INDONESIA MERDEKA

INDONESIA MERDEKA

Tuesday, December 30, 2008

Drupadi Versi Dian Sastro (saya tidak belajar jadi kritikus)

Ada pujian, tapi cukup banyak ketidakpuasan pada Drupadi. Entah kenapa, saya tidak tau. Ada ratusan kepala yang menunggu, mengintai Drupadi sejak premiernya kemarin. Banyak penonton disetiap pemutaran, dan setiap pemutarannya adalah cawan yang mau tidak mau harus menampung bergulirnya subyektifitas yang masing-masing itu. Dari atas kebawah, hulu atau hilir, kanan kiri, belakang depan, punggung ke muka.
Bagi penggemar pada epik Mahabarata, pasti akan mudah menggulirkan tebakan pada (semacam) monolog di pembuka film : Amuk murka Drupadi kepada seluruh ksatria yang pada purnama itu larut dalam sebuah permainan dadu di ruang kebesaran Hastinapura. Drupadi yang bertanya, meramal dosa keturunan Barata di kemudian hari , menunjuk pada muka kekejian, menangisi diam pandawa, mencari sisa nurani Destarata, Dorna, Kripacarya atau Widura... Monolog itu melatari pilihan visual atas Bharatayudha (ditulis di program guide Jifest sebagai puncak film ini). Pilihan berpuisinya jatuh pada gambar. Mengirim pesan dari medan kurusetra.
Bagian pertama adalah Sayembara. Tidak ada Panchala (yang saya lihat begitu), hanya Drupadi yang menjadi perhatian. Ada pesona, yang ingin digambar dari wajah kecantikan Dian Sastro. Ada Pandawa, yang lima. Yudhisthira, Bima (yang kali ini badannya tidak lebih besar dari sang kakak), Arjuna dengan teknik voice over yang mirip Soe Hok-Gie, Nakula-Sadewa yang sepertinya sulit mencari orang kembar. Dan dari kubu Kurawa saya hanya melihat Karna. Ada proses yang terlewati (mungkin sengaja dilewati) dalam penolakan Karna oleh Drupadi. Tanpa keengganan yang keras dari Drupadi, kekecewaan kurawa, dan rasa terhina Karna yang dahsyat. Selanjutnya mengalir, kemenangan Arjuna (disini sang ksatria berhasil membidik setangkai bunga, dan memecahnya menjadi 5 bagian), diikuti senyum puas drupadi, dan Pandawa memboyong Drupadi pada Dewi Kunti
Bagian kedua adalah janji Dewi Kunti. Pilihannya jatuh bukan pada versi jawa. Kira-kira adalah bahwa segala sesuatu yang dimiliki Pandawa adalah untuk mereka berlima. Ada bagian, dimana Drupadi tengah membagi dirinya untuk kelima pandawa. Kata teman saya, itu ”gak jadi”. Katanya, Sosok Drupadi jadi kehilangan keanggunan.. Tapi biarlah, warna air laut juga gak harus biru di surealis.
Bagian Ketiga adalah Undangan bermain Dadu. Buat saya disinilah awal mula kesulitannya si pembuat film menyingkap detil mahabarata. Kalo orang inggris bilang, pembuat filmnya mulai keteteran. Yudhistira diceritakan langsung menimang undangan kurawa untuk bermain dadu. Sempat ada ajakan penolakan dari pandawa lainnya, tapi justru tidak dijelaskan sama sekali (entahlah kalau adegan ini sudah dibuat tapi kena sunting) yaitu : alasan kenapa Kurawa (yang diprovokasi Sakuni) mengajak Pandawa bermain dadu.
Bagian keempat, permainan dadu. Percobaan visualisasinya berhasil kog. Kalo kemarin saya sempat baca ada seorang kritikus yang bilang pada bagian ini banyak sekali kelemahan ya entahlah, ilmu saya gak setinggi itu untuk menemukan titik-titik lemahnya dimana. Karena buat saya ada bagian yang unik. Seumur hidup saya, mulai dari cerita Ayah, sampai saya beberapa kali nonton wayang orang, tokoh Sakuni selalu dibikin ”dingin”, tapi kali ini engga. Sakuni disini agak komikal, tengil, tapi tidak kehilangan aura liciknya. Mas Butet emang jago. Produsernya gak salah pilih pemain. Adegan main dadunya masuk di saya. Tapi harus adil juga, buat orang yang sedikit tau tentang cerita mahabarata mungkin bisa tanggap, tapi yang asing sama sekali ??
Pembuat filmnya bilang bahwa disini Drupadi adalah drupadi sebagai perempuan yang menolak menjadi komoditas. Tapi sampai saya keluar studio, saya masih bingung, bagian mana yang membangun konsep itu.. Diakhir permainan dadu (sesaat setelah Drupadi dipertaruhkan lantas berusaha ditelanjangi Dursasana dan Kurawa), dan adegan melompat jauh ke kurusetra, saya masih juga menimbang, dimana? Saya tidak mau mengeluhkan drupadi yang tiba-tiba jadi banyak omong.. Mungkin ini soal intepretasi saja, apa salahnya kan memperdengarkan jeritan batin Drupadi?
Ending-nya Bharatayudha.. Dengan pilihan yang sama dengan awal. Gambar, puisi, dan tembang jawa. Ada Drupadi yang menepati janjinya untuk keramas dengan darah kurawa, tapi tak pernah cukup untuk menjelaskan proses selanjutnya yang justru sangat agung : Drupadi adalah satu-satunya istri pandawa yang diajak dalam perjalanan menuju khayangan...
Tetap Two thumbs up buat film ini.. Soal transfer pandangan itu biasa. Gak fair kalo epik sesulit mahabarata harus bisa dicover semuanya dalam 45 menit.

Monday, December 22, 2008

Swing Ada Dibawah Pohon

Daun – daun disekitar situ masih basah, masih melekat sisa-sia hujan sore. Penonton mulai beranjak pulang, karena besok masih harus kerja. Aku menyusul dibelakang mereka, sendirian. Memandang panggung yang sudah ditinggal para pemain, hanya tersisa kibord, drum, gitar dan sebuah contra bass.
Ny. Kamarie dan pengiringnya sudah menghilang dibalik dinding kayu, beristirahat. Mereka baru saja menyelesaikan dialog, membagi kecintaan atas musik mereka.
Lullaby for love, adalah mukadimahnya. Nuansa New Orleans sudah mulai terasa disetengah delapan lewat sedikit itu. Suara vokalnya memang benar unik, sangat special buat swing. Dan memang benar kemampuan scat singing-nya itu, langsung memacu perhatianku untuk segera berkonsentrasi pada pertunjukan.. Jitu.
Swing mulai turun dari atas pohon. Aku gak kaget saat mereka mengusung Mistaken dan Fly me to the moon dalam set repertoire mereka. Konfigurasi yang tepat untuk merangsang gairah swinging mereka, dan menebarnya lewat angin malam. Out of tempo dibeberapa bagian, gak masalah karena overall adalah bagian yang disajikan sesuai takaran.
Mungkin seperti yang dibilang si Beben, bahwa langit tak selamanya biru dalam galaksi bernama jazz. Artinya menurut pemahaman dangkalku mengkonklusi (tentang jazz itu sendiri), ada sikap yang saling mengkonversi yang terbentuk ketika jazz dipilih untuk mentransfer berbagai aliran musik lain ke dalam dirinya. Paling tidak, lewat dua nomor standar yang selalu laris manis dalam panggung jazz : My Funny Valentine dan Fragile. Keduanya dimainkan lagi, tentu dengan metode yang berbeda. Dan celakanya saya tidak pernah bosan! Malah ada tambahan ilmu, bahwa progesi luar biasa ciptaan Sting itu ternyata bisa dinikmati dengan sedikit kasar sekalipun dan jadi semakin psychedelic.
Ada satu kesempatan dimana Ny. Kamarie bercerita tentang (aku menyebutnya) idealita dalam bemusik. Aku jadi ngerti kenapa dia memilih keluar dari konsep dewi-dewi (padahal kayanya disitu lebih bisa jadi mesin penghasil rupiah), Mungkin swing atau jazz lebih nyaman buatnya.
Dia tidak canggung memainkan nomor-nomor popish seperti Loving you, Kisah Cintaku (Dalam bentuk bosanova, yang lebih maskulin dibanding peterpan), dan sebuah lagu penghormatan untuk Daniel Sahuleka, Don’t Sleep Away tentu dengan orisinalitasnya.
Dan memang, Langit sah-sah saja kalau tidak berwarna biru. I Will Survive, jelas bukan lagu jazz. Tapi sekali lagi jazz sanggup mengendapnya sebagai sebuah sajian.. Pun Dengan No Woman No Cry yang meski sulit untuk menghilangkan kulit reggae-nya, Tapi juga sudah dibuktikannya, bahwa tak ada yang tak mungkin dalam jazz…
Ditengah, kerinduan untuk mendengarkan orang memainkan swing, malam itu sangat menghibur. Aku menunggu lagi, menunggu seorang pemain contra bass memainkan lagu tua Duke Ellington dengan elegan seperti yang dihidangkan pengiring Ny. Kamarie kemarin.

Monday, December 8, 2008

There Goes Your Captain


Itu adalah pernyataan sindiran yang keluar dari mulut seorang anak kecil. Menunjuk pada seorang laki-laki tua, yang sedang membersihkan lantai dengan puluhan butir keringan disekujur badannya.. “ Abu Raed is a liar,” lanjut Anak kecil lainnya. Sekelompok anak-anak itu seperti menyimpan kekecewaan, memandang orang tua itu dengan sinis. Semua kesal, kecuali seorang anak yang paling pendiam diantara mereka, Murad, tetangga dekat Abu Raed.
Abu Raed, hanyalah seorang tukang bersih-bersih di sebuah kantor maskapai Penerbangan di bandara. Badannya gemuk, rambutnya telah memutih, dan gerakan badannya sudah demikian lambat. Kemana pergi ia selalu menggenggam buku sejarah, mengenakan jas tua kesayangannya lengkap dengan sebuah topi kapten penerbang.
Anak-anak kecil yang bertetangga dengan flat-nya disebuah pemukiman kumuh di pinggiran Amman, semula mengira Abu Raed adalah seorang pilot. Mereka sering meminta Abu Raed untuk menceritakan pengalamannya terbang ke berbagai tempat diseluruh penjuru bumi. Abu Raed menyanggupi, meskipun ia harus mengarang cerita dan setiap hari berbohong. Ia selalu semangat bercerita, dan anak-anak itu selalu menyimak cerita demi cerita dengan penuh antusias. Abu raed tak punya pilihan lain, demi harapan membahagiakan dan sejenak membantu anak-anak itu keluar dari kesulitan hidup mereka, meski dengan cerita-cerita nan semu. Sampai hari itu di bandara.
Abu Raed yang sebatangkara paham atas kekesalan anak-anak itu. Tapi ia tetap menyayangi mereka, terutama pada sosok Murad. Murad tinggal di rumah yang penuh kesedihan. Ayahnya adalah seorang pedagang pakaian di pasar yang frustasi dan selalu pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Perangai kasar sang Ayah, yang kerap menyiksa ibunya secara fisik menghadirkan sebuah trauma dalam diri Murad. Murad gelisah, tak sanggup membebaskan ibunya sekaligus harus bersusah payah memberikan pengertian kepada adiknya Hilal terhadap penderitaan itu, sementara ia sendiri, juga jadi korban.
Abu Raed, berteman seorang perempuan karir berusia 30an yang kaya raya, Nour namanya. Nour juga seorang yang resah. Orang tua, keluarga, teman-temannnya selalu mengganggunya dengan perjodohan-perjodohan dan menekannya dengan pertanyaan yang nyaris sama setiap saat : “Nour, kapan kamu akan menikah?”. Hanya kepada Abu Raed-lah, Nour kerap menumpahkan kegusaran itu. “Nour, saat terbang kita bisa melihat alam dan bumi ada dibawah kita, dan saat kita telentang dibawah atap langit, kita juga bisa melihat alam ada diatas kita. Kamu harus mengikuti pilihanmu sendiri, bukan pilihan orang lain,”ujar Abu Raed di suatu sore. Sebaliknya, dengan Nour juga-lah, Abu Raed menceritakan kesedihannya ditinggal anak laki-laki satu-satunya karena kecelakaan, juga istrinya, “He is gone, and One day Ummu Raed got sick, and then … She’s died.. When Ummu Raed died, everything’s died,” ungkap Abu Raed lirih dan pilu.
Hal spesial yang sering dilakukan Abu Raed adalah membeli bungkusan berisi wafer pada seorang anak kecil dan membagikannya kepada teman-teman kerjanya. Anak itu setiap pagi selalu menunggu Abu raed di tempat orang tua itu menunggu bis. Kasihan anak itu, ia tak boleh bersekolah oleh orangtuanya kalau wafer-wafer itu tak laku terjual. Demi membantu sang pedagang kecil agar bisa bersekolah, Abu raed selalu memborong habis dagangan anak itu, meski ia sendiri tak doyan wafer.
Abu Raed, sangat sedih menyaksikan penderitaan Murad dan Ibunya yang semakin hari semakin menjadi. Suatu kali ia pernah melapor ke polisi, tapi tindakan itu tak berhasil. “Ayah bisa membunuh ummi, ini akan sangat serius” ujar Murad pelan saat Abu Raed mengobati luka bakar di tangan kiri Murad karena tindakan Ayahnya. Ini semakin memprihatinkan Abu Raed, ia ingin sekali menolong Murad, tapi ia tak tau apa yang harus dilakukan. Pernah disebuah tengah malam Abu Raed, menemukan Ayah Murad tergeletak di pinggir jalan karena mabuk berat. Saat itu ia sempat berpikir, bahwa itu adalah waktu yang tepat untuk menghabisinya demi Murad. Tapi Abu Raed, batal mengeksekusinya, ia tak tega, batu besar itu dibuangnya.
Abu Raed hanya punya pilihan terakhir, Nour. Ia menemui Nour, dan meminta Nour membantu melarikan Murad dan Ibunya. Nour setuju. Suatu malam, mereka berdua mendatangi rumah Murad, saat sang Ayah belum kembali. Awalnya Ibu Murad menolak, tapi demi menjauhkan Murad dan Hilal dari penderitaan itu, akhirnya ia bersedia. Mereka pun merancang pelarian malam itu juga. Murad akhirnya berhasil kabur dari rumah, bersama ibu dan adiknya, bersama topi pilot pemberian Abu raed.
Setelah berhasil mengevakuasi Murad dan ibunya, Abu Raed memilih menunggu didalam rumah Murad yang telah kosong. Ia Cuma punya satu tujuan : bertemu dengan ayah Murad, lalu mengajaknya berbicara mengenai masalah di rumah mereka itu, sambil berharap itu bisa menyadarkan sang ayah. Tapi malang bagi Abu Raed, sang ayah yang mabuk memang sedemikian gelapnya. Bukan dialog dengan akal sehat yang ada, tapi berakhir pada sebuah kebrutalan : Abu Raed tewas terbunuh..
Bagian akhir adalah adegan seorang kapten penerbang yang sedang berdiri kaku. ia menggenggam sebuah topi penerbang yang sudah lapuk. Ia menghela nafas, dan berusaha kuat menguasai dirinya. Matanya seperti menyimpan sebuah perjalanan emosional, dan topi tua itu seperti sangat berarti baginya. Kapten penerbang itu adalah Murad dewasa. Ia mengingatnya. Ia mengingat Abu Raed.
Itu adalah ingatan saya atas Film, Captain Abu Raed judulnya. Itu Film pertama yang saya tonton di JIFfest tahun ini. Jiffest hanya 5 hari, dan sayang saya tak punya banyak waktu untuk menikmatinya. Bentrok dengan lebaran haji, bos… Saya Cuma punya kesempatan 4 film.. Film pertama cukup impresif, semoga yang lain juga. Tak percuma saya bersusah payah merayap melewati jalur lambat Sudirman yang macet total malam itu, Captain Abu Raed telah menceritakan penerbangan terbaiknya..

Thursday, December 4, 2008

Magnet Sang Komponis

Tidak banyak yang tahu kalau ternyata ada suatu kekuatan magnetis dari musik Ismail Marzuki. Saya salah satunya, paling tidak sampai disuatu malam saat saya menyaksikan sebuah string ensamble menggelar tribute memainkan lagu-lagu ‘sang komponis’.
Musik yang terpinggirkan oleh zaman. Saya berani bertaruh pasti sedikit dari anak-anak muda zaman ini yang memasukkan musik Ismail ke dalam inspirasi mereka, termasuk saya. Tapi kemudian saya merasa jadi orang yang bahagia, karena masih ada sekelompok anak muda yang mau menyelamatkan musik Ismail, dengan cara dan kebisaan mereka.
Siapa yang kira Melati Di tapal Batas dan Sabda Alam, punya struktur melodi yang kuat? Nuansanya verbal, dan saya baru sadar. White Shoes and The Couples Company pernah meng-cover version Sabda Alam dalam sebuah kompilasi Soundtrack Film, dan itu disukai banyak orang. Semua tahu itu lagu lawas, tapi apa banyak yang tahu itu musik Ismail? Aryati, Juwita Malam, Kopral Jono akan selalu melekat dengan nilai keabadian. Saya punya keyakinan kuat untuk itu sekarang. Slank pernah me-remake nomor ini ke dalam dua versi, Blues dan Punk. Keduanya asik. Romeo juga pernah berbuat serupa, tentu dengan rasa mereka.
Musik Ismail akan semakin matang dalam sejarah. Gugur Bunga dan Halo-Halo Bandung selamanya akan menjadi anthem dalam waktu tertentu kapan mereka akan dinyanyikan. Dan saya, tidak lagi hanya akan mengingat Selendang Sutra, Sepasang Mata Bola, Rayuan Pulau Kelapa, dan Indonesia Pusaka tak hanya sebagai deretan lagu-lagu perjuangan yang harus dihapal saat SD, tapi merangkum dalam jejak yang lain, seperti jejak Hendrikx yang meleburkan diri ke dalam raungan gitarnya. Musik Ismail sama sekali tidak bisa diduga, yang mengalir dan bisa diadaptasi ke berbagai musik lain. Dan itu adalah jawaban pertanyaan usang saya : kenapa Jamaica café pernah “permak” Indonesia Pusaka dengan warna ‘tak terduga’ ala Acapella mereka. Jamaica Café brilian, dan bidikan itu semakin terarah karena komposisi dasar musik ismail yang memang canggih.
Warna lain musik Ismail adalah goresan yang spesial pada musik keroncong yang ia beri perhatian. Saya jadi tertarik dengan Bandung Selatan di Waktu Malam dan Selamat Datang Pahlawan Muda yang orisinil. Katanya itu nomor keroncong standar. Berarti, Keroncong ternyata macho! Hidup Musik Indonesia!
Saya, jujur, baru tahu tentang lagu Jangan Ditanya Kemana Aku Pergi, Payung Fantasi dan Sersan Mayorku. Tapi saya ingin mendengar musik itu lagi, dan saya semakin merasa bangga dengan musik Ismail sebagai musik Indonesia.
Sekarang tidak cuma Lennon yang jenius, Morrison yang sakral, Sting yang tajam, atau Clapton yang melodic. Saya punya tambahan nama, tak perlu jauh-jauh. Cukup dari Kampung kwitang saja : Ismail Marzuki….
Saya bermimpi melihat dia di MTV

Tuesday, December 2, 2008

Kejatuhan Albert Camus


Ada yang menyebutkan La Chute (dalam Bahasa Indonesia artinya kurang lebih “kejatuhan”) adalah novel terakhir Camus yang sempat ia selesaikan. Tapi ada sumber lain menyebutkan kalau kumpulan cerpen L'exil et le royaume (Kerajaan dan Pengasingan) yang ditulis tahun 1957 (setahun setelah La Chute rampung) adalah penutup. Atau ada yang lain lagi yang bilang bukan keduanya, melainkan Le premier homme yang terakhir, meskipun tidak pernah diselesaikan.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada dua novel lain diatas, buat saya La Chute adalah simbol dari keseimbangan baru dalam pencapaian estetika Camus. Mendahului ledakan Nouveau-Roman yang enggan terstruktur, teknik yang sangat tidak lazim sekaligus keluar dari pakem yang konvensional. La Chute begitu penting bagi pembaca Camus karena setelahnya pasti mereka tidak akan berhenti menyesali riwayat kepengarangan Camus yang terputus tiba-tiba karena sebuah kematian tragis dalam kecelakaan mobil.
La Chute mengangkat kisah seorang bekas pengacara terkenal di Paris yang meninggalkan karir suksesnya dan menjadi seorang ”hakim pengaku” di Amsterdam. Suatu malam ia berjumpa dengan seseorang yang kemudian selama beberapa waktu mendengar dan menyimak ”pengakuan”-nya tentang segala unsur kehidupan. Camus hanya ingin membicarakan tentang hakekat keberadaan manusia lewat bentuk monolog yang menggiring pembaca untuk menyimak perkataan si tokoh utama yang ditujukan kepada lawan bicaranya. ”Di puncak kelelahan, sedetik saya merasa bahwa akhirnya saya memahami rahasia dari hakekat manusia dan dunia. Tapi kelelahan itu lenyap pada pagi harinya dan bersamaan dengannya lenyaplah pula rahasia itu. Saya harus kembali memburunya. Maka saya berlari, dalam keadaan sangat girang, tanpa pernah puas, tanpa saya tahu dimana akan berhenti”.
Camus mengajak pembaca mempertanyakan hal-hal yang sangat melekat dalam hidup manusia, sedemikian melekatnya hingga seringkali luput dari pandangan manusia itu sendiri : kemanusiaan, keadilan, persahabatan, cinta. ”Kejatuhan” si tokoh utama dalam berbagai segi kehidupan sosial, moral, psikologi merujuk pada kejatuhan Adam dari Surga. Istilah ”Hakim Pengaku” atau juge-penitent sangat jarang. Istilah ini adalah parodi dari istilah hukum pidana dan agama (Maaf, Camus dikenal banyak orang sebagai seorang atheis). Juge berarti 'hakim', penitent dalam kosakata Prancis dikiaskan sebagai 'pengakuan dosa'. Camus membuat analog Hakim adalah orang yang bertugas membuat orang mengaku, namun si tokoh utama melihat setiap manusia adalah hakim, bagi dirinya sendiri maupun orang lain, sekaligus terdakwa yang harus mengakui segala perbuatannya.
Camus adalah absurdis itu sendiri. Ia menyapa ide bunuh diri lewat percakapan yang liar. Saya seolah-olah sudah dapat mendengarnya : ”Dia bunuh diri karena tidak kuat menanggung... ” Ah! Sahabat, betapa manusia amat miskin imajinasi! Mereka selalu mengira orang bunuh diri karna satu alasan, padahal mungkin juga mereka bunuh diri karena dua alasan atau lebih. Jika demikian, buat apa sukarela mati, berkorban demi ide bahwa manusia bersedia menyerahkan nyawa? Anda mati, mereka memanfaatkan kematian anda untuk menyematkan pada anda motif-motif idiot dan vulgar. Para martir, sahabat, harus memilih antara dilupakan, ditertawakan, dimanfaatkan. Sedangkan berharap utnuk dipahami, tidak akan pernah.
Konon La Chute adalah adalah kembalinya semangat Camus. Novel yang tadinya hanya disiapkan sebagai cerita pendek ini ditulis Camus setelah perpecahannya dengan serangkai eksistensialisnya, Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir. Sedikit cerita, sebelumnya Camus pernah menyerang simpati Sartre pada gerakan komunis Sovyet dalam L’homme revolte. Hal ini memicu keretakan pertemanan mereka, yang berujung pada tersisih dan dikucilkannya Camus oleh kubu Sartre-Beauvoir yang menguasai mayoritas cendekiawan Prancis saat itu. Karya ini dianggap mempunyai nuansa biografis karena dianggap (pula) terdapat pararelisme antara La Chute dengan Les Mots, karya otobiografis Sartre.
La Chute memang benar tidak lazim. Saya termasuk orang yang ”belum terlatih” dengan kebiasaan Camus, yang terseret dalam kesulitan dalam memahami isinya. Terutama pada bagian awal, karena Camus sukses menyimpan ”kunci” memahami novel ini di bagian akhir. Novel ini kental dengan spontanitas. Meskipun hanya sedikit sumber ide dan konsepsi yang saya ketahui, karya ini bernuansa sangat dalam dan personal dari karya Camus yang pernah saya sentuh.

Monday, December 1, 2008

Teror


Teror belum usai. Kira-kira ratusan orang disandera, 125 orang tewas, lebih dari 300 orang luka parah. Tragedi Mumbai menumpahkan duka, berdesir lengkap dengan bau amis darah. Rentetan senjata api, ledakan granat tangan, kebakaran, melayangkan nyawa-nyawa polos tanpa tahu kenapa.
”Mereka membunuh banyak orang, ” tutur seorang pria tua. Ia tengah membeli tiket di terminal victoria rabu malam itu, ditemani ketujuh anggota keluarganya. Tapi,.. rentetan suara tembakan yang membabi buta tiba-tiba menyerangnya. Ia selamat, tapi anak perempuan dan cucunya terluka.
Ini pertanyaan yang tak berjawab. Alasan apa yang ada dikepala sang pelaku aksi teror? Belum ada yang melansir secara akurat, siapa pihak yang bertanggungjawab atas tragedi itu. Tapi Rabu malam itu buat saya tetap kembali merefleksikan sikap, menarik alasan.
Saya jadi ingat seorang Guy Fawkes, atau sosok lain dalam diri V Vor Vendetta. Suatu hari di Bulan November diawal 1600an, Pemerintah Inggris mencatat sebuah hari pengkhianatan yang dilakukan Guy, pejuang itu melakukan aksi peledakan gedung parlemen sebagai bentuk perlawanan. Perlawanan yang ditulis dalam sejarah Britania : Guy mati di tiang gantungan. Setelah 4 Abad, dimana tragedi Guy Fawkes semakin dilupakan pemerintah dan rakyat, V vor Vendetta muncul untuk mengingatkan tanggal mengenaskan itu. Ambisi Guy menitis pada V, yaitu ingin mengubah tatanan birokrasi Inggris, menyebarkan pesan kebencian pada pemerintah, menebar ancaman dan teror, serta peledakan gedung-gedung sebagai simbol kekuatan rakyat. Aksi V berlanjut pada pembunuhan orang-orang pemerintah yang dianggapnya semena-mena terhadap rakyat. Rezim itu tidak tinggal diam, mereka menugaskan seorang perwira untuk menangkap V, pria misterius yang bertopeng Guy Fawkes. Namun V selalu selamat berkat perlindungan warga kota yang mendukung aksinya.
V vor Vendietta, ada disebuah film yang penuh teror. Film itu merefeksikan ulah para teroris di bumi akhir-akhir ini dan berakhir, (lagi-lagi) ke sebuah pertanyaan : Apa selalu ada pandangan lain dalam kacamata seorang pelaku aksi teror?
Itu pertanyaan mustahil. Tapi Dunia butuh orang (meski dengan wujud fiksi) seperti tokoh Spurlock dalam When In The World is Osama Bin Laden. Hal pertama yang menggelitik adalah harapan Spurlock yang menginginkan dunia tanpa teror. Sangat simpel, Spurlock bercita-cita akan dunia yang aman karena saat itu ia tahu kalau istrinya sedang mengandung, dan ia ingin anaknya kelak lahir, tumbuh, dan besar di dunia yang aman, tanpa kekerasan, tanpa perang, tanpa teror. Hal yang menggelitik kemudian adalah, ide Spurlock untuk menyisir jejak ”Most Dangerous Man” di bumi : Osama Bin Laden... Spurlock berkeliling dunia, menjumpai berbagai agama, suku, budaya, bahasa, adat yang kemudian menyajikan pengalaman unik baginya, sekaligus membentuk simpul yang nyata : semua perbedaan memiliki harapan yang sama akan kedamaian...
Para pelaku aksi teror di Mumbai semakin menciptakan keanehan. Mereka adalah entitas, dan korban mereka juga entitas. Guy fawkes adalah entitas, demikian pula dengan V for Vendetta. Osama Bin laden adalah entitas, juga Spurlock. Tapi entitas – entitas itu tidak akan pernah bertemu, untuk duduk dalam satu meja, lantas bercakap-cakap penuh respek dengan segelas kopi hangat di atas meja tadi. Ternyata memang ada ya yang tidak butuh kesimpulan?? Subhanaallah...