INDONESIA MERDEKA

INDONESIA MERDEKA

Saturday, October 2, 2010

Jazz dan Mendoan



Menikmati pertunjukan musik Jazz (dalam panggung paling kecil sekalipun) adalah sebuah kegemaran spesifik bagi Kampleng. Dia paham betul bagimana Jazz mampu membuat malam-malam tertentu menjadi menarik, bergelora, mengajak bernyanyi tanpa suara dan rasa penasaran sekaligus. Atau bagaimana Jazz sanggup menghadirkan kesegaran seperti kicauan burung di pagi yang cerah atau wajah bunga-bunga yang bermekaran seperti yang diceritakan dalam film atau novel. Ya, bagi Kampleng, Jazz ibarat kebun bunga. Kebun yang penuh warna-warni indah bermekaran sepanjang mata memandang, lengkap dengan tetesan embun yang kemudian menguap diajak naik oleh matahari.

Suatu ketika Kampleng membaca sebuah novel berjudul “Jazz, Parfum dan Insiden”*. Disitulah ia coba mengeja kontinen makna Jazz. Bahwa Jazz bisa berarti apa saja, tergantung dari mana mulainya. Jazz bukan musik, melainkan bahasa, komunikasi. Jazz adalah hiburan, namun hiburan yang pahit, sendu dan mengungkit-ungkit rasa duka. Jazz adalah pembebasan jiwa, sebuah nyanyian diiringi suara rantai terseret. Itulah rantai yang mengikat tangan dan kaki para budak dimana mereka tidak menjadi bebas karena nyanyian namun tak ada rantai yang sanggup menghalangi mereka menyanyi. Jazz adalah dialog yang terjadi seketika, spontan dan tanpa rencana.

Toh tidak pernah ada jawaban final dan memuaskan dari sumber apapun mengenai Jazz. Namun Kampleng sepakat bahwa tidak penting Jazz itu apa. Yang penting kita dengar saja musiknya, rasa yang ditularkannya. Tidak usah tahu musiknya untuk memahami rasa, tidak usah pandai bermusik untuk menyukai Jazz!

Satu hal yang disepakati Kampleng soal Jazz adalah kebebasan yang hadir secara konkret dalam suatu ruang bernama improvisasi. Seperti yang ia baca dan pahami, memang ada kerangka sebuah lagu, namun setiap musisi bisa memainkan instrumennya secara akrobatik di sekitar kerangka itu. Bersama waktu, suara-suara setiap instrumen itu mengalir bagai mengikuti suatu garis penunjuk, namun mereka tidak betul-betul selalu mengikuti garis itu, kadang-kadang mereka berbelok entah kemana, menghilang lantas kembali lagi, atau memang mengikuti garis itu. Sambil meloncat-loncat, menari, jungkir balik- semuanya secara imprivisatoris dan tidak saling merusak. Bila tiba saatnya satu instrument ditonjolkan, dimana sang musisi mendemonstrasikan kepiawaian individualnya, yang lain secara otomatis tahu diri untuk tidak mengacaunya. Penuh kompromi, dan sangat nikmat.

Menikmati tempe mendoan** juga tak kalah pentingnya bagi hidup Kampleng. Bukan sekedar kudapan murah meriah yang disajikan dalam keadaan hangat disertai dengan sambal kecap dan cabe rawit untuk menemani minum teh atau kopi saat santai.
Tempe mendoan telah menjadi bagian masa muda yang bergegas. Begitu identik dengan tahun-tahun yang penuh petualangan dan sensasi : mengingat arti hidup, memahami lemparan nasib, memaknai segalanya. Menjadi saksi pembakaran energy atau mengkristalnya beban seorang belia yang labil. Sesuatu yang begitu akrab, tak bisa dijelaskan, tak pernah bisa dipastikan seluk beluknya.

Tempe mendoan adalah sempalan perjalanan, jejaring kenangan yang bisa dingat-ingat. Di kampus, di tempat kos, di trotoar, di taman, di gunung, di hutan, di terminal, di stasiun, di warteg, di angkringan, di pinggir sawah, di bawah jembatan. Begitu serasi mengantar diskusi, menulis, membaca buku, mencari tahu informasi untuk dikuliti,di urai atau di perdebatkan.

Dan malam tadi, Kampleng menikmati keduanya sekaligus, petunjukkan musik sebuah kuintet yang memainkan jazz standar dan sepiring tempe mendoan. Inilah peristiwa favoritnya. Masa dimana ia merasakan santai yang luas. Sebuah penjelajahan yang semoga tiada usai, tak pernah sampai, tak habis-habis. Kesenangan yang komplet, bak meteor, komet, bintang, bulan sabit dan benda langit lain bertebaran di malam jernih. Kegembiraan yang terang benderang, tidak mendung, tidak pekat, seperti warna-warna langit menggugah.

Kiranya Kampleng begitu nyaman di meja itu. Senyumnya mengalir. Mari, ucapkan selamat padanya…

*) Novel Jazz, Parfum & Insiden karya Seno Gumira Ajidarma ; Yayasan Bentang Budaya 1996
**) Kata mendoan dianggap berasal dari bahasa Banyumasan, mendo yang berarti setengah matang atau lembek. Mendoan berarti memasak dengan minyak panas yang banyak dengan cepat sehingga masakan tidak matang benar. Bahan makanan yang paling sering dibuat mendoan adalah tempe dan tahu (Wikipedia).
***) Foto mendiang John Coltrane, salah satu legenda musik jazz…

No comments: