Daun – daun disekitar situ masih basah, masih melekat sisa-sia hujan sore. Penonton mulai beranjak pulang, karena besok masih harus kerja. Aku menyusul dibelakang mereka, sendirian. Memandang panggung yang sudah ditinggal para pemain, hanya tersisa kibord, drum, gitar dan sebuah contra bass.
Ny. Kamarie dan pengiringnya sudah menghilang dibalik dinding kayu, beristirahat. Mereka baru saja menyelesaikan dialog, membagi kecintaan atas musik mereka.
Lullaby for love, adalah mukadimahnya. Nuansa New Orleans sudah mulai terasa disetengah delapan lewat sedikit itu. Suara vokalnya memang benar unik, sangat special buat swing. Dan memang benar kemampuan scat singing-nya itu, langsung memacu perhatianku untuk segera berkonsentrasi pada pertunjukan.. Jitu.
Swing mulai turun dari atas pohon. Aku gak kaget saat mereka mengusung Mistaken dan Fly me to the moon dalam set repertoire mereka. Konfigurasi yang tepat untuk merangsang gairah swinging mereka, dan menebarnya lewat angin malam. Out of tempo dibeberapa bagian, gak masalah karena overall adalah bagian yang disajikan sesuai takaran.
Mungkin seperti yang dibilang si Beben, bahwa langit tak selamanya biru dalam galaksi bernama jazz. Artinya menurut pemahaman dangkalku mengkonklusi (tentang jazz itu sendiri), ada sikap yang saling mengkonversi yang terbentuk ketika jazz dipilih untuk mentransfer berbagai aliran musik lain ke dalam dirinya. Paling tidak, lewat dua nomor standar yang selalu laris manis dalam panggung jazz : My Funny Valentine dan Fragile. Keduanya dimainkan lagi, tentu dengan metode yang berbeda. Dan celakanya saya tidak pernah bosan! Malah ada tambahan ilmu, bahwa progesi luar biasa ciptaan Sting itu ternyata bisa dinikmati dengan sedikit kasar sekalipun dan jadi semakin psychedelic.
Ada satu kesempatan dimana Ny. Kamarie bercerita tentang (aku menyebutnya) idealita dalam bemusik. Aku jadi ngerti kenapa dia memilih keluar dari konsep dewi-dewi (padahal kayanya disitu lebih bisa jadi mesin penghasil rupiah), Mungkin swing atau jazz lebih nyaman buatnya.
Dia tidak canggung memainkan nomor-nomor popish seperti Loving you, Kisah Cintaku (Dalam bentuk bosanova, yang lebih maskulin dibanding peterpan), dan sebuah lagu penghormatan untuk Daniel Sahuleka, Don’t Sleep Away tentu dengan orisinalitasnya.
Dan memang, Langit sah-sah saja kalau tidak berwarna biru. I Will Survive, jelas bukan lagu jazz. Tapi sekali lagi jazz sanggup mengendapnya sebagai sebuah sajian.. Pun Dengan No Woman No Cry yang meski sulit untuk menghilangkan kulit reggae-nya, Tapi juga sudah dibuktikannya, bahwa tak ada yang tak mungkin dalam jazz…
Ditengah, kerinduan untuk mendengarkan orang memainkan swing, malam itu sangat menghibur. Aku menunggu lagi, menunggu seorang pemain contra bass memainkan lagu tua Duke Ellington dengan elegan seperti yang dihidangkan pengiring Ny. Kamarie kemarin.
1 comment:
terasa tertagih mendengarkan alunan dialetika rumus nada
dan tak seorang pun mendengar hasrat hati
mendendangkan di jiwa dan merasa terasuki oleh alunan luther van dross atau hentakan dari boogie wonderland :)
Post a Comment