INDONESIA MERDEKA

INDONESIA MERDEKA

Tuesday, December 2, 2008

Kejatuhan Albert Camus


Ada yang menyebutkan La Chute (dalam Bahasa Indonesia artinya kurang lebih “kejatuhan”) adalah novel terakhir Camus yang sempat ia selesaikan. Tapi ada sumber lain menyebutkan kalau kumpulan cerpen L'exil et le royaume (Kerajaan dan Pengasingan) yang ditulis tahun 1957 (setahun setelah La Chute rampung) adalah penutup. Atau ada yang lain lagi yang bilang bukan keduanya, melainkan Le premier homme yang terakhir, meskipun tidak pernah diselesaikan.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada dua novel lain diatas, buat saya La Chute adalah simbol dari keseimbangan baru dalam pencapaian estetika Camus. Mendahului ledakan Nouveau-Roman yang enggan terstruktur, teknik yang sangat tidak lazim sekaligus keluar dari pakem yang konvensional. La Chute begitu penting bagi pembaca Camus karena setelahnya pasti mereka tidak akan berhenti menyesali riwayat kepengarangan Camus yang terputus tiba-tiba karena sebuah kematian tragis dalam kecelakaan mobil.
La Chute mengangkat kisah seorang bekas pengacara terkenal di Paris yang meninggalkan karir suksesnya dan menjadi seorang ”hakim pengaku” di Amsterdam. Suatu malam ia berjumpa dengan seseorang yang kemudian selama beberapa waktu mendengar dan menyimak ”pengakuan”-nya tentang segala unsur kehidupan. Camus hanya ingin membicarakan tentang hakekat keberadaan manusia lewat bentuk monolog yang menggiring pembaca untuk menyimak perkataan si tokoh utama yang ditujukan kepada lawan bicaranya. ”Di puncak kelelahan, sedetik saya merasa bahwa akhirnya saya memahami rahasia dari hakekat manusia dan dunia. Tapi kelelahan itu lenyap pada pagi harinya dan bersamaan dengannya lenyaplah pula rahasia itu. Saya harus kembali memburunya. Maka saya berlari, dalam keadaan sangat girang, tanpa pernah puas, tanpa saya tahu dimana akan berhenti”.
Camus mengajak pembaca mempertanyakan hal-hal yang sangat melekat dalam hidup manusia, sedemikian melekatnya hingga seringkali luput dari pandangan manusia itu sendiri : kemanusiaan, keadilan, persahabatan, cinta. ”Kejatuhan” si tokoh utama dalam berbagai segi kehidupan sosial, moral, psikologi merujuk pada kejatuhan Adam dari Surga. Istilah ”Hakim Pengaku” atau juge-penitent sangat jarang. Istilah ini adalah parodi dari istilah hukum pidana dan agama (Maaf, Camus dikenal banyak orang sebagai seorang atheis). Juge berarti 'hakim', penitent dalam kosakata Prancis dikiaskan sebagai 'pengakuan dosa'. Camus membuat analog Hakim adalah orang yang bertugas membuat orang mengaku, namun si tokoh utama melihat setiap manusia adalah hakim, bagi dirinya sendiri maupun orang lain, sekaligus terdakwa yang harus mengakui segala perbuatannya.
Camus adalah absurdis itu sendiri. Ia menyapa ide bunuh diri lewat percakapan yang liar. Saya seolah-olah sudah dapat mendengarnya : ”Dia bunuh diri karena tidak kuat menanggung... ” Ah! Sahabat, betapa manusia amat miskin imajinasi! Mereka selalu mengira orang bunuh diri karna satu alasan, padahal mungkin juga mereka bunuh diri karena dua alasan atau lebih. Jika demikian, buat apa sukarela mati, berkorban demi ide bahwa manusia bersedia menyerahkan nyawa? Anda mati, mereka memanfaatkan kematian anda untuk menyematkan pada anda motif-motif idiot dan vulgar. Para martir, sahabat, harus memilih antara dilupakan, ditertawakan, dimanfaatkan. Sedangkan berharap utnuk dipahami, tidak akan pernah.
Konon La Chute adalah adalah kembalinya semangat Camus. Novel yang tadinya hanya disiapkan sebagai cerita pendek ini ditulis Camus setelah perpecahannya dengan serangkai eksistensialisnya, Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir. Sedikit cerita, sebelumnya Camus pernah menyerang simpati Sartre pada gerakan komunis Sovyet dalam L’homme revolte. Hal ini memicu keretakan pertemanan mereka, yang berujung pada tersisih dan dikucilkannya Camus oleh kubu Sartre-Beauvoir yang menguasai mayoritas cendekiawan Prancis saat itu. Karya ini dianggap mempunyai nuansa biografis karena dianggap (pula) terdapat pararelisme antara La Chute dengan Les Mots, karya otobiografis Sartre.
La Chute memang benar tidak lazim. Saya termasuk orang yang ”belum terlatih” dengan kebiasaan Camus, yang terseret dalam kesulitan dalam memahami isinya. Terutama pada bagian awal, karena Camus sukses menyimpan ”kunci” memahami novel ini di bagian akhir. Novel ini kental dengan spontanitas. Meskipun hanya sedikit sumber ide dan konsepsi yang saya ketahui, karya ini bernuansa sangat dalam dan personal dari karya Camus yang pernah saya sentuh.

No comments: