INDONESIA MERDEKA

INDONESIA MERDEKA

Friday, November 5, 2010

Di Lampu Merah Cikini – Menteng Raya

Di pertigaan jalan, langkah Kampleng berhenti karena lampu masih merah. Pikirannya mengangkasa. Dalam benak sahajanya ia berandai-andai : “Aku ingin bisa menciptakan notasi keren seperti Ade Paloh, menulis lirik yang kuat bak Ugoran Prasad, lalu mengkomposisi sekontemplatif sentuhan duet Zeke Khaseli & Iman Fattah.”

Kampleng pernah mencoba membuat notasi lalu melengkapinya dengan lirik. Atau lebih banyak ia menulis lirik dari notasi yang sudah disusun sahabat-sahabatnya. Ternyata memang sulit, dan ia harus bekerja keras untuk itu.

Menciptakan Notasi seperti Ade Paloh…
Menulis lirik seperti Ugo Prasad..
Membuat komposisi seperti Zeke Khaseli dan Iman Fattah
Menciptakan Notasi seperti Ade Paloh…
Menulis lirik seperti Ugo Prasad..
Membuat komposisi seperti Zeke Khaseli dan Iman Fattah
Menciptakan Notasi seperti Ade Paloh…
Menulis lirik seperti Ugo Prasad..
Membuat komposisi seperti Zeke Khaseli dan Iman Fattah


72 detik berlalu.. Lampu hijau,.. Ban berputar melaju. Membuat lagu tidak mudah. Membuat musik bagus itu juga tidak mudah.

Cerita Ulang Bharatayudha dalam Aransemen Generasi MTV (Bagian 4)


Hari Ketigabelas


Durna menata ulang pasukan Kurawa dengan formasi Bunga Teratai. Mereka menyerang Yudhistira yang ditopang Bima, Satyaki, Dristadyumna, Drupada, Srikandi dan beberapa ksatria lainnya. Sementara Raja Susarma dan pasukannya sekali lagi menantang Arjuna. Adu sakti tak terelakkan lagi, bahkan lebih sengit dibanding hari kemarin. Ritme perang sudah meninggi di pagi itu.

Durna berhasil menembus formasi Pandawa dengan barisan yang sangat rapat.
“Kita membutuhkan seorang pemberani untuk menerobos brigade Kurawa!” siasat Yudhistira. Namun Putra Pandu itu kebingungan menentukan siapa ksatria terbaik yang berdiri di posisi terdepan dalam rangka menusuk pertahanan Kurawa. Arjuna sedang sibuk menghadapi Susarma.

“Paman, Ayah pernah mengajariku bagaimana cara menembus formasi itu. Hana saja aku belum mempelajari cara keluarnya.” Abimanyu putra Arjuna yang muda dan berani itu menawarkan diri. Bima yang sangat percaya pada keberanian dan kemahiran kemenakannya itu sangat mendukung, ”Tembuslah formasi itu Anakku,. Aku, panglima Dristadyumna dan pasukan Matsyadesa menopang dibelakangmu.” Deal !

Serangan dimulai. Abimanyu berdiri paling depan dengan gagah, tanpa rasa gentar sedikitpun.

Kereta Abimanyu melaju kencang kearah Kurawa yang panik, bagai Singa menerobos serombongan Gajah. Pasukan Kurawa mundur dan terbelah dua, di depan mata Durna sendiri!. Namun Jayadrata dan pasukannya segera memerintahkan pasukannya menutup belahan itu dan menumpuk banyak prajurit untuk menghadang laju Pandawa yang menyusul dibelakang Abimanyu. Abimanyu terperangkap, ia terjebak sendirian dikerumunan Kurawa!

Namun Abimanyu tiada bergeming. Panah-panahnya merontokkan prajurit Kurawa yang mengepungnya. Melihat kehancuran yang dibawa Abimanyu, Duryudhana emosi dong.. Ia turun ke gelanggang demi menghadang sang kemenakan. Durna yang kuatir atas keselamatan Duryudhana bersama Kripa, Karna, Sengkuni dan Salya tanpa malu dan mengindahkan aturan perang mengeroyok Abimanyu yang sendirian.

Abimanyu sekali lagi tidak gentar. Sang pemberani itu dengan tersenyum menerima tantangan ksatria-ksatria itu. Putra Arjuna dari Dewi Subadra itu menghajar siapa saja yang menghadangnya. Asmaka dibuatnya nyusruk ke tanah. Senjata Karna dibuat hancur berantakan. Salya dibuat terluka parah dan keretanya hancur berantakan. Demikianlah ia bertarung tanpa dukungan. Konon Durna yang mengeroyoknya sempat meneteskan air mata kekaguman ketika melihat kegigihan jagoan muda itu. Duryudhana dan adiknya Dursasana mulai kesal melihat Abimanyu yang merajalela. Mereka berdua bermanuver dengan cepat. Abimanyu berhasil memukul Dursasana dengan telak.

Sementara di sektor luar, Jayadrata dengan sekuat tenaga menghadang Yudhistira, Bima dan Satyaki yang mencoba membantu Abimanyu. Berkat kegigihan Jayadrata, pasukan Pandawa tidak dapat menerobos masuk, dan Abimanyu benar-benar tak punya dukungan.
Laksamana, putra Duryudhana ikut menyerang Abimanyu. Namun pangeran tampan itu kalah tangkas dari abimanyu, ia roboh tanpa bisa bangun lagi. “Abimanyu harus mati!” teriak Duryudhana yang murka atas kematian putranya.
“Kita sulit merusak baju dan kereta perangnya. Lumpuhkan dia dari belakang!” perintahnya pada Karna. Karna sempat menolak perintah itu, sebab menurut aturan perang menyerang musuh dari belakang itu tidak diperbolehkan. Namun Duryudhana yang keras itu tak menggubrisnya, dan Karna pun tak berani melawan. Segera dilakukannya perintah itu, tepat menghancurkan kereta perang dan membunuh sais kereta Abimanyu.

Meski keretanya telah dilumpuhkan, dengan kaki menapak bumi Abimanyu tetap maju melawan dengan pedang dan perisainya. Ia tetap tegak tanpa gentar. Namun Tombak Durna dapat mematahkan pedang Abimanyu dan Karna berhasil menghancurkan perisai ksatria muda itu. Abimanyu mulai terdesak karena ia dikepung tanpa memegang senjata apapun. Ia masih sempat bergerak menghindari serangan keroyokan Kurawa. Namun apalah yang bisa diperbuat satu orang dengan tangan kosong melawan sekian banyak lawan dengan senjata lengkap. Akhirnya Abimanyu tak berdaya. Ia pun tewas mengenaskan dikeroyok para ksatria Kurawa. Konon setelah berhasil membunuh Abimanyu, Durydhana cs menari-nari kegirangan seperti barbar yang bersuka cita diatas bangkai binatang buruan mereka. Durna amat menyesali sikap tidak satria kubu-nya. Melihat tragedy itu, ia sangat bersedih dan menangis. Demikian pula Yuyutsu, adik Duryudhana. Dengan sangat marah ia melemparkan senjatanya, “Sangat memalukan. Kita telah melupakan etika dan moral di medan perang. Apakah pantas kalian bersorak gembira setelah melakukan perbuatan sedemikian pengecut!”, teriaknya sambil meninggalkan medan perang.

***

Gugurnya Abimanyu menciptakan duka yang mendalam bagi pihak Pandawa. Semuanya bersedih. Yudhistira menyesali keputusan strateginya di barak perkemahan. Arjuna yang perkasa pun tak mampu menahan kedukaan kehilangan putra terbaiknya. Saking sedihnya ia jatuh ke tanah dan pingsan. Namun setelah sadar dan mampu menguasai dirinya, Arjuna yang geram pada Jayadrata karena menghalangi Pandawa membantu Abimanyu serta kemarahannya atas tindakan curang Kurawa pada putranya lantas bangkit. Dengan lantang ia mengobarkan semangat Pandawa untuk bangkit membalas penghinaan ini. Bahkan ia bersumpah akan membunuh Jayadrata sebelum matahari esok terbenam.


Hari Keempatbelas

Sumpah Arjuna untuk membunuh Jayadrata sebelum Matahari terbenam terdengar juga sampai telinga kubu Kurawa. Durna mengatur formasi untuk melindungi Jayadrata dari amukan Arjuna. Jayadrata ditempatkan dibelakang dilindungi oleh Karna, Burisrawa, Aswatama, Salya dan Kripa.

Arjuna yang hari ini paling bersemangat membunuh segera maju menyerang. Durmashana salah seorang Kurawa yang mencoba menghadang, tapi pasukannya rontok dan terpaksa mundur. Arjuna langsung berhadapan dengan Durna yang lantas menantangnya bertarung. Namun Arjuna menolak tantangan sang Guru karena “target”nya hari itu adalah Jayadrata. Arjuna terus melaju. Srutayudha mencoba menghadangnya. Namun malang karena ksatria Kurawa itu justru tewas ditangan senjata saktinya sendiri. Kedua bersaudara Srutayu dan Asrutayu juga berupaya menahan Arjuna, tapi gagal juga. Arjuna yang geram terus menerjang membantai siapa-siapa yang menghalanginya.
Duryudhana yang kesal karena Arjuna makin mendekati posisi Jayadrata memutuskan menghadang sendiri sang sepupu. Tapi ia juga kalah, beruntung ia tak terbunuh. Durna yang menyaksikan beberapa ksatria Kurawa dapat ditekuk Arjuna, mencoba mendekati. Tapi ditengah jalan, ia dihadang Dristadyumna yang memaksanya bertarung sengit dengan calon raja Panchala itu. Dristadyumna hampir terbunuh, andai saja tidak diselamatkan Satyaki. Hingga kemudian terjadilah duel seru keduanya. Durna dan Satyaki saling jual beli serangan dan jurus-jurus andalan. Satyaki kalah, namun ia berhasil diselamatkan ksatria Pandawa lain.

Yudhistira yang kuatir atas keselamatan Arjuna yang maju paling depan, segera memerintahkan Bima dan Satyaki untuk membantu sang adik. Bima menerjang maju bagai angin menyapu mega. Tak kurang sebelas kurawa putra Destarata yang coba menghadangnya terbunuh. Durna pun menghadang, lalu menantang Bima. Sama seperti yang dilakukan Arjuna, dengan penuh hormat ia menghindari gurunya.

Arjuna terus memburu Jayadrata, aktor utama dibalik kematian putranya. Trio Arjuna Bima dan Satyaki terus bergerak kompak. Pertempuran makin seru. Karna tiba menghadang Bima. Perbedaan keduanya amat mencolok. Karna yang tampan kerap tersenyum dan mengejek ketika menyerang BIma. Sementara Bima yang temperamental jelas emosi diledekin begitu. Alhasil terjadilah pertempuran sengit. Kedua ksatria mumpuni ini berkelahi seperti dua ekor singa. Ingatan Bima atas penghinaan Karna yang pernah dilakukan pada Drupadi selalu membekas di diri Bima. Makin Karna tersenyum, makin mengamuklah Bima.

Karna mulai terdesak, ia tak sanggup menahan ledakan Bima. Duryudhana yang menyaksikan itu, memerintahkan Durjaya membantu Karna. Namun adik Duryudhana itu tewas dihajar Bima yang tak hentinya memburu Karna. Kurawa lain seperti Durmasa, Dushaha, Durmata dan Durdara ikutan turun ke arena untuk menyelamatkan Karna. Namun kesemua putra Destarata itu ikut menemui ajalnya.

Duryadhana kian cemas. Ia perintahkan ketujuh saudaranya yang lain : Chitra, Upachitra, Chitaraksa, Caruchitra, Sarusena, Citrayudha dan Citrawarman untuk membantu Karna. Awalnya mereka bertujuh dapat menahan Bima. Namun Bima yang sedang mengamuk memang sulit ditahan. Mereka gugur satu per satu. Duryudhana kian panik. Ia perintahkan Wikarna dan ketujuh saudaranya yang lain untuk menghajar Bima. Tapi seperti yng lain, semuanya tumbang ditangan Bima. Total Bima telah membunuh 20 ksatria Kurawa hari itu.

Disektor lain, Satyaki yang mendapat mandat dari Yudhistira untuk melindungi Arjuna, dihadang Burisrawa. Kedua ksatria lni adalah musuh bebuyutan karena persoalan keluarga di masa lalu. Dendam itu makin meruncing karena pada perang hari sebelumnya Burisrawa telah membunuh kesepuluh putra Satyaki. Mereka tanding, saling terjang dan baku pukul hebat. Sama-sama jatuh lalu bangkit kembali, jatuh lagi dan bangkit lagi. Lama kelamaan, Satyaki mulai kehabisan tenaga. Burisrawa diatas angin. Beberapa kali ia sanggup menjatuhkan Satyaki yang mulai lemas. Ketika Burisrawa hendak mengayunkan pedangnya untuk membunuh Satyaki, anak panah Arjuna melesat cepat menyambar tangan Burisrawa. Tangan yang siap menebas itu putus dari badan dan terhempas ke tanah. Burisrawa amat terkejut mengetahui yang menyerangnya dari belakang adalah Arjuna.
“Putra Kunti, tak kukira kau melakukan tindakan memalukan ini!” kutuk Burisrawa. Arjuna balas berkata, “Burisrawa, bagaimana aku diam saja ketika melihat kau akan memenggal kepala sahabat ku yang sedang terkulai lemah. Apalagi ia hendak menolongku!” Burisrawa diam saja. “Apakah kau tak ingat bagaimana kau bersorak untuk orang-orang yang membantai anakku padahal ia sudah tak berdaya dan tanpa senjata?” lanjut Arjuna.
Burisrawa tak menjawab. Ia letakkan senjata di tanah dengan tangan kiri. Lalu ia duduk bersila dan melakukan yoga. Pada saat itu Satyaki siuman dan langsung bangkit. Terbawa dendam kesumat yang meluap ia pun menyambar pedang dan langsung menuju Burisrawa yang sedang bersemedi. Sebelum Arjuna dan Krishna menahan langkahnya, Satyaki menebaskan pedangnya ke leher Burisrawa. Putra Somadata pun tewas seketika. Sungguh, Arjuna dan Krishna amat menyesali perbuatan Satyaki. Namun Satyaki bersikeras bahwa tindakannya adalah benar.

Kematian yang dialami Burisrawa merupakan satu dari sekian banyak situasi konflik moral dalam kisah Mahabharata. Hal ini memperlihatkan bahwa ketika benci dan amarah menguasai manusia, tata karma dan dharma pun tak jua sanggup mengendalikannya.

***

Arjuna menerjang pasukan Kurawa dan berhasil mendapati Jayadrata. Matahari hampir tenggelam di balik Cakrawala. Kurawa bersorak menganggap Arjuna akan gagal melaksanakan sumpahnya. Mereka lengah. Dengan kecepatan tertinggi Arjuna melesatkan anak panah dari Gandewa menyambar kepala Jayadrata yang tak terjaga. Jayadrata telah tewas.

Pada hari keempatbelas ini, aturan perang bahwa perang harus dihentikan saat matahari tenggelam (malam hari), tidak dipatuhi kedua kubu. Mereka masih melanjutkan pertempuran. Maklum, Benci dan dendam makin membara, cuy!

Nah, konon pada malam hari Gatotkaca dan pasukan raksasanya akan semakin kuat. Mereka bisa memanfaatkan gelap malam dengan serangan siluman. Gatotkaca and his fellow soldier menghantam pasukan Kurawa dengan hebat, dengan cara-cara spektakuler dan efektif. Ribuan pasukan Kurawa dibantainya. Duryudhana pun risau. Ia meminta Karna menghentikan Gatotkaca yang terbang merajalela.

Karna sendiri ngeri, karena mengetahui kedahsyatan Gatotkaca dalam pertempuran malam hari. Sesungguhnya Karna memiliki senjata Wijayandanu pemberian Batara Indra nan sakti mandraguna. Konon senjata ini mirip rudal, yang dapat dikendalikan untuk memburu kemana lawan bergerak dan sangat mematikan! Namun senjata ini hanya dapat digunakan sekali saja. Sebenarnya Karna menyimpan senjata ini untuk menghadapi Arjuna. Namun ditengah hiruk pikuk kepanikan dan desakan Duryudhana akhirnya Karna menembakkan senjata maut itu kearah Gatotkaca yang asyik terbang kesana kemari.
Nyawa Arjuna memang selamat dari Wijayandanu, namun dengan harga yang sangat mahal : Gugurnya Gatotkaca, putra kebanggaan Bima.

Sunday, October 17, 2010

Surat Singkat Untuk Inge Scholl

Inge,
Bertahun – tahun setelah kematian Hans dan Sophie, kami mencoba mempelajari banyak hal serupa. “We read history in order not to have to repeat it. " Ya, dengan maksud terbaik agar kita tidak mengulangi sejarah yang tragis.

Bersama surat ini kami sampaikan kedukaan terdalam sekaligus penghormatan setinggi-tingginya atas perjuangan anda dan para Scholls. Saya tahu amat sulit menerbangkan berita dan pesan rahasia untuk keluar hidup-hidup dari penjara NAZI, karena Gestapo tak pernah main-main. Pun pasti tidak mudah bagimu mengungkapkan informasi yang terbuka atau hal-hal yang bersifat pribadi untuk kemudian diserang balik oleh kritikan publik. Apalagi, menceritakan kembali luka-luka yang menganga, jauh setelah perang berakhir.

Seperti itukah rasanya akrab dengan deportasi dari kamp ke kamp, penjara ke penjara? Kami tak berani membayangkan pengap dan ketidaknyamanan didalam sana. Kalian tentu sangat menderita.

Kami sedang berharap bisa memiliki sebuah kesadaran yang teguh untuk merintis perdamaian di negeri kami. Ingin rasanya ikut berbaris bersama Hans, Sophie dan teman-teman demi cita-cita perdamaian itu dijalan-jalan Eropa, kemudian melakukan yang sama disini. Sungguh sulit ternyata menemukan model atau peran terbaik apa yang cocok bagi generasi kami. Karena itu, kami ingin belajar dari mereka sebagaimana mereka berhasil menyalakan cahaya kecil di lorong paling gelap dalam sejarah Jerman. Semoga kami tidak putus asa kelak.

Hans, Sophie dan teman-temannya tidak berkata apa-apa tentang eksekusi dan guillotine. Apakah kau tahu, adakah mereka bersuka cita menjemput kematian itu? Memang benar, tiada indahnya penghukuman mereka karena tak ada yang lebih puitis selain kematian itu sendiri.

Regards,
Kampleng

*) Inge Scholl menulis sebuah account yang mencengkeram keberanian dan moralitas berjudul The White Rose : Munich 1942-1943 yang menceritakan tentang saudaranya Hans Scholl dan Sophie Scholl. Mereka memimpin organisasi bawah tanah kecil bernama The White Rose yang mengecam dan menentang kekejaman yang dilakukan Hitler dan rezim NAZI. Hans, Sophie dan seorang mahasiswa lain kemudian tertangkap dan dieksekusi mati. Buku ini berisi surat-surat, kutipan buku harian, foto-foto, transkrip dari leaflet kritis yang pernah disebar Scholl cs serta dokumen pengadilan dan eksekusi.

Sunday, October 10, 2010

Cerita Ulang Bharatayudha dalam Aransemen Generasi MTV (Bagian 3)



Hari Kesepuluh

Pandawa menempatkan Srikandi di lini depan, dengan Arjuna mengiringi di belakangnya. Mereka langsung menyerang Bhisma. Bhisma, sang ksatria terbaik Hastinapura yang begitu garang di medan perang, justru malah gemetar menghadapi Srikandi, sang prajurit perempuan. Bukan karena takut, melainkan karena Putra Gangga langsung terbayang “kenangan pahit” dengan Dewi Amba yang tewas ditangannya. Seketika bergejolak batinnya saat teringat peristiwa ketika ia secara tak sengaja melepaskan anak panahnya hingga membunuh perempuan putri Negara Sriwantipura itu. Bhisma benar-benar tak berdaya karena memori masa lalu itu, hingga membuatnya lemas, lunglai seperti tak berkekuatan.

Dan… kesempatan itu dimanfaatkan Srikandi dengan mendaratkan anak-anak panahnya ke jantung Bhisma! Semula, amarah Bhisma meledak saat busur-busur itu menembus dadanya. Tapi ia segera teringat sumpah yang pernah diucapkannya ”Tidak akan menganiaya perempuan, apalagi membunuhnya”. Sebuah dharma ksatria yang ditepatinya.

Arjuna juga berpenuh daya menguatkan hatinya untuk menyerang sang kakek. Dari belakang Srikandi ia membidikkan panah-panah kearah bagian tubuh Bhisma yang lemah. Belasan anak panah menancap dibadan Bhisma, tentu sakit bukan kepalang. Namun Putra Gangga masih sanggup berdiri tegak, dan ia justru tersenyum ketika anak-anak panah itu makin menghujani tubuhnya. “Ini pasti panah cucu terbaikku, Arjuna!”

Hampir sekujur tubuh Bhisma tertembus panah Arjuna. Seperti pohon tumbang, Bhisma roboh ke tanah. Ketika ia roboh, konon dewa-dewa yang menyaksikannya dari langit menundukkan kepala, mengatupkan kedua tangan untuk member penghormatan terakhir kepada Bhisma. Berdasarkan versi seorang dalang kawakan dari dusun Plelen (Kampung ibuku) Solo dalam Lakon “Bhisma Gugur” yang ku saksikan bersama Pakde 18 tahun lalu, Saat Bhisma roboh itu, tersebar semerbak harum bunga dan hujan turun membasahi seluruh medan kurusetra. 

Badan Bhisma tidak menyentuh tanah. Ia terbaring ditopang panah-panah yang menembus sekujur badannya. Kedua belah pihak menghentikan pertempuran. Semua ksatria berlari mendekati Bhisma dan mengelilingi ksatria besar itu. “Kepalaku terkulai, tidak beralas”, kata Bhisma. Para ksatria Kurawa disekitarnya sibuk mencari dan membawakan bantal. Tapi ksatria tua itu menolak dengan tersenyum dan menoleh pada Arjuna cucu favoritnya. “Cucuku, berikan aku bantal yang pantas untuk seorang ksatria".

Arjuna, yang panah-panahnya menembus sekujur tubuh Bhisma, segera mengambil tiga anak panah, dan langsung menancapkan ketiganya ke tanah sehingga menopang kepala sang kakek. Dalam sekaratnya Bhisma masih meminta Duryudhana untuk menghentikan perang dan berdamai dengan Pandawa. Namun sekali lagi, hati Duryudhana yang angkuh itu telah membatu. Ia menolak berdamai, dan akan terus berperang.

***

Ketika mendengar Bhisma sekarat, Karna (yang selama Bhisma memimpin pasukan Kurawa, memilih menyisihkan diri dari peperangan) segera mendatangi Putra Gangga yang tengah sekarat ditengah medan tempur. Lalu, ia bersimpuh didekat kaki Bhisma sembari memberi penghormatan. Kembali Bhisma meminta Karna untuk mewujudkan perdamaian dengan Pandawa. Namun Karna yang sudah berjanji setia dan berhutang budi kepada Duryudhana, tidak dapat memenuhi permintaan Bhisma. Dengan penuh rasa hormat, ia memohon izin pada Bhisma untuk turun ke medan perang membantu Kurawa.

Setelah mendapat restu dari Bhisma, Karna dengan gagah berani turut angkat senjata.


Hari Kesebelas

Duryudhana akhirnya menunjuk Mahaguru Durna menjadi senopati perang. Pertimbangannya adalah sepeninggal Bhisma, Durna-lah yang dianggap paling senior, yang tidak ada lagi tandingannya dalam hal kewibawaan, kecakapan, kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan. Durna menyanggupi.

Durna mengatur pasukan Kurawa dengan formasi bola. Lubang besar pasca tewasnya Bhisma, dapat terobati dengan hadirnya Karna di kubu mereka. Karna adalah putra sais kereta Destarata. Namun sesungguhnya ia adalah putra sulung Dewi Kunti (ibu Pandawa) dan Bathara Surya, yang dibuang lalu ditemukan dan dibesarkan oleh sang Sais. Dalam hal ketangkasan senjata ia setara dengan Arjuna atau Krishna.

Durna memimpin Kurawa dengan sangat cakap. Meski sudah berumur, ia bergerak sangat lincah dan bertarung tak kalah dengan para ksatria muda. Sang mahaguru bertarung ganas, menghadapi Satyaki, Bima, Arjuna, Dristadyumna, Arjuna dan Drupada tanpa rasa gentar. Semua kalah oleh Durna, meskipun tak ada korban jiwa. Mahaguru kawakan itu mendemonstrasikan kemahirannya bersenjata dengan energy yang luar biasa. Melesat menghancurkan bak api membakar kayu-kayu. Ia berhasil memotong formasi Pandawa menjadi dua bagian.

sektor lain, Sadewa bertarung satu lawan satu dengan Sengkuni. Bima melawan Wiwimsati. Nakula versus Salya sang paman. Dristaketu melawan Kripa. Satyaki melawan Kritawarma. Wirata melawan Karna. Serta Abimanyu yang bergulat melawan keroyokan Paurawa dan Jayadrata.

Durna memutuskan membangkitkan semangat tempur Kurawa dengan menyerang langsung Yudhistira. Duel keras. Namun Durna berhasil mematahkan busur Yudhistira yag membuat sulung Pandawa ini terdesak. Dristadyumna berusaha menghadang Durna, tapi sia-sia. Durna merengsek mendekati Yudisthira. Namun tiba-tiba muncul Arjuna datang membantu. Dengan Gandewa, Arjuna sangat merepotkan Durna sehingga sang mahaguru urung mendekati Yudhistira.

Akhirnya, Durna mundur dan tidak berhasil mengalahkan Yudhistira, Pertempuran pun berhenti karena hari sudah gelap.


Hari Keduabelas

Perang makin ganas. Kurawa makin memburu Yudhistira dengan sangat ambisius. Susarma dan Pasukan Trigarta yang dikomando Durna untuk meringkus Arjuna bergerak cepat mengaplikasi strategi sang senapati. Namun Arjuna yang piawai berhasil memukul telak mereka. Arena kembali menjadi lautan mayat dan potongan tubuh yang tercabik-cabik berserakan dimana saja. Mengerikan!

Durna memerintahkan penyerangan ke posisi Yudhistira. Dristadyumna pun tak tinggal diam menyaksikan rajanya diserang, ia berusaha menahan Durna. Pasukan sang panglima pun mendapat serangan gencar dari Durna, banyak yang terluka dan mati. Durna makin mendekati Yudhistira, namun masih ada Satyajit dan Wrika yang coba menghadang. Namun malang bagi ksatria Panchala itu. Keduanya tewas ditangan Durna.

Melihat itu Satanika maju menahan Durna yang trengginas. Putra Wirata itu bukan tandingan sang mahaguru. Ia tewas, konon kepalanya putus dengan sumping warna keemasan yang masih utuh ditelinga. Ketama dan Washudana juga menyerbu Durna, tapi lagi-lagi kekuatan mereka belum sepadan. Keduanya juga menemui ajal. Hari itu Durna menggila. Ia berhasil membunuh banyak ksatria Pandawa.

Namun semangat gigih ksatria Pandawa (di pimpin Bima) dalam melindungi Yudhistira, membuat usaha Durna menangkap sang raja gagal juga. Duryudhana memimpin pasukan gajah untuk melawan Bima. Bima yang selalu punya motivasi berlipat setiap melawan Duryudhana, berhasil mendesak sulung Kurawa itu mundur. Raja Angga yang berusaha membantu Druyudhana tak dapat berbuat banyak. Ia kalah telak dari Bima, bahkan terbunuh. Kekalahan Duryudhana membuat kekacauan di kubu Kurawa.

Melihat kekacauan ini Bhogadetta tidak tinggal diam. Dengan gagah berani ia menantang Bima. Terjadilah duel megadahsyat. Bima agak kerepotan menghadapi serangan gajah raja Prajogtisa itu. Satyaki datang membntu Bima. Namun ia ikut terdesak. Bhogadetta menggila dan kian mengacaubalau barisan pertahanan Pandawa. Arjuna ikutan panas. Dengan seizin Krishna ia turut bantu menyerang Bhogadetta. Setelah berhasil melumpuhkan gajah raksasa sang raja, Ksatria tampan itu menyerang balik dengan dahsyat. Serangan tombaknya berhasil melukai mata Bhogadetta. Lalu dengan secepat kilat Arjuna melancarkan serangan susulan yang tak kalah mematikan, tombak bermata bulan sabit miliknya tepat membelah dada Bhogadetta. Ksatria Kurawa itupun tumbang sekeketika. Kurawa tambah panik.

Wrishna dan Achala lantas mengeroyok Arjuna dari depan belakang. Tapi sial bagi mereka, Arjuna terlalu tangguh bagi kedua saudara Sengkuni itu. Mati-lah mereka ditangan Arjuna. Sengkuni sangat marah kedua saudaranya yang berani itu terbunuh. Ia menyerang Arjuna dengan sengit. Senjata gaib milik Sengkuni berhasil ditangkis Arjuna dengan tenang. Bahkan serangan balasan Arjuna mampu memaksa Sengkuni untuk menyingkir.

Alhasil, pasukan Pandawa berhasil memorak-porandakan bala tentara Kurawa sampai saat senja membenamkan mentari. Perang terhenti. Pandawa kembali memperoleh kepercayaan diri pasca kemenangan hari ini.

Wednesday, October 6, 2010

Segelas Air Tumpah

Semua sepakat serentak melongok ke luar jendela saat hujan tumpah dengan derasnya.. Semua kecewa. Sampai seorang teman melayangkan seuntai protes yang paling humanis pada hampa udara. “Kenapa kau (hujan) harus turun, saat aku mau pulang”. Aaaah, Hujaaan…

Seno Gumira Ajidarma punya kata-kata yang mudah diingat tentang hujan.
Hujan yang turun tidak sekedar sebagai air turun dari langit yang “netral”. Hujan dikehendaki punya makna“.

Mungkin romantik.. (sepasang kekasih berjalan di bawah satu payung berjalan ditengah hujan lebat).

Mungkin sentimental (seorang berusia paruh baya memandang keluar jendela ketika hujan lebat sembari mengenang masa lalunya),

Dan yang kurang personal : Mungkin duka. (banjir lagi alias lagi-lagi banjir)..

Barangkali, beragam kesan tentang hujan terlanjur bersemayam pada setiap jiwa. Karena hujan begitu akrab, menginspirasi dan tak terduga.

Sore ini mungkin hujan akan menyebalkan bagi beberapa kepala. Paham kan kenapa ada yang kecewa dengan ini? Hujan tak Cuma menunda. Membuat jadi menunggu. Tapi pasti sudah terbayang bermacam ketidaknyamanan perjalanan pulang ke rumah saat hujan turun atau setelah ia berhenti turun.

Mau tak mau aku tergerus dengan sebal ini. Sampai aku tulisan ini selesai, hujan belum juga reda.

“Hujan, Kenapa kau harus turun, saat aku mau pulang?”

Saturday, October 2, 2010

Jazz dan Mendoan



Menikmati pertunjukan musik Jazz (dalam panggung paling kecil sekalipun) adalah sebuah kegemaran spesifik bagi Kampleng. Dia paham betul bagimana Jazz mampu membuat malam-malam tertentu menjadi menarik, bergelora, mengajak bernyanyi tanpa suara dan rasa penasaran sekaligus. Atau bagaimana Jazz sanggup menghadirkan kesegaran seperti kicauan burung di pagi yang cerah atau wajah bunga-bunga yang bermekaran seperti yang diceritakan dalam film atau novel. Ya, bagi Kampleng, Jazz ibarat kebun bunga. Kebun yang penuh warna-warni indah bermekaran sepanjang mata memandang, lengkap dengan tetesan embun yang kemudian menguap diajak naik oleh matahari.

Suatu ketika Kampleng membaca sebuah novel berjudul “Jazz, Parfum dan Insiden”*. Disitulah ia coba mengeja kontinen makna Jazz. Bahwa Jazz bisa berarti apa saja, tergantung dari mana mulainya. Jazz bukan musik, melainkan bahasa, komunikasi. Jazz adalah hiburan, namun hiburan yang pahit, sendu dan mengungkit-ungkit rasa duka. Jazz adalah pembebasan jiwa, sebuah nyanyian diiringi suara rantai terseret. Itulah rantai yang mengikat tangan dan kaki para budak dimana mereka tidak menjadi bebas karena nyanyian namun tak ada rantai yang sanggup menghalangi mereka menyanyi. Jazz adalah dialog yang terjadi seketika, spontan dan tanpa rencana.

Toh tidak pernah ada jawaban final dan memuaskan dari sumber apapun mengenai Jazz. Namun Kampleng sepakat bahwa tidak penting Jazz itu apa. Yang penting kita dengar saja musiknya, rasa yang ditularkannya. Tidak usah tahu musiknya untuk memahami rasa, tidak usah pandai bermusik untuk menyukai Jazz!

Satu hal yang disepakati Kampleng soal Jazz adalah kebebasan yang hadir secara konkret dalam suatu ruang bernama improvisasi. Seperti yang ia baca dan pahami, memang ada kerangka sebuah lagu, namun setiap musisi bisa memainkan instrumennya secara akrobatik di sekitar kerangka itu. Bersama waktu, suara-suara setiap instrumen itu mengalir bagai mengikuti suatu garis penunjuk, namun mereka tidak betul-betul selalu mengikuti garis itu, kadang-kadang mereka berbelok entah kemana, menghilang lantas kembali lagi, atau memang mengikuti garis itu. Sambil meloncat-loncat, menari, jungkir balik- semuanya secara imprivisatoris dan tidak saling merusak. Bila tiba saatnya satu instrument ditonjolkan, dimana sang musisi mendemonstrasikan kepiawaian individualnya, yang lain secara otomatis tahu diri untuk tidak mengacaunya. Penuh kompromi, dan sangat nikmat.

Menikmati tempe mendoan** juga tak kalah pentingnya bagi hidup Kampleng. Bukan sekedar kudapan murah meriah yang disajikan dalam keadaan hangat disertai dengan sambal kecap dan cabe rawit untuk menemani minum teh atau kopi saat santai.
Tempe mendoan telah menjadi bagian masa muda yang bergegas. Begitu identik dengan tahun-tahun yang penuh petualangan dan sensasi : mengingat arti hidup, memahami lemparan nasib, memaknai segalanya. Menjadi saksi pembakaran energy atau mengkristalnya beban seorang belia yang labil. Sesuatu yang begitu akrab, tak bisa dijelaskan, tak pernah bisa dipastikan seluk beluknya.

Tempe mendoan adalah sempalan perjalanan, jejaring kenangan yang bisa dingat-ingat. Di kampus, di tempat kos, di trotoar, di taman, di gunung, di hutan, di terminal, di stasiun, di warteg, di angkringan, di pinggir sawah, di bawah jembatan. Begitu serasi mengantar diskusi, menulis, membaca buku, mencari tahu informasi untuk dikuliti,di urai atau di perdebatkan.

Dan malam tadi, Kampleng menikmati keduanya sekaligus, petunjukkan musik sebuah kuintet yang memainkan jazz standar dan sepiring tempe mendoan. Inilah peristiwa favoritnya. Masa dimana ia merasakan santai yang luas. Sebuah penjelajahan yang semoga tiada usai, tak pernah sampai, tak habis-habis. Kesenangan yang komplet, bak meteor, komet, bintang, bulan sabit dan benda langit lain bertebaran di malam jernih. Kegembiraan yang terang benderang, tidak mendung, tidak pekat, seperti warna-warna langit menggugah.

Kiranya Kampleng begitu nyaman di meja itu. Senyumnya mengalir. Mari, ucapkan selamat padanya…

*) Novel Jazz, Parfum & Insiden karya Seno Gumira Ajidarma ; Yayasan Bentang Budaya 1996
**) Kata mendoan dianggap berasal dari bahasa Banyumasan, mendo yang berarti setengah matang atau lembek. Mendoan berarti memasak dengan minyak panas yang banyak dengan cepat sehingga masakan tidak matang benar. Bahan makanan yang paling sering dibuat mendoan adalah tempe dan tahu (Wikipedia).
***) Foto mendiang John Coltrane, salah satu legenda musik jazz…

Friday, September 24, 2010

Bilur*



Akrab dengan kosakata ini?? Saya sama sekali tidak..

Kemaren langsung buka kamus untuk paham artinya. Cuma ada penjelasan singkat :
“luka panjang pada kulit (bekas kena cambuk/pukulan)”

Benar-benar irit petunjuk tapi sangat tegas : Itu kata tidak jauh dari hal tragedi, kekerasan!

Ada sebuah komposisi lagu berjudul “Bilur”. Sangat indah.
Hal tragedi, kekerasan sangat indah?

Denting datar piano bernada sendu ditimpali suara perempuan dan seruling sunda yang menyayat-nyayat hati di bagian pembuka lagu, bagai gerbang masuk sebuah ruang maha luas yang penuh jeritan pilu dan duka.

Lalu perempuan itu bergumam :
“Selendang bersulam sutra, biduri lembayung jingga...
Saksi mati tuk bersaksi, gelimang pesona diri...
Belia usia dulu, ruap cinta tlah menggebu...
Samar kulihat dunia...tak sadar semua fana... “


Ini karya dedikasi, tutur penulis liriknya.

“Sosok wanita ini biasa dipanggil...Mae. Dengan paras yang cukup cantik, dan talentanya yang luar biasa di dunia tarik suara seni tradisional mampu membuat banyak orang berdecak kagum untuknya. Tersirat bahwa hidupnya dulu bergelimang pesona. Dia suka menggunakan selendang dan biduri (batu permata) pada saat menyanyi diatas panggung. Pada masanya, beliau cukup tenar dikalangan seniman tradisional. Secara personal, dia adalah gadis penurut yang selalu ingin membahagiakan kedua orangtuanya, terlebih ibunya. Tapi disuatu saat, dia berontak tidak mau dikendalikan terus oleh sang ibu dan akhirnya memilih untuk menomorsatukan perasaannya dan menikah dengan laki-laki yang menurutnya adalah laki-laki yg dia "cinta"-i. Dia ingat, saat itu sang ibunda sangat menentang keputusannya, apa yang menjadi firasat ibunya tidak dia hiraukan.“

Na.. na.. na.. na.. Na.. na.. na.. na.. Na.. na.. na.. na..
Na.. na.. na.. na.. Na.. na.. na.. na.. Na.. na.. na.. na..
Na.. na.. na.. na.. A… Na.. na.. na.. na.. A… A….
Perempuan itu memilih berdendang untuk menyembunyikan tangisnya!

Si penulis bercerita lagi.
“Tidak ada yang tahu bagaimana kisah hidupnya, sampai akhirnya ajal menjemputnya secara tiba-tiba, dari situ terkuak semua yang pernah terjadi padanya semasa hidup. Ini memang sangat janggal, karena proses menuju terkuaknya cerita seorang Mae sangat rumit dan tidak masuk akal. Berdasarkan cerita dari bibir ke bibir, sampailah cerita itu ke telinga saya. Saat itu juga saya merasa tergugah akan kisah hidupnya yang pilu.”

“Semerbak dupa iringi ku melangkah..
Cungkupku hanya tanah...
Bilur hati merambah...
Akan datangkah bagiku...Kesempatan...
Bila tak ada titian...
Diri yang rupawan...
Bila tak ada titian...Jalan yang....Rupawan...”


Ini bagian yang paling membunuh! Tak usah bicara soal melodinya. Paling juara untuk didengar pagi senja siang atau malam!
Si penulis bermaksud menyiratkan suara hati Mae yang terluka setelah kematiannya, dimana dia merasa apa yang dia inginkan selama hidupnya ternyata tidak tercapai dan hanya berakhir sia-sia. Dia terbangun dan rumahnya kala ini hanyalah tanah... Semakin dia meratapi kenangan semasa hidupnya semakin jauh dia merasakan keperihan di dalam hatinya. Kepergiannya memang sangat tiba-tiba, tidak ada yang menyangka apalagi saat itu dia tengah mengandung 8 bulan. Kejadian demi kejadian terungkap setelah dia dan janin yang ada di perutnya dikubur bersama. Sampai pada suatu kejadian dimana rohnya merasuki raga seseorang dan memberikan sebuah lirik yang berisi cerita kisah hidupnya kepada seorang temannya. Liriknya berbahasa Sunda, inti dari lagunya sendiri berisi tentang rasa sakit yang tak pernah hilang walau dibawa ke liang lahat dan permohonan maafnya kepada ibu saudara dan teman-teman yang pernah mengenalnya semasa hidup.

Lalu tiba pada bagian lagu yang sangat mistis. Ketika raungan seruling dan kecapi Sunda yang makin memeras air mata, bersahutan dengan curahan hati paling getir. (dinyanyikan dalam bahasa Sunda dengan sempurna oleh Ambu Ida Widawati yang notabene adalah sahabat Mae semasa hidup)

"Duh, teungteuingeun...tuntung lengkah...geuning...bet peurih..."
Artinya kurang lebih “akhir langkahku ternyata tetap perih...dan selalu perih”. Kedukaan yang elegan!

Bagi si penulis lirik, walau singkat...tapi lirik ini mengandung makna sangat kaya yang sangat mewakili perasaan seorang Mae (berdasarkan cerita demi cerita tentangnya). Benar-benar menyakitkan.

Ada cerita menarik soal kelahiran lirik ini. Si penulis pernah sangat kesulitan dalam membuat lirik bahasa sunda untuk lagu ini. Maka kemudian ia meminta agar Ambu Ida mengisi lirik bahasa sundanya.

"Ambu...lirik ini benar-benar bagus dan membuat saya merinding" ujar si penulis setelah membaca lirik yang telah selesai.

Kemudian Ambu Ida bercerita kalau sebenarnya dia juga sempat kesulitan saat mengisi lirik bahasa sunda ini. Tapi konon kemudian Mae Sahabatnya “datang” menghampirinya dan memberikan lirik itu.. Ini cukup janggal, tapi seketika itu juga membuat si penulis merasa sangat terharu.

“Sekilas lihatlah mega, anugerah tiada tara...
Ini tak adil untukku, halimun hitam merasuk...
Ceracau getir ibunda, gemertak sengap hatinya...
Firasat tak penah salah...Hanya kuberbuat... Ulah....”


Respek luar biasa untuk Risa Saraswati, si perempuan penyanyi sekaligus penulis lirik, serta Ambu Ida Widawati atas inspirasi luka dalam hati yang sangat indah.
Saya merapat dalam barisan kalian untuk ini :
"Terimakasih Bu Mae....atas lirik yang indah...dan kisah yang bisa dijadikan pelajaran untuk siapa saja yang mendengarnya....saya yakin, Ibu sekarang sudah jauh lebih tenang... dan menemukan kebahagiaan disana, saya akan selalu berusaha mengingat dan mendoakan ibu..."

*Risa Saraswati sebelumnya dikenal sebagai ikon dari kelompok elektronik Homogenic yang kini bermetamorfosis dalam wujud “Sarasvati”. Ia telah mengeluarkan karya musik bertajuk “Story of Peter”. Sebuah karya yang sangat layak dikonsumsi.

Monday, September 20, 2010

Cerita Ulang Bharatayudha dalam Aransemen Generasi MTV (Bagian 2)



Hari Keempat

Tidak ada sesuatu lain selain sekitar pertarungan dan saling membunuh. Kedua kubu bersiap dengan strategi mutakhir demi meraih kemenangan. Setelah fajar, perang dimulai. Para ksatria sedia menyongsong pertempuran, tampak seperti langit berpetir ditengah hujan badai.

Bhisma memimpin penyerbuan, pasukan Pandawa siap melawan.. Aswatama, Burisrawa, Salya dan Citrasena mengepung dan menyerang Abimanyu yang tiada gentar setitikpun. Melihat putranya dikeroyok, Arjuna langsung datang membantu. Duel makin sengit. Dristadyuma juga datang menopang duo Arjuna – Abimanyu dengan sejumlah infanteri. Ketika posisi Kurawa terdesak, Duryudhana pun datang membantu, lengkap dengan pasukan gajahnya. Pertarungan makin panas, setelah Bima ikutan terjun ke gelanggang!

Bima mengamuk dengan senjata Gada nan berayun-ayun. Pasukan gajah Duryudhana kocar-kacir. Delapan saudara Duryudhana-pun tewas ditangan Bima, hal yang membuat putra sulung Raja Destarata ini naik pitam. Lantas ia menyerang Bima habis-habisan. Tarung kedua musuh bebuyutan ini berlangsung keras. Namun malang, Bima terluka terhunus panah Duryudhana. Ia tersentak dan nyaris jatuh. Gatotkaca yang melihat ayahnya terluka, amat marah. Ia langsung menantang pamannya dan menyerang pasukan Kurawa. Ia berkelabat sangat cepat melancarkan sengatan menusuk nadi pasukan Kurawa. Putra Bima dari istrinya Dewi Arimbi itu terkenal sangat sakti. Konon ia dapat terbang dan mampu berubah menjadi sebesar raksasa. Kurawa kewalahan. Bhisma memerintahkan pasukannya untuk mundur.

Hari itu harinya Gatotkaca. Ia mampu memenangkan Pandawa.


Hari Kelima

Malam sebelum hari kelima perang. Bhisma sesungguhnya telah menasihati Duryudhana untuk menghentikan perang. Melihat ribuan nyawa telah melayang sia-sia, terutama dari kubu Kurawa membuat Putra Gangga itu bersedih hatinya. Ia menyarankan Duryudhana untuk berdamai dengan Pandawa sebagaimana mestinya. Namun nasihat baik itu tidak diindahkan oleh Duryudhana yang angkuh. Ia tidak ingin berdamai.

Esok paginya perang dilanjutkan. Krishna bereksperimen dengan formasi baru Pandawa. Bima berdiri di ujung depan. Dristadyumna, Srikandi, Satyaki dibelakangnya menyokong pusat formasi. Yudhistira, Nakula dan Sadewa menjaga disisi belakang. Namun Bhisma yang berinisiatif melancarkan gempuran duluan melalui serangan panah. Pasukan Pandawa terpukul mundur. Menyaksikan barisannya terdesak, Arjuna segera menantang Bhisma. Durna datang dibelakang Bhisma, dan Satyaki mencoba menghadangnya. Namun Durna masih terlalu kuat bagi Satyaki. Bima pun lantas datang membantu, menghadapi Durna.

Duel jadi makin sengit. Durna, Bhisma dan Salya bersekutu menyerang Bima. Srikandi (yang terlahir sebagai perempuan) datang membantu Bima dengan melancarkan serangan panah pada Bhisma. Ketika Srikandi maju, Bhisma yang berprinsip tidak akan menyerang perempuan segera menarik diri. Melihat Bhisma mundur, Durna segera menyerang Srikandi dan memaksa Srikandi mundur.

Pada sudut yang lain, Duryudhana mengirimkan pasukannya untuk menyerang Satyaki. Tapi dengan mudah Satyaki menghancurkan mereka. Burisrawa datang untuk membantu Duryudhana. Ksatria yang terkenal jago pedang itu berhasil memaksa Satyaki bertahan. Kesepuluh putra Satyaki yang melihat ayah mereka terdesak segera datang membantu. Namun panah-panah Burisrawa terlalu tangguh bagi petarung-petarung muda itu. Tragis, kesepuluh putra Satyaki menemui ajal. Satyaki pun marah, ia lantas menyerang Burisrawa. Namun sekali lagi, Burisrawa terlalu tangguh bagi kerabat Krishna itu. Ilmu pedang Burisrawa memang tiada tandingannya. Kemudian Bima datang menyelamatkan Satyaki. Putra Pandu itu tak ingin Satyaki mati di ujung pedang Burisrawa.
Akhir pertempuran sore itu, Arjuna berhasil mengoyak barisan tentara Kurawa dan kembali memberikan kemenangan pada Pandawa.


Hari Keenam

Yudisthira memerintahkan Senapati Dristadyumna menggunakan formasi makarabyuha, pola berbentuk ikan raksasa dengan kepala bertanduk sebagai bakal strategi Pandawa hari itu. Sementara pasukan Kurawa menyusun formasi kraunchabyuha dengan bentuk burung bangau.

Perang hari ini langsung panas dengan tewasnya lebih banyak prajurit di kedua pihak, bahkan ketika hari masih pagi. Di kubu Kurawa Durna tampil menggila. Sementara Bima menyerbu saudara-saudara Duryudhana. Mereka serentak menyongsongan tantangan itu. Bima pun dikeroyok Dursasana, Durwisaha, Jayasina, Citrasena, Wikarna, Carucitra dan belasan lainnya. Seru. Mereka ingin menangkap Bima hidup-hidup, demi menuntut balas atas serangan Bima yang membunuh kedelapan saudara mereka kemarin. Melihat Bima dikepung bala Kurawa, Dristadyumna tak tinggal diam. Dengan senjata saktinya, putra Panchala itu dapat menyelamatkan Bima dan menangkis balik serangan lawannya. Tidak berapa lama kemudian datang pasukan kiriman Duryudhana untuk menghajar Dristadyumna. Namun tidak lama Abimanyu datang membantu sang Paman.

Hari itu ditandai dengan pertarungan missal yang tidak pandang bulu. Darah membanjir dan padang Kurustra penuh dengan mayat-mayat prajurit, kuda, gajah serta puing-puing kereta perang. Pandawa mengalami kekalahan, meskipun tidak telak.


Hari Ketujuh

Strategi perang kedua kubu dirombak. Pandawa membentuk formasi Wajrawyuha (halilintar), sementara Kurawa mengusung formasi Cakrabyuha, bentuk melingkar. Genderang dan terompet berbunyi bersahutan memulai perang hari ini. Makin hari makin sengit. Makin panas seperti diesel. Arjuna menyerang dan dihadang Bhisma. Wirata terlibat pertarungan sengit dengan Durna. Srikandi versus Aswatama. Nakula dan Sadewa berkolaborasi melawan Salya, paman mereka. Gatotkaca versus Bhogadetta. Satyaki versus Alambasa. Bima dikeroyok Kritawarma, Citrasena, Wikarna dan Durmasha. Yudhistira melawan Srutayu. Dristaketu versus Burisrawa, Chekitana adu tangguh lawan Kripacarya, serta Dristadyumna bertarung dengan Duryudhana.

Duet Bapak anak Arjuna dan Abimanyu menggelar pertarungan dengan sang kakek Bhisma. Sengit. Namun sang kakek mampu menahan mereka sampai matahari terbenam. Perang hari ketujuhpun berakhir cukup seimbang.


Hari Delapan

Hari masih pagi saat Bima berhasil membunuh delapan kurawa saudara Duryudhana. Kematian ini sangat menyayat hati putra sulung raja Destarata itu. Nampaknya Bima benar-benar ingin menuntaskan sumpahnya menghabisi Kurawa. Sumpah yang diucapkannya saat Pandawa dan Drupadi dipermalukan dalam permainan dadu.

Namun hari itu Arjuna juga mengalami kedukaan. Irawan, putranya dari Dewi Ulupi tewas ditangan Alambasa.

Mengetahui sepupunya tewas, Gatotkaca murka. Ia mengamuk menerjang pasukan Kurawa dengan ganas. Kurawa pun menjadi kacau balau. Melihat itu, Duryudhana mencoba menahan Gatotkaca. Awalnya pertarungan berjalan imbang. Keduanya saling melukai. Namun dendam membara atas kematian Irawan membuat Gatotkaca seperti punya motivasi berlipat untuk menghukum Kurawa. Hal ini membuat Duryudhana kewalahan. Bhisma-pun memerintahkan Wanga dan Durna untuk membantu Duryudhana. Pertarungan makin alot, ketika Bima datang membantu putranya.

Senja datang, perang hari kedelapan harus dihentikan. Hari itu, enam belas Kurawa saudara Duryudhana menemui ajal.


Hari Kesembilan

Perang dimulai lagi. Abimanyu melawan Alambasa. Satyaki dengan Aswatama, Arjuna versus Durna, serta Yudistira, Bima, Nakula dan Sadewa menyerbu Bhisma yang dibantu Dursasana.

Sampai perang hari ini, Arjuna masih belum bertarung sungguh-sungguh tiap melawan Bhisma dan Durna, kakek dan guru yang sangat ia cintai. Sedikit informasi, Bhisma dan Durna membela Kurawa bukan dimaksudkan untuk membela para putra Destarata, melainkan karena harus membela Hastinapura, tanah air mereka. Sebagaimana yang pernah dilakukan Kumbakarna saat harus menghadapi Sri Rama dalam babad Ramayana.

Krisna sang sais kereta mampu menangkap gejolak keraguan dalam diri Arjuna. “Kau tidak bertarung dengan sepenuh hati, Arjuna!” Ia kembali turun dari keretanya dan mengancam akan membunuh Bhisma dengan tangannya sendiri.

Namun lagi-lagi Arjuna berhasil menahan Krishna agar tidak melanggar sumpahnya untuk tidak angkat senjata dalam perang ini. “Ini perangku, Wasudewa (Panggilan Krishna). Aku tidak akan mengecewakanmu lagi. Aku akan sungguh-sungguh!

Hari itu, pasukan Pandawa menderita kekalahan.

Thursday, September 16, 2010

Belajar Pramuka di Afrika Selatan


Itu judul editorial di sebuah koran pagi hari ini. Mau tau isinya tentang apa??

“Rencana Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk Studi Banding Soal Kepramukaan ke Afrika Selatan.”

Tanpa basa-basi Editorial langsung menembak ke pusat keanehan.

“DPR ternyata institusi yang tidak kehabisan akal mengarang alasan untuk bisa plesiran ke luar negeri.. Lihat saja betapa kreatifnya Panitia Kerja RUU Kepramukaan DPR mengemas agenda itu secara mentereng : studi banding ke Jepang, Korea Selatan dan Afrika Selatan.”

“Sungguh tak masuk nalar sebuah RUU Kepramukaan memerlukan studi banding nun jauh ke Afrika!”, keluh Editorial.

“Kepramukaan? Kepanduan? Ya, berbaris-baris, disiplin, keterampilan, ketahanan fisik dan mental, membangun kesetiaan dan kebersamaan. Apakah untuk itu DPR merasa harus mengaisnya hingga ke Afrika Selatan dan menghamburkan uang rakyat hingga mendekati Rp800 juta?!”

Afrika Selatan? Bukan tidak ada yang bisa dipelajari dari negeri ini. Kalo soal bagaimana memaafkan dan melupakan politik apartheid kemudian belajar membangun kerukunan dan toleransi berbangsa, mungkin banyak yang bisa dipelajari. Tapi soal kepramukaan??

Pilihan ini kian membuktikan dewan memang tidak memiliki urgensi agenda. Kian wajar kalo kesan yang kemudian muncul adalah mereka sekedar menghabiskan anggaran yang telah dialokasikan.

Studi banding sama sekali tidak salah. Hakikatnya studi banding adalah uji kecerdasan dan keunggulan antara contoh satu dengan lainnya sebelum mengambil keputusan untuk diterapkan di negeri ini. Tapi dari yang sudah – sudah, Publik tak pernah mendengar adanya paparan hebat mengenai hasil studi banding DPR setelah kunjungan keluar negeri. Walhasil, studi banding ala dewan rakyat ini terkesan hanyalah akal-akalan penuh lelucon.

Siapa yang ga emosi coba?

Saking kesalnya mungkin, Editorial sempat meledek:
“Mungkin kita tidak memahami jalan pikiran DPR. Atau DPR yang kerap bertindak suka-suka dan mengabaikan suara rakyat ini yang memang sulit dipahami? Karena itu jangan kaget jika suatu hari DPR berkunjung ke Somalia untuk mempelajari cara-cara menumpas bajak laut atau berkunjung ke Sudan mempelajari bagaimana Negara itu mengelola taman kanak-kanak..

Komentar pembaca di situs Koran juga beragam.

Ada yang kesal tapi mencoba bersabar,
“kondisi yang memprihatinkan, namun itulah kenyataannya... dan lebih miris lagi, tidak adanya tindakan NYATA yang dilakukan untuk menghentikan itu semua. Sepertinya kuping mereka sudah tebal. Doakan sajalah, dan tetap berkata positif”

Ada yang berbaik hati mendoakan,
“Ya, Allah hukumlah mereka Ya Allah, jadikan satu mata mereka sebesar bola tenis, jadikan hidung mereka belalai gajah, jadikan mulut mereka sebesar mangkuk bakso, jadikan lidah mereka sepanjang 40 cm, jadikan telinga mereka sebesar asbak, dan beri mereka penyakit kelamin yg paling menjijikkan.. Amin Ya Rabbal 'Alamin..”

Dan ada juga yang benar-benar emosi (barangkali),
Sejujurnya DPR RI memang membutuhkan banyak studi banding ke manca negara...karenai rata2 anggota parlemen kita ini memang secara kualitas nol besar.. perlu belajar banyak.. maklumlah kemampuan utama ilmu mereka adalah membohongi rakyat.. kadal mengkadali... akal-akalan... korupsi... dan terutama ahli sulap menyulap... bayangkan kerugian negara 6,7 T kasus Century disulap seolah olah negara tidak dirugikan.... jangan kaget bila kelak mereka akan studi banding ke neraka di biayai negara..!

Jadinya??

Editorial menutup kegelisahaan ini dengan sebaris kata “Studi banding yang dilakukan DPR jelas adalah kebodohan yang tiada bandinganya”

Silahkan dicerna. Boleh setuju. Boleh tidak.

Monday, September 13, 2010

Cerita Ulang Bharatayudha dalam Aransemen Generasi MTV (Bagian 1)


Hari Pertama

Gemuruh pertempuran membelah angkasa. Genderang perang bertalu membahana. Terompet ditiup menderu kencang-kencang. Kuda dan gajah perang meringkik dan melengking. Prajurut bersorak, panah berterbangan bak meteor. Masing-masing sudah ready combat, siap saling serang. Ini adalah perang gila yang mengerikan. Saudara sepupu, Kakek dan cucu, Paman dan Kemenakan, Guru dan Murid saling bunuh di tegal kurusetra. Pandawa mengangkat Sweta, Uttara dan Wratsangka Putra-putra Wirata sebagai panglima perang dan Kurawa menunjuk Bhisma Putra Gangga sebagai sang Senopati.

Bhisma tancap gas, langsung bergerak menggila bagai tarian sang malaikat penghancur. Sebelum tengah hari, pasukan Pandawa banyak mengalami kekalahan. Abimanyu putra Arjuna, The Rising Star kubu Pandawa yang tangkas berperang tak tinggal diam, ia maju menantang sang kakek. Tetua keluarga dan cucu itu bertarung keras. Konon para dewa turun untuk melihat pertempuran itu. Panji-panji berlambang pohon karnikara milik Abimanyu berkibar gagah. Dengan tangkas Abimanyu menangkis serangan-serangan Bhisma yang tajam, sekaligus melayangkan counter attack dengan memenggal kepala sais kereta Bhisma dan menjatuhkan panji-panji pohon palem milik sang Kakek.

Putra Gangga sangat senang melihat keberanian anak muda itu. Dengan berat hati, ia harus mengerahkan seluruh kesaktiannya melawan si cucu. Uttara, Dristadyumna putra Drupada dan Bima segera datang membantu menyerang Bhisma yang ditopang Prabu Salya. Uttara dengan berkendara Gajah gigih menyerang Salya hingga kereta kudanya hancur berantakan. Tetapi secepat kilat, Salya melesatkan tombaknya menghujam jantung Uttara. Uttara roboh seketika.

Swetta menyaksikan bagaimana Salya menghabisi adiknya. Amarahnya memuncak, ia lantas memburu Salya yang segera dilindungi tujuh ksatria Kurawa. Makin sengit, Swetta bertarung bak singa lapar. Ribuan prajurit Kurawa tewas dan kereta perang rusak. Bhisma datang untuk menahan Swetta yang mengganas. Bhisma dan Swetta duel, beradu tombak. Sengit, namun akhirnya Swetta kalah. Tombak Bhisma menembus dadanya, dan tewaslah panglima perang pandawa itu.

Hari pertama, pasukan Pandawa mengalami kekalahan. Duryodana, Dursasana dan Kurawa lainnya menari-nari merayakan kemenangan hari itu.


Hari Kedua

Setelah tewasnya Prabu Swetta, pasukan Pandawa mengangkat Dristadyumna, saudara Drupadi Putra Raja Panchala sebagai Senapatinya. Pasukan Kurawa yang dipimpin Bhisma sekali lagi mengantam lawannya dengan keras. Formasi perang milik Pandawa hancur berantakan. Bhisma menggila!

“Jika hal demikian berlarut, Pasukan kita akan dihabisi. Kakek Bhisma harus dihentikan,”ujar Arjuna.

Arjuna merengsek maju menyerang Bhisma. Duryudhana langsung memerintahkan pasukannya untuk melindungi sang kakek. Ketangkasan Arjuna menggunakan busurnya, mampu memporakporandakan bala tentara yang dikirimkan Duryudhana. Arjuna dan Bhisma, keduanya ksatria terbesar di muka bumi. Pertempuran keduanya tampak seimbang dan berlangsung sengit. Anak panah melesat bagai petir, saling serang. Kereta mereka bergerak sangat cepat. Konon, para dewa turun dari kahyangan menyaksikan laga ini.

Dibagian arena yang lain juga terjadi duel maut antara Durna dan Dristadyumna. Pedang dan anak panah mereka menderu dengan kebencian membara. Dristadyumna akhirnya terluka, bahkan sampai terlempar dari kereta perangnya. Pada saat kritis itu, BIma segera datang menyelamatkan mahasenapatinya. Melihat Bima menyerang Durna, Duryudhana segeram mengirim pasukan Kalinga-nya, semacam pasukan elite milik kubu Kurawa. Bima mengamuk bagai dewa kematian dan membunuh sejumlah besar pasukan itu.
Menyaksikan itu, Bhisma segera datang membantu pasukan Kalinga. Abimanyu, Satyaki dan beberapa ksatria Pandawa segera datang juga membantu Bima. Serangan dahsyat mereka berhasil menewaskan sais kereta Bhisma. Akibatnya, Bhisma menjadi oleng, dan harus berlari meninggalkan medan laga untuk menyelamatkan diri. Kesempatan ini dimanfaatkan pasukan Pandawa untuk menghabisi lawannya. Tidak terhitung kehilangan prajurit yang dialami Kurawa.

Senja datang, menutup perang hari kedua. Giliran Kurawa mengalami suasana kekalahan yang dialami Pandawa pada hari pertama.


Hari Ketiga

Bhisma mengatur pasukan kurawa dengan formasi Garudawyuha (burung garuda). Ia sendiri berdiri paling depan, dan Duryudhana berada dibelakang melindungi bagian ekor. Segala sesuatu diatur dengan cermat, agar tidak menelan kekalahan lagi. Sementara Dristadyumna dan Arjuna mengatur pasukan Pandawa dengan strategi Ardhacandrabyuha (bulan sabit) untuk mengimbangi strategi lawan. Bima berdiri di ujung kanan formasi dan Arjuna disisi sebelah kiri.

Perang kian sengit, deru senjata dan darah membanjir. Serangan serempak kurawa pada posisi Arjuna, masih dapat dihalau putra Pandu dengan ketangkasan yang mengagumkan. Ditempat lain, Sengkuni, paman kurawa bertarung hebat dengan Abimanyu dan Satyaki. Durna dan Bhisma sama-sama menyerang Yudhistira yang dibantu Nakula dan Sadewa. Bima dan putranya, Gatotkaca menyerang pasukan Duryudhana. Duryudhana terluka parah dibagian punggungnya.. Durna dan Bhisma pun segera datang untuk melindungi Duryudhana yang nyaris ambruk.

Setelah siang, Bhisma mengamuk dimedan perang. Ia kerahkan pasukan dan menyerang begitu dahsyat. Bhisma bergerak kilat dari satu tempat ke tempat lain dengan hantaman mematikan. Setiap lawan yang menghadangnya dipukul mundur. Srikandi dan Wasudewa gagal menahannya. Gantian pasukan Pandawa yang kacau balau.

Melihat keadan ini, Krishna (yang telah bersumpah untuk tak angkat senjata dan memilih menjadi sais kereta Arjuna) sang pengatur strategi perang Pandawa memperingatkan Arjuna untuk menghentikan Bhisma. Demikianlah, Krishna memacu kereta Arjuna mendekati Bhsima. Ksatria tua itu menyambut dengan tembakan ratusan anak panah persis mengarah ke sasaran. Panah-panah sang kakek menerjang dengan trengginas. Tapi Arjuna melawan tidak dengan sepenuh hati,ia sangat menghormati kakeknya.

Krishna tidak puas dengan cara Arjuna menghadapi Bhisma. Menurutnya jika Arjuna terus bersikap demikian, pasukan Pandawa yang saat itu mentalnya sedang down akan semakin kacau dan mudah ditaklukkan. Arjuna masih belum melawan dengan sungguh-sungguh, sementara Bhisma makin menguasai keadaan. Hal ini membuat Krishna gatal, ia tidak sabar lagi.

“Aku tidak sabar lagi Arjuna. Akan ku bunuh Bhisma sendiri!” ia berseru pada Arjuna sambil melompat turun dan mengambil kuda-kuda untuk melepas senjata Cakra andalannya kearah Bhisma.

Arjuna terpana melihat kemarahan Krishna. Ia pun merasa malu, dan mengejar Krishna. Akhirnya ia berhasil membujuk Krishna untuk mundur kembali dan berjanji untuk berperang dengan lebih semangat. “Aku berjanji untuk memenuhi kewajibanku memenangkan pertempuran ini!”

Efek “ancaman” Krishna sukses, Arjuna balik mengganas. Ia menyerang balik Bhisma dan tentara kurawa bak banteng terluka. Ksatria sakti itu berhasil meremukkan bangunan formasi Kurawa. Sore itu itu Kurawa kembali mengalami kekalahan. Arjuna putra Pandu Dewanata keluar sebagai Man of the Match dalam perang hari ketiga.

Tuesday, September 7, 2010

Perjalanan Dimulai (Lagi) dari Banda Naira


Hujan agak deras tiba-tiba turun, tidak lama setelah saya dan seorang karib tiba disebuah café di sekitar Tamansari Bandung. Untuk sebuah reuni kecil sekaligus buka puasa. Pertemuan yang tidak dirancang jauh-jauh hari. Kebiasaan yang serba mendadak. Kebetulan ketika itu pekerjaan saya dan seorang teman sudah selesai. Kebetulan jam kuliah seorang teman yang lain juga sudah habis. Kebetulan juga ada berita dari akun Dira Sugandhi (seorang penyanyi jazz muda), bahwa ia akan bernyanyi di Café itu pada senja yang sama untuk sebuah acara Charity. Dan kebetulan kami memang sudah lama tak berkumpul. Klop…

Menu makanan dan minuman dan perbincangan sore itu tidak akan dibahas. Saya lebih tertarik bercerita tentang panggung kecil disitu. Panggung sederhana dan akustik.. Pemusik-pemusik lokal Bandung tampil, beberapa diantaranya adalah artis atau personel band mayor label yang kerap saya lihat di televisi. Suasananya hangat, penonton ramai memberi apresiasi.

Jam setengah delapan lewat saat pemandu acara menyuarakan bahwa setelah ini yang akan tampil adalah Banda Naira!

Hah? Banda Naira? Irsa Destiwi? Lea Simanjuntak?

Bener saja, mereka berdua muncul di panggung. Irsa memang selalu cantik dan sungguh elegan dibalik pianonya. Tapi malam itu make-upnya agak lebih tebal dari biasanya. Dan Lea memang selalu pintar menyapa penonton dan bercerita. Tiga lagu saja malam itu dari album independen mereka : The Journey of Indonesia. Penampilan singkat tapi cukup pas dan menggelora.

Saya jadi tertarik dengan album itu.

Pernah mendengar sedikit tentang album ini akhir tahun lalu, tapi saya belum sempat menyimaknya. Kebetulan (lagi) saja, di belakang panggung ada yang jual dan tidak butuh pikir panjang untuk segera membelinya.

Lalu acara selesai, perjumpaan kembali berakhir dan saya pulang dengan CD album itu. Sampai jumpa kawan lama,.. Selamat datang di Banda Naira…

Banda Naira adalah duet piano-vocal kedua orang tadi. Nama Banda Naira diambil dari sebuah pulau di perairan Maluku. Entah kenapa mereka memilih Banda Naira sebagai bendera, jelas bukan sekedar turut menamai diri dengan tapak geografis seperti Halmahera, Karimata, Krakatu, mungkin. Hingga kemudian terpilihlah konsep ini, dan saya setuju dengan ulasan wartajazz tentang pilihan mereka : Ada kesan noir dari citra penyanyi solo yang bersanding anggun dengan pemain piano tunggal. Atribut minimalistik yang melambungkan ingatan kita pada crooning beriringkan piano stride dari Édith Piaf (legenda pemilik “La Vie En Rose”). Piaf menarasikan “Milord” dalam gestur monolog mendongak, menghayati drama rayuan lagu.

Dibuka dengan Indonesia Pusaka, salah satu dari empat karya komponis Ismail Marzuki yang masuk dalam Album ini. Langsung terasa solidnya. Duet ini berpadu manis dengan rhythm yang dibangun pemain bass Doni Sundjoyo dan permainan perkusi seorang bule, Philippe Ciminato. Track selanjutnya, Cinta Indonesia ciptaan Guruh Sukarno Putra. Komposisi aroma latino yang ceria. “Cinta Indonesia, padamu beta t’lah menyatu, padamu beta kan setia membela. Oh tanah tumpah darah nan suci mulia”. Penuh rangsangan untuk memacu rasa bangga pada tanah air. Saya suka dengan suara tebal Lea di lagu ini, sangat memunculkan karakter yang dinamis..

Sepasang Mata Bola (Ismail Marzuki) dimainkan secara memikat di urutan ketiga. Saya sangat suka dengan model aransemen macam ini. Suara mute trumpet yang dimainkan dengan lirih oleh Indra Artie Dauna (seperti kata Arif Kusbandono), seolah memindahkan kabut malam di Bourbon street ke Yogyakarta. Sepintas saya membayangkan seperti seorang pemuda pejuang yang sedang berada dalam perjalanan kereta api dari Batavia menuju Jogja, membawa propaganda Indonesia Merdeka. Pepat dengan bisikan patriotik nan romantic.

The Jakarta Broadway Singers turut unjuk sentuhan di album ini. Memberi latar yang gempita dan penuh gizi ketika mengiringi nyanyian Lea nan centil menggoda dalam Sersan Mayor (Ismail Marzuki). Lea sepertinya paham betul bagaimana melantunkan barisan kata-kata kekaguman pada sosok “idaman hasrat hati” dengan vocal impresif : “Alangkah manisnya, Miring pecinya. Aku namakan dia burung garuda nan istimewa”.

Banda Naira secara gagah berani merekam kembali lagu-lagu wajib jaman SD dulu. Macam Maju Tak Gentar (C. Simandjuntak), Hari Merdeka (H.Mutahar), Ibu Kita Kartini (WR. Supratman) atau Desaku (L. Manik). Dalam racikan Banda Naira lagu-lagu itu bagai menjadi muda kembali. Istimewa, lezat, benar-benar dalam kemasan anyar nan beda. Hingga nomor-nomor yang kerap terlupa itu singgah kembali dalam deretan playlist , bersanding dengan Starlite Carrousel – Frau, Speak for Your Self - Imogen Heap, atau Sarasvati.

Pun aksen-aksen menawan Banda Naira pada dua lagu yang akan selalu lekat di ingatan sepanjang masa, seperti Payung Fantasi (Ismail Marzuki) dan Dibawah Sinar Bulan Purnama (Maladi). Kian mengukuhkan respek luar biasa atas pilihan bermusik mereka.

The Journey of Indonesia sungguh terasa futuristik. Peluang intepretasi dan menggubah “bait-bait muda patriotik” dan “pesona abadi” para penggubah Indonesia dimanfaatkan seluas-luasnya.