melawan keroyokan Paurawa dan Jayadrata.

Durna memutuskan membangkitkan semangat tempur Kurawa dengan menyerang langsung Yudhistira. Duel keras. Namun Durna berhasil mematahkan busur Yudhistira yag membuat sulung Pandawa ini terdesak. Dristadyumna berusaha menghadang Durna, tapi sia-sia. Durna merengsek mendekati Yudisthira. Namun tiba-tiba muncul Arjuna datang membantu. Dengan Gandewa, Arjuna sangat merepotkan Durna sehingga sang mahaguru urung mendekati Yudhistira.

Akhirnya, Durna mundur dan tidak berhasil mengalahkan Yudhistira, Pertempuran pun berhenti karena hari sudah gelap.


Hari Keduabelas

Perang makin ganas. Kurawa makin memburu Yudhistira dengan sangat ambisius. Susarma dan Pasukan Trigarta yang dikomando Durna untuk meringkus Arjuna bergerak cepat mengaplikasi strategi sang senapati. Namun Arjuna yang piawai berhasil memukul telak mereka. Arena kembali menjadi lautan mayat dan potongan tubuh yang tercabik-cabik berserakan dimana saja. Mengerikan!

Durna memerintahkan penyerangan ke posisi Yudhistira. Dristadyumna pun tak tinggal diam menyaksikan rajanya diserang, ia berusaha menahan Durna. Pasukan sang panglima pun mendapat serangan gencar dari Durna, banyak yang terluka dan mati. Durna makin mendekati Yudhistira, namun masih ada Satyajit dan Wrika yang coba menghadang. Namun malang bagi ksatria Panchala itu. Keduanya tewas ditangan Durna.

Melihat itu Satanika maju menahan Durna yang trengginas. Putra Wirata itu bukan tandingan sang mahaguru. Ia tewas, konon kepalanya putus dengan sumping warna keemasan yang masih utuh ditelinga. Ketama dan Washudana juga menyerbu Durna, tapi lagi-lagi kekuatan mereka belum sepadan. Keduanya juga menemui ajal. Hari itu Durna menggila. Ia berhasil membunuh banyak ksatria Pandawa.

Namun semangat gigih ksatria Pandawa (di pimpin Bima) dalam melindungi Yudhistira, membuat usaha Durna menangkap sang raja gagal juga. Duryudhana memimpin pasukan gajah untuk melawan Bima. Bima yang selalu punya motivasi berlipat setiap melawan Duryudhana, berhasil mendesak sulung Kurawa itu mundur. Raja Angga yang berusaha membantu Druyudhana tak dapat berbuat banyak. Ia kalah telak dari Bima, bahkan terbunuh. Kekalahan Duryudhana membuat kekacauan di kubu Kurawa.

Melihat kekacauan ini Bhogadetta tidak tinggal diam. Dengan gagah berani ia menantang Bima. Terjadilah duel megadahsyat. Bima agak kerepotan menghadapi serangan gajah raja Prajogtisa itu. Satyaki datang membntu Bima. Namun ia ikut terdesak. Bhogadetta menggila dan kian mengacaubalau barisan pertahanan Pandawa. Arjuna ikutan panas. Dengan seizin Krishna ia turut bantu menyerang Bhogadetta. Setelah berhasil melumpuhkan gajah raksasa sang raja, Ksatria tampan itu menyerang balik dengan dahsyat. Serangan tombaknya berhasil melukai mata Bhogadetta. Lalu dengan secepat kilat Arjuna melancarkan serangan susulan yang tak kalah mematikan, tombak bermata bulan sabit miliknya tepat membelah dada Bhogadetta. Ksatria Kurawa itupun tumbang sekeketika. Kurawa tambah panik.

Wrishna dan Achala lantas mengeroyok Arjuna dari depan belakang. Tapi sial bagi mereka, Arjuna terlalu tangguh bagi kedua saudara Sengkuni itu. Mati-lah mereka ditangan Arjuna. Sengkuni sangat marah kedua saudaranya yang berani itu terbunuh. Ia menyerang Arjuna dengan sengit. Senjata gaib milik Sengkuni berhasil ditangkis Arjuna dengan tenang. Bahkan serangan balasan Arjuna mampu memaksa Sengkuni untuk menyingkir.

Alhasil, pasukan Pandawa berhasil memorak-porandakan bala tentara Kurawa sampai saat senja membenamkan mentari. Perang terhenti. Pandawa kembali memperoleh kepercayaan diri pasca kemenangan hari ini.

Wednesday, October 6, 2010

Segelas Air Tumpah

Semua sepakat serentak melongok ke luar jendela saat hujan tumpah dengan derasnya.. Semua kecewa. Sampai seorang teman melayangkan seuntai protes yang paling humanis pada hampa udara. “Kenapa kau (hujan) harus turun, saat aku mau pulang”. Aaaah, Hujaaan…

Seno Gumira Ajidarma punya kata-kata yang mudah diingat tentang hujan.
Hujan yang turun tidak sekedar sebagai air turun dari langit yang “netral”. Hujan dikehendaki punya makna“.

Mungkin romantik.. (sepasang kekasih berjalan di bawah satu payung berjalan ditengah hujan lebat).

Mungkin sentimental (seorang berusia paruh baya memandang keluar jendela ketika hujan lebat sembari mengenang masa lalunya),

Dan yang kurang personal : Mungkin duka. (banjir lagi alias lagi-lagi banjir)..

Barangkali, beragam kesan tentang hujan terlanjur bersemayam pada setiap jiwa. Karena hujan begitu akrab, menginspirasi dan tak terduga.

Sore ini mungkin hujan akan menyebalkan bagi beberapa kepala. Paham kan kenapa ada yang kecewa dengan ini? Hujan tak Cuma menunda. Membuat jadi menunggu. Tapi pasti sudah terbayang bermacam ketidaknyamanan perjalanan pulang ke rumah saat hujan turun atau setelah ia berhenti turun.

Mau tak mau aku tergerus dengan sebal ini. Sampai aku tulisan ini selesai, hujan belum juga reda.

“Hujan, Kenapa kau harus turun, saat aku mau pulang?”

Saturday, October 2, 2010

Jazz dan Mendoan



Menikmati pertunjukan musik Jazz (dalam panggung paling kecil sekalipun) adalah sebuah kegemaran spesifik bagi Kampleng. Dia paham betul bagimana Jazz mampu membuat malam-malam tertentu menjadi menarik, bergelora, mengajak bernyanyi tanpa suara dan rasa penasaran sekaligus. Atau bagaimana Jazz sanggup menghadirkan kesegaran seperti kicauan burung di pagi yang cerah atau wajah bunga-bunga yang bermekaran seperti yang diceritakan dalam film atau novel. Ya, bagi Kampleng, Jazz ibarat kebun bunga. Kebun yang penuh warna-warni indah bermekaran sepanjang mata memandang, lengkap dengan tetesan embun yang kemudian menguap diajak naik oleh matahari.

Suatu ketika Kampleng membaca sebuah novel berjudul “Jazz, Parfum dan Insiden”*. Disitulah ia coba mengeja kontinen makna Jazz. Bahwa Jazz bisa berarti apa saja, tergantung dari mana mulainya. Jazz bukan musik, melainkan bahasa, komunikasi. Jazz adalah hiburan, namun hiburan yang pahit, sendu dan mengungkit-ungkit rasa duka. Jazz adalah pembebasan jiwa, sebuah nyanyian diiringi suara rantai terseret. Itulah rantai yang mengikat tangan dan kaki para budak dimana mereka tidak menjadi bebas karena nyanyian namun tak ada rantai yang sanggup menghalangi mereka menyanyi. Jazz adalah dialog yang terjadi seketika, spontan dan tanpa rencana.

Toh tidak pernah ada jawaban final dan memuaskan dari sumber apapun mengenai Jazz. Namun Kampleng sepakat bahwa tidak penting Jazz itu apa. Yang penting kita dengar saja musiknya, rasa yang ditularkannya. Tidak usah tahu musiknya untuk memahami rasa, tidak usah pandai bermusik untuk menyukai Jazz!

Satu hal yang disepakati Kampleng soal Jazz adalah kebebasan yang hadir secara konkret dalam suatu ruang bernama improvisasi. Seperti yang ia baca dan pahami, memang ada kerangka sebuah lagu, namun setiap musisi bisa memainkan instrumennya secara akrobatik di sekitar kerangka itu. Bersama waktu, suara-suara setiap instrumen itu mengalir bagai mengikuti suatu garis penunjuk, namun mereka tidak betul-betul selalu mengikuti garis itu, kadang-kadang mereka berbelok entah kemana, menghilang lantas kembali lagi, atau memang mengikuti garis itu. Sambil meloncat-loncat, menari, jungkir balik- semuanya secara imprivisatoris dan tidak saling merusak. Bila tiba saatnya satu instrument ditonjolkan, dimana sang musisi mendemonstrasikan kepiawaian individualnya, yang lain secara otomatis tahu diri untuk tidak mengacaunya. Penuh kompromi, dan sangat nikmat.

Menikmati tempe mendoan** juga tak kalah pentingnya bagi hidup Kampleng. Bukan sekedar kudapan murah meriah yang disajikan dalam keadaan hangat disertai dengan sambal kecap dan cabe rawit untuk menemani minum teh atau kopi saat santai.
Tempe mendoan telah menjadi bagian masa muda yang bergegas. Begitu identik dengan tahun-tahun yang penuh petualangan dan sensasi : mengingat arti hidup, memahami lemparan nasib, memaknai segalanya. Menjadi saksi pembakaran energy atau mengkristalnya beban seorang belia yang labil. Sesuatu yang begitu akrab, tak bisa dijelaskan, tak pernah bisa dipastikan seluk beluknya.

Tempe mendoan adalah sempalan perjalanan, jejaring kenangan yang bisa dingat-ingat. Di kampus, di tempat kos, di trotoar, di taman, di gunung, di hutan, di terminal, di stasiun, di warteg, di angkringan, di pinggir sawah, di bawah jembatan. Begitu serasi mengantar diskusi, menulis, membaca buku, mencari tahu informasi untuk dikuliti,di urai atau di perdebatkan.

Dan malam tadi, Kampleng menikmati keduanya sekaligus, petunjukkan musik sebuah kuintet yang memainkan jazz standar dan sepiring tempe mendoan. Inilah peristiwa favoritnya. Masa dimana ia merasakan santai yang luas. Sebuah penjelajahan yang semoga tiada usai, tak pernah sampai, tak habis-habis. Kesenangan yang komplet, bak meteor, komet, bintang, bulan sabit dan benda langit lain bertebaran di malam jernih. Kegembiraan yang terang benderang, tidak mendung, tidak pekat, seperti warna-warna langit menggugah.

Kiranya Kampleng begitu nyaman di meja itu. Senyumnya mengalir. Mari, ucapkan selamat padanya…

*) Novel Jazz, Parfum & Insiden karya Seno Gumira Ajidarma ; Yayasan Bentang Budaya 1996
**) Kata mendoan dianggap berasal dari bahasa Banyumasan, mendo yang berarti setengah matang atau lembek. Mendoan berarti memasak dengan minyak panas yang banyak dengan cepat sehingga masakan tidak matang benar. Bahan makanan yang paling sering dibuat mendoan adalah tempe dan tahu (Wikipedia).
***) Foto mendiang John Coltrane, salah satu legenda musik jazz…