Tidak banyak yang tahu kalau ternyata ada suatu kekuatan magnetis dari musik Ismail Marzuki. Saya salah satunya, paling tidak sampai disuatu malam saat saya menyaksikan sebuah string ensamble menggelar tribute memainkan lagu-lagu ‘sang komponis’.
Musik yang terpinggirkan oleh zaman. Saya berani bertaruh pasti sedikit dari anak-anak muda zaman ini yang memasukkan musik Ismail ke dalam inspirasi mereka, termasuk saya. Tapi kemudian saya merasa jadi orang yang bahagia, karena masih ada sekelompok anak muda yang mau menyelamatkan musik Ismail, dengan cara dan kebisaan mereka.
Siapa yang kira Melati Di tapal Batas dan Sabda Alam, punya struktur melodi yang kuat? Nuansanya verbal, dan saya baru sadar. White Shoes and The Couples Company pernah meng-cover version Sabda Alam dalam sebuah kompilasi Soundtrack Film, dan itu disukai banyak orang. Semua tahu itu lagu lawas, tapi apa banyak yang tahu itu musik Ismail? Aryati, Juwita Malam, Kopral Jono akan selalu melekat dengan nilai keabadian. Saya punya keyakinan kuat untuk itu sekarang. Slank pernah me-remake nomor ini ke dalam dua versi, Blues dan Punk. Keduanya asik. Romeo juga pernah berbuat serupa, tentu dengan rasa mereka.
Musik Ismail akan semakin matang dalam sejarah. Gugur Bunga dan Halo-Halo Bandung selamanya akan menjadi anthem dalam waktu tertentu kapan mereka akan dinyanyikan. Dan saya, tidak lagi hanya akan mengingat Selendang Sutra, Sepasang Mata Bola, Rayuan Pulau Kelapa, dan Indonesia Pusaka tak hanya sebagai deretan lagu-lagu perjuangan yang harus dihapal saat SD, tapi merangkum dalam jejak yang lain, seperti jejak Hendrikx yang meleburkan diri ke dalam raungan gitarnya. Musik Ismail sama sekali tidak bisa diduga, yang mengalir dan bisa diadaptasi ke berbagai musik lain. Dan itu adalah jawaban pertanyaan usang saya : kenapa Jamaica café pernah “permak” Indonesia Pusaka dengan warna ‘tak terduga’ ala Acapella mereka. Jamaica Café brilian, dan bidikan itu semakin terarah karena komposisi dasar musik ismail yang memang canggih.
Warna lain musik Ismail adalah goresan yang spesial pada musik keroncong yang ia beri perhatian. Saya jadi tertarik dengan Bandung Selatan di Waktu Malam dan Selamat Datang Pahlawan Muda yang orisinil. Katanya itu nomor keroncong standar. Berarti, Keroncong ternyata macho! Hidup Musik Indonesia!
Saya, jujur, baru tahu tentang lagu Jangan Ditanya Kemana Aku Pergi, Payung Fantasi dan Sersan Mayorku. Tapi saya ingin mendengar musik itu lagi, dan saya semakin merasa bangga dengan musik Ismail sebagai musik Indonesia.
Sekarang tidak cuma Lennon yang jenius, Morrison yang sakral, Sting yang tajam, atau Clapton yang melodic. Saya punya tambahan nama, tak perlu jauh-jauh. Cukup dari Kampung kwitang saja : Ismail Marzuki….
Saya bermimpi melihat dia di MTV
No comments:
Post a Comment