INDONESIA MERDEKA
INDONESIA MERDEKA
Friday, September 24, 2010
Bilur*
Akrab dengan kosakata ini?? Saya sama sekali tidak..
Kemaren langsung buka kamus untuk paham artinya. Cuma ada penjelasan singkat :
“luka panjang pada kulit (bekas kena cambuk/pukulan)”
Benar-benar irit petunjuk tapi sangat tegas : Itu kata tidak jauh dari hal tragedi, kekerasan!
Ada sebuah komposisi lagu berjudul “Bilur”. Sangat indah.
Hal tragedi, kekerasan sangat indah?
Denting datar piano bernada sendu ditimpali suara perempuan dan seruling sunda yang menyayat-nyayat hati di bagian pembuka lagu, bagai gerbang masuk sebuah ruang maha luas yang penuh jeritan pilu dan duka.
Lalu perempuan itu bergumam :
“Selendang bersulam sutra, biduri lembayung jingga...
Saksi mati tuk bersaksi, gelimang pesona diri...
Belia usia dulu, ruap cinta tlah menggebu...
Samar kulihat dunia...tak sadar semua fana... “
Ini karya dedikasi, tutur penulis liriknya.
“Sosok wanita ini biasa dipanggil...Mae. Dengan paras yang cukup cantik, dan talentanya yang luar biasa di dunia tarik suara seni tradisional mampu membuat banyak orang berdecak kagum untuknya. Tersirat bahwa hidupnya dulu bergelimang pesona. Dia suka menggunakan selendang dan biduri (batu permata) pada saat menyanyi diatas panggung. Pada masanya, beliau cukup tenar dikalangan seniman tradisional. Secara personal, dia adalah gadis penurut yang selalu ingin membahagiakan kedua orangtuanya, terlebih ibunya. Tapi disuatu saat, dia berontak tidak mau dikendalikan terus oleh sang ibu dan akhirnya memilih untuk menomorsatukan perasaannya dan menikah dengan laki-laki yang menurutnya adalah laki-laki yg dia "cinta"-i. Dia ingat, saat itu sang ibunda sangat menentang keputusannya, apa yang menjadi firasat ibunya tidak dia hiraukan.“
Na.. na.. na.. na.. Na.. na.. na.. na.. Na.. na.. na.. na..
Na.. na.. na.. na.. Na.. na.. na.. na.. Na.. na.. na.. na..
Na.. na.. na.. na.. A… Na.. na.. na.. na.. A… A….
Perempuan itu memilih berdendang untuk menyembunyikan tangisnya!
Si penulis bercerita lagi.
“Tidak ada yang tahu bagaimana kisah hidupnya, sampai akhirnya ajal menjemputnya secara tiba-tiba, dari situ terkuak semua yang pernah terjadi padanya semasa hidup. Ini memang sangat janggal, karena proses menuju terkuaknya cerita seorang Mae sangat rumit dan tidak masuk akal. Berdasarkan cerita dari bibir ke bibir, sampailah cerita itu ke telinga saya. Saat itu juga saya merasa tergugah akan kisah hidupnya yang pilu.”
“Semerbak dupa iringi ku melangkah..
Cungkupku hanya tanah...
Bilur hati merambah...
Akan datangkah bagiku...Kesempatan...
Bila tak ada titian...
Diri yang rupawan...
Bila tak ada titian...Jalan yang....Rupawan...”
Ini bagian yang paling membunuh! Tak usah bicara soal melodinya. Paling juara untuk didengar pagi senja siang atau malam!
Si penulis bermaksud menyiratkan suara hati Mae yang terluka setelah kematiannya, dimana dia merasa apa yang dia inginkan selama hidupnya ternyata tidak tercapai dan hanya berakhir sia-sia. Dia terbangun dan rumahnya kala ini hanyalah tanah... Semakin dia meratapi kenangan semasa hidupnya semakin jauh dia merasakan keperihan di dalam hatinya. Kepergiannya memang sangat tiba-tiba, tidak ada yang menyangka apalagi saat itu dia tengah mengandung 8 bulan. Kejadian demi kejadian terungkap setelah dia dan janin yang ada di perutnya dikubur bersama. Sampai pada suatu kejadian dimana rohnya merasuki raga seseorang dan memberikan sebuah lirik yang berisi cerita kisah hidupnya kepada seorang temannya. Liriknya berbahasa Sunda, inti dari lagunya sendiri berisi tentang rasa sakit yang tak pernah hilang walau dibawa ke liang lahat dan permohonan maafnya kepada ibu saudara dan teman-teman yang pernah mengenalnya semasa hidup.
Lalu tiba pada bagian lagu yang sangat mistis. Ketika raungan seruling dan kecapi Sunda yang makin memeras air mata, bersahutan dengan curahan hati paling getir. (dinyanyikan dalam bahasa Sunda dengan sempurna oleh Ambu Ida Widawati yang notabene adalah sahabat Mae semasa hidup)
"Duh, teungteuingeun...tuntung lengkah...geuning...bet peurih..."
Artinya kurang lebih “akhir langkahku ternyata tetap perih...dan selalu perih”. Kedukaan yang elegan!
Bagi si penulis lirik, walau singkat...tapi lirik ini mengandung makna sangat kaya yang sangat mewakili perasaan seorang Mae (berdasarkan cerita demi cerita tentangnya). Benar-benar menyakitkan.
Ada cerita menarik soal kelahiran lirik ini. Si penulis pernah sangat kesulitan dalam membuat lirik bahasa sunda untuk lagu ini. Maka kemudian ia meminta agar Ambu Ida mengisi lirik bahasa sundanya.
"Ambu...lirik ini benar-benar bagus dan membuat saya merinding" ujar si penulis setelah membaca lirik yang telah selesai.
Kemudian Ambu Ida bercerita kalau sebenarnya dia juga sempat kesulitan saat mengisi lirik bahasa sunda ini. Tapi konon kemudian Mae Sahabatnya “datang” menghampirinya dan memberikan lirik itu.. Ini cukup janggal, tapi seketika itu juga membuat si penulis merasa sangat terharu.
“Sekilas lihatlah mega, anugerah tiada tara...
Ini tak adil untukku, halimun hitam merasuk...
Ceracau getir ibunda, gemertak sengap hatinya...
Firasat tak penah salah...Hanya kuberbuat... Ulah....”
Respek luar biasa untuk Risa Saraswati, si perempuan penyanyi sekaligus penulis lirik, serta Ambu Ida Widawati atas inspirasi luka dalam hati yang sangat indah.
Saya merapat dalam barisan kalian untuk ini :
"Terimakasih Bu Mae....atas lirik yang indah...dan kisah yang bisa dijadikan pelajaran untuk siapa saja yang mendengarnya....saya yakin, Ibu sekarang sudah jauh lebih tenang... dan menemukan kebahagiaan disana, saya akan selalu berusaha mengingat dan mendoakan ibu..."
*Risa Saraswati sebelumnya dikenal sebagai ikon dari kelompok elektronik Homogenic yang kini bermetamorfosis dalam wujud “Sarasvati”. Ia telah mengeluarkan karya musik bertajuk “Story of Peter”. Sebuah karya yang sangat layak dikonsumsi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Mit, pada paragraf2 awal ada kesan kamu menimati kepedihan, kesakitan apakah karena prluru selalu menimbulkan itu setiap kali ditembakan ataukah pemahaman saja atas kenyataan bilur itu luka
Post a Comment