INDONESIA MERDEKA

INDONESIA MERDEKA

Monday, December 8, 2008

There Goes Your Captain


Itu adalah pernyataan sindiran yang keluar dari mulut seorang anak kecil. Menunjuk pada seorang laki-laki tua, yang sedang membersihkan lantai dengan puluhan butir keringan disekujur badannya.. “ Abu Raed is a liar,” lanjut Anak kecil lainnya. Sekelompok anak-anak itu seperti menyimpan kekecewaan, memandang orang tua itu dengan sinis. Semua kesal, kecuali seorang anak yang paling pendiam diantara mereka, Murad, tetangga dekat Abu Raed.
Abu Raed, hanyalah seorang tukang bersih-bersih di sebuah kantor maskapai Penerbangan di bandara. Badannya gemuk, rambutnya telah memutih, dan gerakan badannya sudah demikian lambat. Kemana pergi ia selalu menggenggam buku sejarah, mengenakan jas tua kesayangannya lengkap dengan sebuah topi kapten penerbang.
Anak-anak kecil yang bertetangga dengan flat-nya disebuah pemukiman kumuh di pinggiran Amman, semula mengira Abu Raed adalah seorang pilot. Mereka sering meminta Abu Raed untuk menceritakan pengalamannya terbang ke berbagai tempat diseluruh penjuru bumi. Abu Raed menyanggupi, meskipun ia harus mengarang cerita dan setiap hari berbohong. Ia selalu semangat bercerita, dan anak-anak itu selalu menyimak cerita demi cerita dengan penuh antusias. Abu raed tak punya pilihan lain, demi harapan membahagiakan dan sejenak membantu anak-anak itu keluar dari kesulitan hidup mereka, meski dengan cerita-cerita nan semu. Sampai hari itu di bandara.
Abu Raed yang sebatangkara paham atas kekesalan anak-anak itu. Tapi ia tetap menyayangi mereka, terutama pada sosok Murad. Murad tinggal di rumah yang penuh kesedihan. Ayahnya adalah seorang pedagang pakaian di pasar yang frustasi dan selalu pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Perangai kasar sang Ayah, yang kerap menyiksa ibunya secara fisik menghadirkan sebuah trauma dalam diri Murad. Murad gelisah, tak sanggup membebaskan ibunya sekaligus harus bersusah payah memberikan pengertian kepada adiknya Hilal terhadap penderitaan itu, sementara ia sendiri, juga jadi korban.
Abu Raed, berteman seorang perempuan karir berusia 30an yang kaya raya, Nour namanya. Nour juga seorang yang resah. Orang tua, keluarga, teman-temannnya selalu mengganggunya dengan perjodohan-perjodohan dan menekannya dengan pertanyaan yang nyaris sama setiap saat : “Nour, kapan kamu akan menikah?”. Hanya kepada Abu Raed-lah, Nour kerap menumpahkan kegusaran itu. “Nour, saat terbang kita bisa melihat alam dan bumi ada dibawah kita, dan saat kita telentang dibawah atap langit, kita juga bisa melihat alam ada diatas kita. Kamu harus mengikuti pilihanmu sendiri, bukan pilihan orang lain,”ujar Abu Raed di suatu sore. Sebaliknya, dengan Nour juga-lah, Abu Raed menceritakan kesedihannya ditinggal anak laki-laki satu-satunya karena kecelakaan, juga istrinya, “He is gone, and One day Ummu Raed got sick, and then … She’s died.. When Ummu Raed died, everything’s died,” ungkap Abu Raed lirih dan pilu.
Hal spesial yang sering dilakukan Abu Raed adalah membeli bungkusan berisi wafer pada seorang anak kecil dan membagikannya kepada teman-teman kerjanya. Anak itu setiap pagi selalu menunggu Abu raed di tempat orang tua itu menunggu bis. Kasihan anak itu, ia tak boleh bersekolah oleh orangtuanya kalau wafer-wafer itu tak laku terjual. Demi membantu sang pedagang kecil agar bisa bersekolah, Abu raed selalu memborong habis dagangan anak itu, meski ia sendiri tak doyan wafer.
Abu Raed, sangat sedih menyaksikan penderitaan Murad dan Ibunya yang semakin hari semakin menjadi. Suatu kali ia pernah melapor ke polisi, tapi tindakan itu tak berhasil. “Ayah bisa membunuh ummi, ini akan sangat serius” ujar Murad pelan saat Abu Raed mengobati luka bakar di tangan kiri Murad karena tindakan Ayahnya. Ini semakin memprihatinkan Abu Raed, ia ingin sekali menolong Murad, tapi ia tak tau apa yang harus dilakukan. Pernah disebuah tengah malam Abu Raed, menemukan Ayah Murad tergeletak di pinggir jalan karena mabuk berat. Saat itu ia sempat berpikir, bahwa itu adalah waktu yang tepat untuk menghabisinya demi Murad. Tapi Abu Raed, batal mengeksekusinya, ia tak tega, batu besar itu dibuangnya.
Abu Raed hanya punya pilihan terakhir, Nour. Ia menemui Nour, dan meminta Nour membantu melarikan Murad dan Ibunya. Nour setuju. Suatu malam, mereka berdua mendatangi rumah Murad, saat sang Ayah belum kembali. Awalnya Ibu Murad menolak, tapi demi menjauhkan Murad dan Hilal dari penderitaan itu, akhirnya ia bersedia. Mereka pun merancang pelarian malam itu juga. Murad akhirnya berhasil kabur dari rumah, bersama ibu dan adiknya, bersama topi pilot pemberian Abu raed.
Setelah berhasil mengevakuasi Murad dan ibunya, Abu Raed memilih menunggu didalam rumah Murad yang telah kosong. Ia Cuma punya satu tujuan : bertemu dengan ayah Murad, lalu mengajaknya berbicara mengenai masalah di rumah mereka itu, sambil berharap itu bisa menyadarkan sang ayah. Tapi malang bagi Abu Raed, sang ayah yang mabuk memang sedemikian gelapnya. Bukan dialog dengan akal sehat yang ada, tapi berakhir pada sebuah kebrutalan : Abu Raed tewas terbunuh..
Bagian akhir adalah adegan seorang kapten penerbang yang sedang berdiri kaku. ia menggenggam sebuah topi penerbang yang sudah lapuk. Ia menghela nafas, dan berusaha kuat menguasai dirinya. Matanya seperti menyimpan sebuah perjalanan emosional, dan topi tua itu seperti sangat berarti baginya. Kapten penerbang itu adalah Murad dewasa. Ia mengingatnya. Ia mengingat Abu Raed.
Itu adalah ingatan saya atas Film, Captain Abu Raed judulnya. Itu Film pertama yang saya tonton di JIFfest tahun ini. Jiffest hanya 5 hari, dan sayang saya tak punya banyak waktu untuk menikmatinya. Bentrok dengan lebaran haji, bos… Saya Cuma punya kesempatan 4 film.. Film pertama cukup impresif, semoga yang lain juga. Tak percuma saya bersusah payah merayap melewati jalur lambat Sudirman yang macet total malam itu, Captain Abu Raed telah menceritakan penerbangan terbaiknya..

No comments: