INDONESIA MERDEKA

INDONESIA MERDEKA

Tuesday, December 30, 2008

Drupadi Versi Dian Sastro (saya tidak belajar jadi kritikus)

Ada pujian, tapi cukup banyak ketidakpuasan pada Drupadi. Entah kenapa, saya tidak tau. Ada ratusan kepala yang menunggu, mengintai Drupadi sejak premiernya kemarin. Banyak penonton disetiap pemutaran, dan setiap pemutarannya adalah cawan yang mau tidak mau harus menampung bergulirnya subyektifitas yang masing-masing itu. Dari atas kebawah, hulu atau hilir, kanan kiri, belakang depan, punggung ke muka.
Bagi penggemar pada epik Mahabarata, pasti akan mudah menggulirkan tebakan pada (semacam) monolog di pembuka film : Amuk murka Drupadi kepada seluruh ksatria yang pada purnama itu larut dalam sebuah permainan dadu di ruang kebesaran Hastinapura. Drupadi yang bertanya, meramal dosa keturunan Barata di kemudian hari , menunjuk pada muka kekejian, menangisi diam pandawa, mencari sisa nurani Destarata, Dorna, Kripacarya atau Widura... Monolog itu melatari pilihan visual atas Bharatayudha (ditulis di program guide Jifest sebagai puncak film ini). Pilihan berpuisinya jatuh pada gambar. Mengirim pesan dari medan kurusetra.
Bagian pertama adalah Sayembara. Tidak ada Panchala (yang saya lihat begitu), hanya Drupadi yang menjadi perhatian. Ada pesona, yang ingin digambar dari wajah kecantikan Dian Sastro. Ada Pandawa, yang lima. Yudhisthira, Bima (yang kali ini badannya tidak lebih besar dari sang kakak), Arjuna dengan teknik voice over yang mirip Soe Hok-Gie, Nakula-Sadewa yang sepertinya sulit mencari orang kembar. Dan dari kubu Kurawa saya hanya melihat Karna. Ada proses yang terlewati (mungkin sengaja dilewati) dalam penolakan Karna oleh Drupadi. Tanpa keengganan yang keras dari Drupadi, kekecewaan kurawa, dan rasa terhina Karna yang dahsyat. Selanjutnya mengalir, kemenangan Arjuna (disini sang ksatria berhasil membidik setangkai bunga, dan memecahnya menjadi 5 bagian), diikuti senyum puas drupadi, dan Pandawa memboyong Drupadi pada Dewi Kunti
Bagian kedua adalah janji Dewi Kunti. Pilihannya jatuh bukan pada versi jawa. Kira-kira adalah bahwa segala sesuatu yang dimiliki Pandawa adalah untuk mereka berlima. Ada bagian, dimana Drupadi tengah membagi dirinya untuk kelima pandawa. Kata teman saya, itu ”gak jadi”. Katanya, Sosok Drupadi jadi kehilangan keanggunan.. Tapi biarlah, warna air laut juga gak harus biru di surealis.
Bagian Ketiga adalah Undangan bermain Dadu. Buat saya disinilah awal mula kesulitannya si pembuat film menyingkap detil mahabarata. Kalo orang inggris bilang, pembuat filmnya mulai keteteran. Yudhistira diceritakan langsung menimang undangan kurawa untuk bermain dadu. Sempat ada ajakan penolakan dari pandawa lainnya, tapi justru tidak dijelaskan sama sekali (entahlah kalau adegan ini sudah dibuat tapi kena sunting) yaitu : alasan kenapa Kurawa (yang diprovokasi Sakuni) mengajak Pandawa bermain dadu.
Bagian keempat, permainan dadu. Percobaan visualisasinya berhasil kog. Kalo kemarin saya sempat baca ada seorang kritikus yang bilang pada bagian ini banyak sekali kelemahan ya entahlah, ilmu saya gak setinggi itu untuk menemukan titik-titik lemahnya dimana. Karena buat saya ada bagian yang unik. Seumur hidup saya, mulai dari cerita Ayah, sampai saya beberapa kali nonton wayang orang, tokoh Sakuni selalu dibikin ”dingin”, tapi kali ini engga. Sakuni disini agak komikal, tengil, tapi tidak kehilangan aura liciknya. Mas Butet emang jago. Produsernya gak salah pilih pemain. Adegan main dadunya masuk di saya. Tapi harus adil juga, buat orang yang sedikit tau tentang cerita mahabarata mungkin bisa tanggap, tapi yang asing sama sekali ??
Pembuat filmnya bilang bahwa disini Drupadi adalah drupadi sebagai perempuan yang menolak menjadi komoditas. Tapi sampai saya keluar studio, saya masih bingung, bagian mana yang membangun konsep itu.. Diakhir permainan dadu (sesaat setelah Drupadi dipertaruhkan lantas berusaha ditelanjangi Dursasana dan Kurawa), dan adegan melompat jauh ke kurusetra, saya masih juga menimbang, dimana? Saya tidak mau mengeluhkan drupadi yang tiba-tiba jadi banyak omong.. Mungkin ini soal intepretasi saja, apa salahnya kan memperdengarkan jeritan batin Drupadi?
Ending-nya Bharatayudha.. Dengan pilihan yang sama dengan awal. Gambar, puisi, dan tembang jawa. Ada Drupadi yang menepati janjinya untuk keramas dengan darah kurawa, tapi tak pernah cukup untuk menjelaskan proses selanjutnya yang justru sangat agung : Drupadi adalah satu-satunya istri pandawa yang diajak dalam perjalanan menuju khayangan...
Tetap Two thumbs up buat film ini.. Soal transfer pandangan itu biasa. Gak fair kalo epik sesulit mahabarata harus bisa dicover semuanya dalam 45 menit.

Monday, December 22, 2008

Swing Ada Dibawah Pohon

Daun – daun disekitar situ masih basah, masih melekat sisa-sia hujan sore. Penonton mulai beranjak pulang, karena besok masih harus kerja. Aku menyusul dibelakang mereka, sendirian. Memandang panggung yang sudah ditinggal para pemain, hanya tersisa kibord, drum, gitar dan sebuah contra bass.
Ny. Kamarie dan pengiringnya sudah menghilang dibalik dinding kayu, beristirahat. Mereka baru saja menyelesaikan dialog, membagi kecintaan atas musik mereka.
Lullaby for love, adalah mukadimahnya. Nuansa New Orleans sudah mulai terasa disetengah delapan lewat sedikit itu. Suara vokalnya memang benar unik, sangat special buat swing. Dan memang benar kemampuan scat singing-nya itu, langsung memacu perhatianku untuk segera berkonsentrasi pada pertunjukan.. Jitu.
Swing mulai turun dari atas pohon. Aku gak kaget saat mereka mengusung Mistaken dan Fly me to the moon dalam set repertoire mereka. Konfigurasi yang tepat untuk merangsang gairah swinging mereka, dan menebarnya lewat angin malam. Out of tempo dibeberapa bagian, gak masalah karena overall adalah bagian yang disajikan sesuai takaran.
Mungkin seperti yang dibilang si Beben, bahwa langit tak selamanya biru dalam galaksi bernama jazz. Artinya menurut pemahaman dangkalku mengkonklusi (tentang jazz itu sendiri), ada sikap yang saling mengkonversi yang terbentuk ketika jazz dipilih untuk mentransfer berbagai aliran musik lain ke dalam dirinya. Paling tidak, lewat dua nomor standar yang selalu laris manis dalam panggung jazz : My Funny Valentine dan Fragile. Keduanya dimainkan lagi, tentu dengan metode yang berbeda. Dan celakanya saya tidak pernah bosan! Malah ada tambahan ilmu, bahwa progesi luar biasa ciptaan Sting itu ternyata bisa dinikmati dengan sedikit kasar sekalipun dan jadi semakin psychedelic.
Ada satu kesempatan dimana Ny. Kamarie bercerita tentang (aku menyebutnya) idealita dalam bemusik. Aku jadi ngerti kenapa dia memilih keluar dari konsep dewi-dewi (padahal kayanya disitu lebih bisa jadi mesin penghasil rupiah), Mungkin swing atau jazz lebih nyaman buatnya.
Dia tidak canggung memainkan nomor-nomor popish seperti Loving you, Kisah Cintaku (Dalam bentuk bosanova, yang lebih maskulin dibanding peterpan), dan sebuah lagu penghormatan untuk Daniel Sahuleka, Don’t Sleep Away tentu dengan orisinalitasnya.
Dan memang, Langit sah-sah saja kalau tidak berwarna biru. I Will Survive, jelas bukan lagu jazz. Tapi sekali lagi jazz sanggup mengendapnya sebagai sebuah sajian.. Pun Dengan No Woman No Cry yang meski sulit untuk menghilangkan kulit reggae-nya, Tapi juga sudah dibuktikannya, bahwa tak ada yang tak mungkin dalam jazz…
Ditengah, kerinduan untuk mendengarkan orang memainkan swing, malam itu sangat menghibur. Aku menunggu lagi, menunggu seorang pemain contra bass memainkan lagu tua Duke Ellington dengan elegan seperti yang dihidangkan pengiring Ny. Kamarie kemarin.

Monday, December 8, 2008

There Goes Your Captain


Itu adalah pernyataan sindiran yang keluar dari mulut seorang anak kecil. Menunjuk pada seorang laki-laki tua, yang sedang membersihkan lantai dengan puluhan butir keringan disekujur badannya.. “ Abu Raed is a liar,” lanjut Anak kecil lainnya. Sekelompok anak-anak itu seperti menyimpan kekecewaan, memandang orang tua itu dengan sinis. Semua kesal, kecuali seorang anak yang paling pendiam diantara mereka, Murad, tetangga dekat Abu Raed.
Abu Raed, hanyalah seorang tukang bersih-bersih di sebuah kantor maskapai Penerbangan di bandara. Badannya gemuk, rambutnya telah memutih, dan gerakan badannya sudah demikian lambat. Kemana pergi ia selalu menggenggam buku sejarah, mengenakan jas tua kesayangannya lengkap dengan sebuah topi kapten penerbang.
Anak-anak kecil yang bertetangga dengan flat-nya disebuah pemukiman kumuh di pinggiran Amman, semula mengira Abu Raed adalah seorang pilot. Mereka sering meminta Abu Raed untuk menceritakan pengalamannya terbang ke berbagai tempat diseluruh penjuru bumi. Abu Raed menyanggupi, meskipun ia harus mengarang cerita dan setiap hari berbohong. Ia selalu semangat bercerita, dan anak-anak itu selalu menyimak cerita demi cerita dengan penuh antusias. Abu raed tak punya pilihan lain, demi harapan membahagiakan dan sejenak membantu anak-anak itu keluar dari kesulitan hidup mereka, meski dengan cerita-cerita nan semu. Sampai hari itu di bandara.
Abu Raed yang sebatangkara paham atas kekesalan anak-anak itu. Tapi ia tetap menyayangi mereka, terutama pada sosok Murad. Murad tinggal di rumah yang penuh kesedihan. Ayahnya adalah seorang pedagang pakaian di pasar yang frustasi dan selalu pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Perangai kasar sang Ayah, yang kerap menyiksa ibunya secara fisik menghadirkan sebuah trauma dalam diri Murad. Murad gelisah, tak sanggup membebaskan ibunya sekaligus harus bersusah payah memberikan pengertian kepada adiknya Hilal terhadap penderitaan itu, sementara ia sendiri, juga jadi korban.
Abu Raed, berteman seorang perempuan karir berusia 30an yang kaya raya, Nour namanya. Nour juga seorang yang resah. Orang tua, keluarga, teman-temannnya selalu mengganggunya dengan perjodohan-perjodohan dan menekannya dengan pertanyaan yang nyaris sama setiap saat : “Nour, kapan kamu akan menikah?”. Hanya kepada Abu Raed-lah, Nour kerap menumpahkan kegusaran itu. “Nour, saat terbang kita bisa melihat alam dan bumi ada dibawah kita, dan saat kita telentang dibawah atap langit, kita juga bisa melihat alam ada diatas kita. Kamu harus mengikuti pilihanmu sendiri, bukan pilihan orang lain,”ujar Abu Raed di suatu sore. Sebaliknya, dengan Nour juga-lah, Abu Raed menceritakan kesedihannya ditinggal anak laki-laki satu-satunya karena kecelakaan, juga istrinya, “He is gone, and One day Ummu Raed got sick, and then … She’s died.. When Ummu Raed died, everything’s died,” ungkap Abu Raed lirih dan pilu.
Hal spesial yang sering dilakukan Abu Raed adalah membeli bungkusan berisi wafer pada seorang anak kecil dan membagikannya kepada teman-teman kerjanya. Anak itu setiap pagi selalu menunggu Abu raed di tempat orang tua itu menunggu bis. Kasihan anak itu, ia tak boleh bersekolah oleh orangtuanya kalau wafer-wafer itu tak laku terjual. Demi membantu sang pedagang kecil agar bisa bersekolah, Abu raed selalu memborong habis dagangan anak itu, meski ia sendiri tak doyan wafer.
Abu Raed, sangat sedih menyaksikan penderitaan Murad dan Ibunya yang semakin hari semakin menjadi. Suatu kali ia pernah melapor ke polisi, tapi tindakan itu tak berhasil. “Ayah bisa membunuh ummi, ini akan sangat serius” ujar Murad pelan saat Abu Raed mengobati luka bakar di tangan kiri Murad karena tindakan Ayahnya. Ini semakin memprihatinkan Abu Raed, ia ingin sekali menolong Murad, tapi ia tak tau apa yang harus dilakukan. Pernah disebuah tengah malam Abu Raed, menemukan Ayah Murad tergeletak di pinggir jalan karena mabuk berat. Saat itu ia sempat berpikir, bahwa itu adalah waktu yang tepat untuk menghabisinya demi Murad. Tapi Abu Raed, batal mengeksekusinya, ia tak tega, batu besar itu dibuangnya.
Abu Raed hanya punya pilihan terakhir, Nour. Ia menemui Nour, dan meminta Nour membantu melarikan Murad dan Ibunya. Nour setuju. Suatu malam, mereka berdua mendatangi rumah Murad, saat sang Ayah belum kembali. Awalnya Ibu Murad menolak, tapi demi menjauhkan Murad dan Hilal dari penderitaan itu, akhirnya ia bersedia. Mereka pun merancang pelarian malam itu juga. Murad akhirnya berhasil kabur dari rumah, bersama ibu dan adiknya, bersama topi pilot pemberian Abu raed.
Setelah berhasil mengevakuasi Murad dan ibunya, Abu Raed memilih menunggu didalam rumah Murad yang telah kosong. Ia Cuma punya satu tujuan : bertemu dengan ayah Murad, lalu mengajaknya berbicara mengenai masalah di rumah mereka itu, sambil berharap itu bisa menyadarkan sang ayah. Tapi malang bagi Abu Raed, sang ayah yang mabuk memang sedemikian gelapnya. Bukan dialog dengan akal sehat yang ada, tapi berakhir pada sebuah kebrutalan : Abu Raed tewas terbunuh..
Bagian akhir adalah adegan seorang kapten penerbang yang sedang berdiri kaku. ia menggenggam sebuah topi penerbang yang sudah lapuk. Ia menghela nafas, dan berusaha kuat menguasai dirinya. Matanya seperti menyimpan sebuah perjalanan emosional, dan topi tua itu seperti sangat berarti baginya. Kapten penerbang itu adalah Murad dewasa. Ia mengingatnya. Ia mengingat Abu Raed.
Itu adalah ingatan saya atas Film, Captain Abu Raed judulnya. Itu Film pertama yang saya tonton di JIFfest tahun ini. Jiffest hanya 5 hari, dan sayang saya tak punya banyak waktu untuk menikmatinya. Bentrok dengan lebaran haji, bos… Saya Cuma punya kesempatan 4 film.. Film pertama cukup impresif, semoga yang lain juga. Tak percuma saya bersusah payah merayap melewati jalur lambat Sudirman yang macet total malam itu, Captain Abu Raed telah menceritakan penerbangan terbaiknya..

Thursday, December 4, 2008

Magnet Sang Komponis

Tidak banyak yang tahu kalau ternyata ada suatu kekuatan magnetis dari musik Ismail Marzuki. Saya salah satunya, paling tidak sampai disuatu malam saat saya menyaksikan sebuah string ensamble menggelar tribute memainkan lagu-lagu ‘sang komponis’.
Musik yang terpinggirkan oleh zaman. Saya berani bertaruh pasti sedikit dari anak-anak muda zaman ini yang memasukkan musik Ismail ke dalam inspirasi mereka, termasuk saya. Tapi kemudian saya merasa jadi orang yang bahagia, karena masih ada sekelompok anak muda yang mau menyelamatkan musik Ismail, dengan cara dan kebisaan mereka.
Siapa yang kira Melati Di tapal Batas dan Sabda Alam, punya struktur melodi yang kuat? Nuansanya verbal, dan saya baru sadar. White Shoes and The Couples Company pernah meng-cover version Sabda Alam dalam sebuah kompilasi Soundtrack Film, dan itu disukai banyak orang. Semua tahu itu lagu lawas, tapi apa banyak yang tahu itu musik Ismail? Aryati, Juwita Malam, Kopral Jono akan selalu melekat dengan nilai keabadian. Saya punya keyakinan kuat untuk itu sekarang. Slank pernah me-remake nomor ini ke dalam dua versi, Blues dan Punk. Keduanya asik. Romeo juga pernah berbuat serupa, tentu dengan rasa mereka.
Musik Ismail akan semakin matang dalam sejarah. Gugur Bunga dan Halo-Halo Bandung selamanya akan menjadi anthem dalam waktu tertentu kapan mereka akan dinyanyikan. Dan saya, tidak lagi hanya akan mengingat Selendang Sutra, Sepasang Mata Bola, Rayuan Pulau Kelapa, dan Indonesia Pusaka tak hanya sebagai deretan lagu-lagu perjuangan yang harus dihapal saat SD, tapi merangkum dalam jejak yang lain, seperti jejak Hendrikx yang meleburkan diri ke dalam raungan gitarnya. Musik Ismail sama sekali tidak bisa diduga, yang mengalir dan bisa diadaptasi ke berbagai musik lain. Dan itu adalah jawaban pertanyaan usang saya : kenapa Jamaica café pernah “permak” Indonesia Pusaka dengan warna ‘tak terduga’ ala Acapella mereka. Jamaica Café brilian, dan bidikan itu semakin terarah karena komposisi dasar musik ismail yang memang canggih.
Warna lain musik Ismail adalah goresan yang spesial pada musik keroncong yang ia beri perhatian. Saya jadi tertarik dengan Bandung Selatan di Waktu Malam dan Selamat Datang Pahlawan Muda yang orisinil. Katanya itu nomor keroncong standar. Berarti, Keroncong ternyata macho! Hidup Musik Indonesia!
Saya, jujur, baru tahu tentang lagu Jangan Ditanya Kemana Aku Pergi, Payung Fantasi dan Sersan Mayorku. Tapi saya ingin mendengar musik itu lagi, dan saya semakin merasa bangga dengan musik Ismail sebagai musik Indonesia.
Sekarang tidak cuma Lennon yang jenius, Morrison yang sakral, Sting yang tajam, atau Clapton yang melodic. Saya punya tambahan nama, tak perlu jauh-jauh. Cukup dari Kampung kwitang saja : Ismail Marzuki….
Saya bermimpi melihat dia di MTV

Tuesday, December 2, 2008

Kejatuhan Albert Camus


Ada yang menyebutkan La Chute (dalam Bahasa Indonesia artinya kurang lebih “kejatuhan”) adalah novel terakhir Camus yang sempat ia selesaikan. Tapi ada sumber lain menyebutkan kalau kumpulan cerpen L'exil et le royaume (Kerajaan dan Pengasingan) yang ditulis tahun 1957 (setahun setelah La Chute rampung) adalah penutup. Atau ada yang lain lagi yang bilang bukan keduanya, melainkan Le premier homme yang terakhir, meskipun tidak pernah diselesaikan.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada dua novel lain diatas, buat saya La Chute adalah simbol dari keseimbangan baru dalam pencapaian estetika Camus. Mendahului ledakan Nouveau-Roman yang enggan terstruktur, teknik yang sangat tidak lazim sekaligus keluar dari pakem yang konvensional. La Chute begitu penting bagi pembaca Camus karena setelahnya pasti mereka tidak akan berhenti menyesali riwayat kepengarangan Camus yang terputus tiba-tiba karena sebuah kematian tragis dalam kecelakaan mobil.
La Chute mengangkat kisah seorang bekas pengacara terkenal di Paris yang meninggalkan karir suksesnya dan menjadi seorang ”hakim pengaku” di Amsterdam. Suatu malam ia berjumpa dengan seseorang yang kemudian selama beberapa waktu mendengar dan menyimak ”pengakuan”-nya tentang segala unsur kehidupan. Camus hanya ingin membicarakan tentang hakekat keberadaan manusia lewat bentuk monolog yang menggiring pembaca untuk menyimak perkataan si tokoh utama yang ditujukan kepada lawan bicaranya. ”Di puncak kelelahan, sedetik saya merasa bahwa akhirnya saya memahami rahasia dari hakekat manusia dan dunia. Tapi kelelahan itu lenyap pada pagi harinya dan bersamaan dengannya lenyaplah pula rahasia itu. Saya harus kembali memburunya. Maka saya berlari, dalam keadaan sangat girang, tanpa pernah puas, tanpa saya tahu dimana akan berhenti”.
Camus mengajak pembaca mempertanyakan hal-hal yang sangat melekat dalam hidup manusia, sedemikian melekatnya hingga seringkali luput dari pandangan manusia itu sendiri : kemanusiaan, keadilan, persahabatan, cinta. ”Kejatuhan” si tokoh utama dalam berbagai segi kehidupan sosial, moral, psikologi merujuk pada kejatuhan Adam dari Surga. Istilah ”Hakim Pengaku” atau juge-penitent sangat jarang. Istilah ini adalah parodi dari istilah hukum pidana dan agama (Maaf, Camus dikenal banyak orang sebagai seorang atheis). Juge berarti 'hakim', penitent dalam kosakata Prancis dikiaskan sebagai 'pengakuan dosa'. Camus membuat analog Hakim adalah orang yang bertugas membuat orang mengaku, namun si tokoh utama melihat setiap manusia adalah hakim, bagi dirinya sendiri maupun orang lain, sekaligus terdakwa yang harus mengakui segala perbuatannya.
Camus adalah absurdis itu sendiri. Ia menyapa ide bunuh diri lewat percakapan yang liar. Saya seolah-olah sudah dapat mendengarnya : ”Dia bunuh diri karena tidak kuat menanggung... ” Ah! Sahabat, betapa manusia amat miskin imajinasi! Mereka selalu mengira orang bunuh diri karna satu alasan, padahal mungkin juga mereka bunuh diri karena dua alasan atau lebih. Jika demikian, buat apa sukarela mati, berkorban demi ide bahwa manusia bersedia menyerahkan nyawa? Anda mati, mereka memanfaatkan kematian anda untuk menyematkan pada anda motif-motif idiot dan vulgar. Para martir, sahabat, harus memilih antara dilupakan, ditertawakan, dimanfaatkan. Sedangkan berharap utnuk dipahami, tidak akan pernah.
Konon La Chute adalah adalah kembalinya semangat Camus. Novel yang tadinya hanya disiapkan sebagai cerita pendek ini ditulis Camus setelah perpecahannya dengan serangkai eksistensialisnya, Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir. Sedikit cerita, sebelumnya Camus pernah menyerang simpati Sartre pada gerakan komunis Sovyet dalam L’homme revolte. Hal ini memicu keretakan pertemanan mereka, yang berujung pada tersisih dan dikucilkannya Camus oleh kubu Sartre-Beauvoir yang menguasai mayoritas cendekiawan Prancis saat itu. Karya ini dianggap mempunyai nuansa biografis karena dianggap (pula) terdapat pararelisme antara La Chute dengan Les Mots, karya otobiografis Sartre.
La Chute memang benar tidak lazim. Saya termasuk orang yang ”belum terlatih” dengan kebiasaan Camus, yang terseret dalam kesulitan dalam memahami isinya. Terutama pada bagian awal, karena Camus sukses menyimpan ”kunci” memahami novel ini di bagian akhir. Novel ini kental dengan spontanitas. Meskipun hanya sedikit sumber ide dan konsepsi yang saya ketahui, karya ini bernuansa sangat dalam dan personal dari karya Camus yang pernah saya sentuh.

Monday, December 1, 2008

Teror


Teror belum usai. Kira-kira ratusan orang disandera, 125 orang tewas, lebih dari 300 orang luka parah. Tragedi Mumbai menumpahkan duka, berdesir lengkap dengan bau amis darah. Rentetan senjata api, ledakan granat tangan, kebakaran, melayangkan nyawa-nyawa polos tanpa tahu kenapa.
”Mereka membunuh banyak orang, ” tutur seorang pria tua. Ia tengah membeli tiket di terminal victoria rabu malam itu, ditemani ketujuh anggota keluarganya. Tapi,.. rentetan suara tembakan yang membabi buta tiba-tiba menyerangnya. Ia selamat, tapi anak perempuan dan cucunya terluka.
Ini pertanyaan yang tak berjawab. Alasan apa yang ada dikepala sang pelaku aksi teror? Belum ada yang melansir secara akurat, siapa pihak yang bertanggungjawab atas tragedi itu. Tapi Rabu malam itu buat saya tetap kembali merefleksikan sikap, menarik alasan.
Saya jadi ingat seorang Guy Fawkes, atau sosok lain dalam diri V Vor Vendetta. Suatu hari di Bulan November diawal 1600an, Pemerintah Inggris mencatat sebuah hari pengkhianatan yang dilakukan Guy, pejuang itu melakukan aksi peledakan gedung parlemen sebagai bentuk perlawanan. Perlawanan yang ditulis dalam sejarah Britania : Guy mati di tiang gantungan. Setelah 4 Abad, dimana tragedi Guy Fawkes semakin dilupakan pemerintah dan rakyat, V vor Vendetta muncul untuk mengingatkan tanggal mengenaskan itu. Ambisi Guy menitis pada V, yaitu ingin mengubah tatanan birokrasi Inggris, menyebarkan pesan kebencian pada pemerintah, menebar ancaman dan teror, serta peledakan gedung-gedung sebagai simbol kekuatan rakyat. Aksi V berlanjut pada pembunuhan orang-orang pemerintah yang dianggapnya semena-mena terhadap rakyat. Rezim itu tidak tinggal diam, mereka menugaskan seorang perwira untuk menangkap V, pria misterius yang bertopeng Guy Fawkes. Namun V selalu selamat berkat perlindungan warga kota yang mendukung aksinya.
V vor Vendietta, ada disebuah film yang penuh teror. Film itu merefeksikan ulah para teroris di bumi akhir-akhir ini dan berakhir, (lagi-lagi) ke sebuah pertanyaan : Apa selalu ada pandangan lain dalam kacamata seorang pelaku aksi teror?
Itu pertanyaan mustahil. Tapi Dunia butuh orang (meski dengan wujud fiksi) seperti tokoh Spurlock dalam When In The World is Osama Bin Laden. Hal pertama yang menggelitik adalah harapan Spurlock yang menginginkan dunia tanpa teror. Sangat simpel, Spurlock bercita-cita akan dunia yang aman karena saat itu ia tahu kalau istrinya sedang mengandung, dan ia ingin anaknya kelak lahir, tumbuh, dan besar di dunia yang aman, tanpa kekerasan, tanpa perang, tanpa teror. Hal yang menggelitik kemudian adalah, ide Spurlock untuk menyisir jejak ”Most Dangerous Man” di bumi : Osama Bin Laden... Spurlock berkeliling dunia, menjumpai berbagai agama, suku, budaya, bahasa, adat yang kemudian menyajikan pengalaman unik baginya, sekaligus membentuk simpul yang nyata : semua perbedaan memiliki harapan yang sama akan kedamaian...
Para pelaku aksi teror di Mumbai semakin menciptakan keanehan. Mereka adalah entitas, dan korban mereka juga entitas. Guy fawkes adalah entitas, demikian pula dengan V for Vendetta. Osama Bin laden adalah entitas, juga Spurlock. Tapi entitas – entitas itu tidak akan pernah bertemu, untuk duduk dalam satu meja, lantas bercakap-cakap penuh respek dengan segelas kopi hangat di atas meja tadi. Ternyata memang ada ya yang tidak butuh kesimpulan?? Subhanaallah...

Tuesday, November 25, 2008

Jangan Halangi Lastri


Saya kuatir, andai Saya benar-benar gagal ”bertemu” dengan Lastri dalam sebuah setting 1965.. Rencana penciptaan Lastri masih mengendap penuh ketidakpastian dalam berita. Bisa terus, bisa gagal. Tapi saya doakan semoga yang pertama.
Dari layar monitor Saya menangkap kemuraman seorang perempuan. Ia gelisah, dalam debutnya sebagai seorang Produser dengan pilihan yang jauh dari zaman hari ini (dengan memilih Lastri). Tidak Cuma kantongnya yang rugi, pasti juga batinnya sangat. Ia seperti seni yang dilecehkan.
Saya yakin si perempuan tidak sedang menabur propaganda, atau dalam arti yang paling tragis : Komunisme. Perempuan itu hanya akan menyajikan menu drama romantis dalam sosok Lastri. Hanya Cinta lintas ideologi yang kebetulan saja. Lastri adalah seorang aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang condong ke Partai Nasional Indonesia dan Rangga (tokoh kekasih Lastri), adalah anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia. Di sinopsis Saya baca, sejak peristiwa G30S, Rangga lenyap tak jelas rimbanya demi menyelamatkan diri. Lastri yang kalut bertemu dengan seorang alumnus akademi militer. Lastri dipersunting. Tapi beberapa tahun kemudian, setelah situasi politik relatif tenang, Rangga muncul. Menciptakan komplikasi pada sisi batin Lastri, hal yang sebenarnya ingin ditampilkan pembuatnya. Tidak lebih.
”Film ini berisi tentang power of love. Kami tidak mebuat film dokumenter, bahkan based on true story pun tidak,” jerit perempuan itu. Ia ditemani Erros Djarot, sang sutradara yang pasti juga terpukul dengan dahsyatnya. Erros boleh heran, karena ia jadi korban prasangka Front Pembela Islam dan Hizbullah Bulan Bintang. Dua brigade itu yang mencekal Lastri di sebuah desa di Solo. Alasan si komandan brigade, Lastri punya aroma ideologi komunisme, dan ”Kami menolak film Partai Komunis Indonesia”. Kasihan Erros, ia dikeroyok di tanah orang. Brigade yang (selalu) siap konfrontasi, ingin bubarkan paksa jika Erros meneruskan syuting. Sejumlah warga dilokasi syuting yang semula tidak mempersoalkan dan ingin terlibat, tiba-tiba ikut-ikutan menolak film itu.
Erros tidak punya tujuan apa-apa di desa itu selain Lastri sebagai sebuah karya. Ia butuh suasana 60an. Dan baginya desa itu cukup mewakili. Saya yakin awalnya Erros pasti antusias, demikian juga si perempuan dengan soul yang ia sudah temukan. Tapi mimpi menciptakan pilihan yang langka itu harus berubah jadi runyam karna pemboikotan tadi. Yang saya tahu, semula Erros mau nekad melanjutkan syuting, tapi karena semakin hari ancaman semakin mengerikan dan selalu dipingpong tanpa jaminan keamanan, erros memilih mundur.
Ada hal yang belakangan saya tahu, dan itu sangat saya sesalkan. Brigade itu memaksa Erros pergi tanpa berdialog dan membaca skenario Lastri secara utuh. Yang lebih suram Lastri, polisi setempat seolah-olah membenarkan langkah brigade-brigade itu. Saya Cuma kuatir, ”pembenaran” pak polisi dianggap sebagai angin yang mendukung tindakan represif brigade itu selanjutnya di wilayah-wilayah yang lain.
Saya tertarik dengan pernyataan ini : melarang produksi sebuah film adalah tindakan defensif yang tidak sehat. Karya dilawan dengan karya. Kompetisi berlangsung tanpa represi dari siapapun. Potensi yang dimiliki suatu kelompok harus dikerahkan untuk menghasilkan karya (Yang selaras dengan ideologinya) daripada melarang karya orang lain yang tidak sesuai dengan ideologi mereka.
Apalagi kalau mereka menyimak kesimpulan dari cerita Lastri lewat pengakuan seorang ideolog CGMI di bagian akhir : ”Komunisme adalah filsafat yang kering.”
Ah, terlalu banyak hal-hal yang sulit saya mengerti akhir-akhir ini.

Monday, November 24, 2008

Debu Kosmik


Jakarta melenggang sendirian, tanpa deretan pedagang buku bekas di sepanjang Kwitang Raya.. Aku Berduka untuk itu. Memang konglomerasi itu tidak mati, hanya berpindah ruang. Tapi tetap saja, lengang di sore itu membekas..
Aku memang belum terbiasa, apalagi siang itu disebuah kamar di Jogjakarta. ”Demi ketertiban dan menghidupkan kembali fungsi taman kota, semuanya harus dipindahkan...” Dan siang itu kenapa jadi semakin gerah?!
Aku berhenti, ku parkir motorku didepan sebuah bank… Ku pandangi trotoar yang hampa. Tanpa jejak. Ku putar ingatanku kencang-kencang, demi menggarami sensasi sebuah buku yang pertama kali kutemukan disana 8 tahun lalu, Letzte briefe au Stalingrad, sebuah kumpulan surat-surat ribuan tentara Nazi Jerman yang sedang menunggu ajal dalam hidup yang penuh tanda tanya. Ada senyum pahit, itu buku bagus yang sudah hilang entah kemana dan sekarang tempat asal muasalnya juga raib.
Didepan lampu merah, aku mencoba sudut lain. Aku seperti orang gila, yang semakin berkabung kehilangan. Itu tidak mengembalikan apa-apa.
Seminggu kemudian, ku coba singgah ke ruang baru bagi yang terbuang dari kwitang di sebuah sudut tanah abang. Alhamdulilah ramai, tapi entahlah, aku mengecap aroma yang lain.. Banyak yang tidak nampak.. Sekat-sekat baru disana menghilangkan daya magis yang sudah – sudah.
Sudah. Semua sudah berpindah. Yang mutlak sekarang adalah penyesuaianku. Menghirup kembali debu.. yang berbeda

Tuesday, September 16, 2008

Inherent

Berhari – hari lewat, dan aku makin terkunci di barak ini. Orang – orang dan rutinitas yang sama. Semuanya campur aduk, hingga bermuara di suatu subuh, aku jenuh...
Aku seperti seorang penulis pesan, yang kemudian ku kirimkan dalam botol.

Just a cast away, an island lost at sea.
Another lonely day and no none here, but me...
More loneliness when anyone could bear
Rescue me before i fall into despair

Memang tidak seperti keresahan Robinson Crusoe ditengah tempat asing yang mati-matian mencari jalan keluar dari hari – hari sepi dan ketiadaan. Tapi kadang tempat ini seperti pulau terpencil ditengah laut itu, apalagi tanpa wacana, tanpa blues, tanpa Efek Rumah kaca, The Doors, Queen, Sting atau Maroon 5. Meski setiap ada kosong, dengan gitar pinjaman aku sering melolong blingsatan berteriak – teriak bosan.. Tapi tetap saja, tak ada bantuan. Dan aku benar – benar seperti orang gila.

I’ll send a S.O.S to the world
I hope that someone gets my ... Message In A Bottle
Pengen rasanya lari sejauh-jauhnya dari tempat ini...

A year has passed since i wrote my note
I Should’ve known this right from the start
Only hope can keep me together
Love can mend your life, but love can break your heart

Ya...ya... hari – hari yang lewat ini seperti tahun – tahun yang paling ditunggu seorang terpidana. Si penulis lirik sempat membuat catatan atas dirinya. Tapi aku tidak. Bagaimana sempat, bung? Aku memilih tidur di sabtu dan minggu. Tanpa antisipasi, Apa yang pernah ku perjuangkan bahu membahu sekuat tenaga, akhirnya jebol juga. Dan aku masih tak paham dengan konsep “hak” si penulis. Hak yang mana?? Hak yang diminta ayahku untuk tidak aku cengeng mengemisnya?? Hak-hak yang kian tak jelas, berseliweran menggagas suara-suara tak sedap?? Aneh!! Kemudian si penulis menarik selembar hak ideal tentang harapan dalam ruang hampa. Adem sih dengernya, tapi tidak disini. Dibarak ini harapan itu bisa jadi akan sangat mengada-ada. Aku tidak pesimis, tapi aku terlalu kecil dan rapuh untuk mengusung harapan itu tinggi – tinggi. Kita tak ingin patah hati maka kita tidak boleh jatuh cinta kan??

I’ll send a S.O.S to the world
I hope that someone gets my ... Message In A Bottle
Aku tidak ingin melihat matahari dari sini...

Wake up this morning I dont believe what i saw
A hundred billion bottle washed up on the shore
Seems I’m not alone in being alone
A Billion bottle cast away, looking for a whole...

Konyol,...... Apakah kalau aku terbangun pagi nanti, akan ku ketahui banyak pula orang-orang yang sama-sama jenuh dan bosan?? Hmmm... ketidakpercayaan si penulis tidak mampir padaku. Stop!! Tidak ada kesamaan. Dan juta-juta botol itu tidak akan sempat ku pecahkan, dan kertas-kertas berisi pesan didalamnya urung ku bakar hidup-hidup.

I’ll send a S.O.S to the world
I hope that someone gets my ... Message In A Bottle

Dan pesan yang nanti terkirim pada kalian adalah “Tolong selamatkan orang bodoh ini!!”

Sending out ..... Sending Out.....

*) Cetak Miring adalah Lirik lagu The Police – Message In a Bottle yang sering kumainkan dalam kosong tadi

Wednesday, September 10, 2008

In Memoriam : Danang Widjojo (1982-2008)


Kita tidak akan saling mengenal keinginan masing – masing andai Kara’s Flowers benar-benar tumbuh tanpa berganti nama. Beberapa tahun lalu dalam beragam kesempatan bermain musik, ada yang mempertemukan kita.
Aku sempat sulit mendefinisikan kehendakmu. Aku pernah melihatmu sangat pop. Atau melihatnya sesekali bermain reggae kulit putih, ska, atau sedikit rock N Roll.. Dan kau meracau entah kemana, tak peduli apapun. Kau pun pernah bermain-main dengan musik core, juga bersama sahabat-sahabat kita dalam suatu Description Failed.. Semuanya butuh semangat ya kawan?? Dan kau menceburkan diri kedalamnya, sama seperti penjemput kesenangan waktu luangku..
Musik terlalu dalam, untuk ku gerayangi akar-akarnya. Dan kau pun menarikku kedalam palung di tanah itu, termasuk dalam sbuah print out lirik unduhan. Dalam berbagai kesempatan tadi, akhirnya kita pernah seide juga. Pada sebuah musik yang tak terdefinisi. Entah itu Alternative, Rock, Swing, Funk atau apapun (yang setelah menjadi satu, perrnah sangat ingin aku mengambil tones untuknya).
Ku kenang barisan lirik masa muda itu untukmu.
“Paralyzed by the sight of you” , Absurd.....
Dalam sebuah pandangan (entah milik siapa), semua berjajar memandang ke segala arah, tanpa kita tahu apa yang kita lihat.
“You do not know how much this hurt me”, Absurd...
Kadang kita sering terlalu cengeng-kah?? Tanpa tau betapa bahagianya bisa merasakan kedukaan..
“Like a little girl cries, in a face of a monster who lives in her dreams”, Absurd....
Tidak nyata. Tidak berbentuk.. Mengais-ngais waktu senggang, bukannya belajar malah bergosip.. Tanpa tau apa yang kita katakan (dalam sumpah serapah)
“I Know I dont know you.. But i want you so bad”, Absurd....
Kita memang sentimentil.. terutama dalam rasa yang platonik.. kadang ingin dimunafikkan.. tapi selalu dirindu...
Sekarang kemana DVD Jamiroquai – Live in Venice yang kubelikan untukmu?? Mungkin hanya tertumpuk pada kardus di sudut rumah dimana aku tidak akan kembali lagi kesana..
Aku ingin bertanya, harus secepat ini-kah?? Sebelum kita sama-sama sempat berbagi cerita kebanggaan dan beranjak tua.. Aku ngeri menjelaskan keadaan terakhir kita bertemu... Saat itu aku merasa Tuhan sedang mengedip padaku. Dengan sebuah harapan, semoga kau bertahan.
Dan jika kemudian Tuhan telah mengambilmu dari aku dan teman-teman.. Mungkin inilah hal yang tidak selesai itu.. Kau telah menutup sebuah rahasia terpanjang.. Mendahului ku tanpa sepatah kata. Tanpa bahasa yang bisa kami mengerti.
Kemarin ku kirim Yasin untukmu.. hanya itu yang mungkin bisa. Dan diperistirahatan terakhirmu, berbaringlah dengan tenang.. Meski pasti dingin didalam sana....
“Aint no Sunshine, When it was gone.....”
Selamat jalan.....

Friday, July 11, 2008

Strange Dayz

Pada suatu rentang detik di sebuah negeri kartun bernama Indonesia, si Kampleng memahat senyum pada deretan berita. Perutnya yang buncit kembang kempis. Tangan kurusnya gemetar menahan ujung lembar surat kabar, matanya melotot pada tulisan, senyumnya perlahan mengembang, diikuti seringai deret giginya yang berantakan. Ada sebuah berita yang menyita perhatiannya "33 Partai Kartun siap ikut Pemilihan Umum 2009". Kampleng yang visioner itu, lantas menggumam ide bisnis, "Uhuy, sebentar lagi waktunya kampanye Partai-Partai Kartun, waktunya uang datang!!"
Sebelum harga BBM di negeri kartun itu naik untuk kesekian kalinya, Si Kampleng adalah seorang buruh di sebuah pabrik kompor minyak. Tapi setelah musibah nasional itu terjadi, Si kampleng jadi kehilangan karirnya, ia diberhentikan. Perusahaan tempatnya bekerja hampir bangkrut. Alasan yang diberikan oleh perusahaan adalah karena meningkatnya ongkos produksi yang tinggi karena meningkatnya ongkos bahan bakar pabrik dan menurunnya demand terhadap produksi kompor minyak (masyarakat negeri kartun mulai meninggalkan kompor minyak karena harga eceran minyak tanah yang menggila), memaksa perusahaan untuk merasionalisasi pegawai dengan pemutusan hubungan kerja itu tadi.
Sebulan pasca pemecatan, Si Kampleng masih belum punya pekerjaan baru. Ia tidak punya penghasilan lagi. Bantuan Langsung Tunai, ia gak dapet karena buruknya pelaksanaan.Mau usaha, gak ada modal. Kredit Usaha Rakyat yang dipersiapkan pemerintah negeri kartun gak semudah yang dikomunikasikan di tivi. Padahal, buat makan sehari - hari Si Kampleng juga butuh dana, sementara uang tabungannya menipis. Si Kampleng butuh uang.
Makanya begitu tau Komisi Pemilihan Umum negeri kartun itu mengundi nomor urut partai kartun peserta pemilu dan menentukan tanggal start kampanye partai, Si Kampleng langsung pasang kuda - kuda Troya. "Musim kampanye, partai-partai kartun pasti butuh massa bayaran biar kampanyenya rame. Gak perlu repot, cuma dateng ke panitia. Dapet Kaos + Ikat kepala. Ikut pawai, sambil teriak-teriak membela partai. Mendengarkan pidato. tepuk tangan. teriak-teriak lagi. kalo ada artis dangdut, ikut joged. lalu ambil honor kampanye dan nasi bungkus, trus kaos bisa dibawa pulang!!" Pikirnya singkat tapi jitu. "Anggap saja satu partai membayar 25 ribu perak + makan siang per hari. Kalau ikut kampanye partai saja, saya bisa dapet sekian. Kalau 5 partai itu, berkampanye 10 kali saya jadi bisa dapet sekian," tambahnya sambil mengkalkulasi. "Lumayan!!"
Dengan cepat Si Kampleng segera menginventarisir nama-nama partai kartun yang (ia pikir) punya dana besar. Sederhana saja, "Partai berdana besar, pasti ngasih bayaran yang besar dan "fasilitas" yang oke punya", pikirnya. Dengan cepat pula ia menyimpan nama, lantas susun strategi.
"Hari pertama ikut kampanye Partai Demokartun Indonesia. Hari Kedua ikut kampanye Partai Kartun Indonesia. Hari Ketiga ikut kampanye Partai Kartun Selamanya. Hari keempat ikut kampanye Partai Kartun Banget. Hari kelima ikut kampanye Partai Golongan Kartun. Hari kelima Partai Kartun Persatuan. Demikian dan seterusnya dan seterusnya.

Sejak hari itu si Kampleng memutuskan untuk melacur. Melacur yang bukan tanpa alasan. "untuk apa menjadi konstituen sejati jikalau harapan tidak pernah didengar, dan janji dilupakan?". Beberapa tahun silam Si Kampleng pernah menaruh kepercayaan pada sebuah parti politik. Dengan sepenuh hati mencoblos sang wakil. Partainya dapet suara. Dan sang wakilpun naik ke parlemen dan duduk menjadi anggota dewan yang terhormat.
Tapi kemudian, keadaan jadi semakin tak dikenalinya. Sang wakil berubah jadi sosok yang asing. Harapan, janji menguap entah kemana, bersama angin disela-sela ventilasi rumah rakyat.
Si Kampleng pernah jengah, dalam panas yang terabaikan ia pernah ditipu mentah-mentah. Memang tidak ada komitmen sampai mati dan keingkaran sang wakil kian menjadi.
Si Kampleng mungkin muak.. dengan muak yang tk berkekuatan apa-apa.. Ia hanya akar rumput yang bisa diracun herbisida sewaktu-waktu.
Jika hari ini dan besok, Si Kampleng telah mamasung pikirannya, ia tak bisa disalahkan. Bukan karna tidak ingin jadi rakyat kartun yang taak. Atau abai terhadap politiknya. Si Kampleng hanya ingin mesra dengan Golput, takdirnya.

Tuesday, July 8, 2008

Morrison Bagi The Doors

3 Juli itu benar-benar menjadi sebuah pintu masa depan, bagi John Densmore, Robbie Krieger, atau Ray Manzarek. Mereka bertiga menggantung malam di studio, menunggu kepulangan Morrison. Selang 3 bulan setelah sang vokalis meninggalkan L.A, ia tidak pernah kembali seutuhnya. Hanya nama, hanya kehilangan besar, hanya gejolak nafas panjang pecinta classic rock.

Jim Morrison pamit, mengucapkan selamat tinggal pada para personel The Doors April 1971. Ia ingin pindah ke Paris, melarikan diri dari gejolak ketenaran, sambil menulis puisi. Tak ada yang bisa membiarkan, karena mereka setuju bahwa keberangkatan Jim akan berguna bagi dirinya, “Jim merusak dirinya sendiri, mengkonsumsi banyak alcohol, kelelahan. Kami terancam kehilangan dirinya.” Densmore adalah anggota The Doors terakhir yang berbicara dengan Morrison. “Jim menelpon saya dari Paris, menanyakan perkembangan L.A Woman. Saya ingin tahu apakah Jim mabuk, dan dia memang mabuk”. Morrison ditemukan tewas 3 juli itu, gagal jantung.

Kematian Morrison adalah tragedi band besar itu. Seorang produser musik pernah mengungkapkan, “The Doors adalah satu”, dan kematian Morrison memecahkan ‘satu’ itu, lantas mengungkap keretakan dalam hubungan antar personil The Doors dikemudian hari (sesuatu yang tak pernah terungkap dalam musik agung mereka). “Tanpa Jim, kami semua lari kearah yang berbeda,” tutur Manzarek lirih, “Jim mengharuskan kami bertiga terjun ke dalam liriknya, dan menciptakan musik yang mengitarinya”. Densmore juga mengenang emosinya yang tumpah saat membangun pondasi musik The Doors “Saya tidak tahu kenapa saya melakukan itu. Jim terbawa arus. Dia menyerahkan dirinya kepada musik dan merasuki kami”. Manzarek dan Densmore benar, tanpa Morrison The Doors kehilangan ‘satu’ dari perpaduan empat orang, empat ego yang saling mengimbangi. “Dinamika itu menjadi kacau, karena orang keempat tak ada,” ujar Krieger.

Pasca kematian itu visi musik sisa personel The Doors bubar. Densmore, Manzarek dan Krieger mencoba mencari vokalis baru, tapi gagal karena Morrison terlalu sakral. Tapi untunglah mereka sepakat (pasca kematian Morrison) dalam menjaga warisan musik, membawa presentasi sejarah dan rekaman asli The Doors ke generasi berikutnya. Katalog The Doors terus dirilis ulang, sampai ke soundtrack film pada tahun-tahun sesudahnya. The Doors menjadi daya tarik, menjual 1,5 juta keeping setiap tahunnya, mengalami regenerasi sebagai salah satu keajaiban terbesar dalam dunia musik rock.

Ada sebuah detail yang unik. Bahwa musik The Doors ternyata tidak pernah muncul dalam iklan televisi (paling tidak sampai hari ini). Konon Morrison pernah dengan berang ingin memveto sebuah iklan yang hendak menggunakan Light My Fire pada 1967. Memang penuh tanda Tanya, kenapa Morrison bersikeras menolak musik the Doors dalam iklan tivi. Dan beberapa tahun kemarin, Densmore pernah menolak tawaran dari Apple dan Cadillac, “Beberapa orang berkata seandainya Jim masih hidup, sikapnya akan berubah karena zaman telah berganti. Tapi saya sangat menghormati gagasan Jim!”. Kendati untuk itu Densmore harus berbeda paham dengan Manzarek dan Krieger.

Perselisihan Manzarek, Krieger dan Densmore tak hanya itu. Tahun 2003 lalu, Densmore pernah menuntut Manzarek dan Krieger (Yang melakukan tur sebagai The Doors of 21st century bersama vokalis Ian Astbury) dengan tuduhan melanggar kontrak dan menyalahgunakan hak milik. 2 tahun berselang, Densmore memenangkan gugatan, termasuk keputusan larangan (bagi para personel The Doors yang tersisa) untuk menggunakan nama The Doors dalam bentuk apapun.

Namun konflik itu belum juga reda, Manzarek dan Krieger naik banding. Memperdalam esensi perselisihan antara rekan-rekan Morrison. Alasannya, mereka bertiga meyakini bahwa mereka sedang memperjuangkan kehormatan dan nilai-nilai band yang asli dalam sebuah bisnis yang telah berubah sejak the Doors berdiri tahun 1965. Tanpa Morrison, kini dalam Densmore dan Manzarek-Krieger tiada lagi ‘satu’ itu.

Cekcok itu pulalah yang memberi warna keanehan pada perayaan 40 tahun The Doors tahun lalu. Mereka berdiri diblok-blok yang berbeda. Manzarek berdiri di Cat Club (bekas klub London Fog), dimana The Doors tampil live untuk pertama kali di tahun 66. Krieger ada di Whiskey a Go Go, dimana The Doors mengasah stage show eksplosif yang menjadikan mereka bintang. Dan Densmore pun berdiri di Book Soup (bekas Cinematheque 16), dimana Morrison sering membaca puisi-puisinya disana.

Saya memang belum lama memutuskan mencintai The Doors, tapi saya menyayangkan ini. Sayang karena, orang-orang yang melangkah keluar dari akal mereka (dari diri mereka sendiri) untuk memberikan energi yang menciptakan kancah musik L.A ini harus berada dalam ruang yang berbeda dalam mengenang Morrison.

37 tahun setelah kematiannya, kehadiran suara spiritalitas yang krusial Morrison memang masih terasa setiap kali anggota The Doors yang masih hidup memperdebatkan masa lalu dan masa depan musik The Doors. Pada kenyataannya, Manzarek, Krieger dan Densmore harus bertanya kepada diri mereka sendiri, “Apa yang diinginkan Jim?” atau “Itu satu hal yang dapat kita katakan pada Jim. Jika mungkin Jim akan berubah, kita tidak akan tahu Jim mau kemana sekarang”.

Saya sekata dengan mendiang Pamela Courson (janda Morrison)

“The Doors hanyalah Jim, Ray, Robbie dan John. Empat orang itu ajaib. Don’t F**k with it!”.

Monday, July 7, 2008

Lagu Cinta Untuk Lenin

Saya hanya ingin tahu, apa yang dilakukan Lenin dikuburnya. Apakah ditengah persiapan pledoinya atas pertanyaan Munkar dan Nakir, Lenin masih sempat berpikir tentang sebuah ideology yang dimasa lampau pernah dibesarkannya dengan darah, yang kini berangsur membujur lemah dan hampir pudar?

Mungkin Lenin marah, ketika angin Glasnost dan Perestroika tak biasa dicegah, ditahan. Sebab seketika itu pula, semua impiannya kandas, merosot ke keadaan terburuk, lebih buruk ketimbang The Communist Homeland yang merobohkan patung berbentuk dirinya. Pun lebih buruk dari kematiannya (karena Lenin masih punya Stalin dan Chernenko).

Sepanjang umurnya, Lenin urung berhenti berpikir bagaimana organisasi revolusioner versinya harus dibangun. Bagaimana mempertautkan cendekiawan dan kelas buruh atau pekerja. Lenin punya konsep. Sentalistik, ketat, keras dan penuh rahasia. Lenin menciptakan Bolshevik, lantas ia menyetubuhi pengasingannya dengan gelora sosialime yang sexy. Berkeliling Eropa, untuk menggemakan ide sosialisnya yang segar, tanpa meninggalkan teori Marx dan menyusupi pandangannya dalam Marxisme Leninisme. Semangatnya berkobar, membara dalam sekam revolusi demi mempersatukan Negara-negara kecil di bumi Rusia dalam sebuah republik federasi.

Saya tidak pernah tahu, apakah ini adalah bagian dari impian masa kecil Lenin? Mimpi yang mulai mekar bersama bunga-bunga ditepian sungai Volga? Lenin muda pernah tersentak, saudaranya dihukum gantung karena dituduh melakukan percobaan pembunuhan terhada Tsar Rusia. Konon sebab itu ia mulai terpanggil untuk menjamahi politik. Konon pula dihadapan Sungai Lena yang romantik itu (dalam sebuah pembuangan di Siberia)ang romantik hi politikn masa kecil Lenin? Mimpi yang mulai mekar bersama bunga-bunga ditepi, Lenin mengikrarkan diri untuk terjun dalam Revolusi.

Lenin meulai mempelajari tulisan Marx atau Chernoshevsky, memulai kontak kelompok-kelompok revolusioner. Ia menepati janjinya untuk berkembang bersama kaum buruh, agar kelak bisa melahirkan orok perubahan, radikal. Namun, jalan yang ditempuh Lenin tidak mudah. Lenin jatuh bangun untuk sampai pada Revolusi Bolsheviks yang bersejarah itu. Ketika Tsar Nicholas II berkuasa dan membantai para pemogok, Lenin di buang ke Siberia. Namun Lenin tak berhenti, ia masih tetap menulis propaganda dan memperkokoh jaringannya, ia bergerak cepat dibawah tanah, dibawah sepatu-sepatu tentara Tsar.

Saat Bolsheviks memperoleh mayoritas suara di Moskow, Lenin memimpin. Ia mengumandangkan revolusinya tak hanya disemenanjung timur Eropa, tapi sampai ke belahan lain dunia. Ia menjalarkan komunisme kemana-mana, merambat sebagai sebuah sistem.

Seorang pengarang pernah menulis, “Tak sesaatpun Lenin merasa kuatir, tinggal seorang diri dalam perjuangan. Ia menciptakan sahabat sebanyak-banyaknya dan merontokkkan musuh-musuhnya. Lenin telah mengembalikan rakyat pada harga diri mereka. Bagi Lenin, cita-cita sosial bukan kepentingan diri sendiri.Semua itu tiada artinya jika tanpa kemenangan. kemenangan adalah segalanya.”

Karena demi kemenangan itulah, Lenin menjelma menjadi sebuah ketakutan sekaligus kekaguman. Lenin menganggap, untuk membangun revolusi yang sempurna, menghabisi lawan adalah keharusan. Tidak ada tempat bagi pembangkang, demikian juga dengan mereka yang membangkang.

Tangan Lenin memamng penuh darah. Tidak terkecuali untuk Anastasia dan keluarganya. Maxim Gorky berbisik, “Lenin, ampuni dia”. Tapi semua tanpa pengecualian. Konon hanya dengan mencoretkan sebuah tanda silang dikertas, Lenin bisa mengakhiri hidup ribuan manusia di kamp tahanan. Begitu beku.

Tibet Dalam Ingatan Seorang Jurnalis

Joshua Kurlantzik masuk ke dalam sebuah ruangan kecil, berbau sangat tak sedap. Joshua mendapati ada dua manusia disana. Seorang Lhundrub Zangmo yang mendung dan seorang wanita muda terbaring diatas sebuah ranjang besi,yang merintih lemah dan muntah darah.

Joshua mengenang cerita Zangmo diruang itu.

“Zangmo dan beberapa biarawan-biarawati Budha meninggalkan Tibet berjalan kaki menembus Himalaya menuju tempat pengungsian rakyat Tibet di India. Mereka adalah yang pertama ditangkap tahun 1990, kerena berdemonstrasi di Lhasa, Ibukota Tibet. Meneriakkan “Free Tibet!!”, menyuarakan kemarahan mereka terhadap kehadiran Cina di tanah kelahiran mereka. Polisi Cina yang bergerak cepat, memukul sampai jatuh dan menyeret mereka ke dalam penjara”.

Joshua mengenang lagi, “Di Drapchi (penjara menakutkan di Lhasa) pada suatu hari ada 4 biarawati menolak untuk melepaskan kepercayaan Budha mereka didepan tentara Cina. Mereka dipukul sampai mati” kata Zangmo Zangmo sambil menatap lantai dan mulai menangis, “Mereka mati bersama-sama”.

Lhasa adalah ibukota dari sebuah kerajaan terpencil dimana para Dalai Lama memipin peradaban yang penuh dengan spiritualitas. Terisolasi dari dunia luar, penduduk Tibet membentuk sebuah agama yang penuh ritual dan tingkatan structural. Bagi orang Tibet, pusat pengabdian mereka adalah Dalai Lama, yang dianggap sebagai dewa. Hubungan spiritual Dalai Lama dan orang Tibet begitu besar. Dalam dunia modern yang penuh dengan perang dan konsumerisme, Dalai Lama yang sekarang (yang hidup dalam pengasingan di Dharamsala, India sejak Cina mengambil alih Tibet pada 1959) telah menjadi ikon dunia, menginspirasi jutaan orang di Barat.

Namun waktu Tibet mungkin akan segera habis. Dalam decade terakhir Cina telah melancarakan perang diam-diam yang kejam terhadap masyarakat Tibet. melucuti “Atap Dunia” dari semua bentuk spiritualitas dan otonomi politik. Secara sistematis Beijing telah mengganti biksu (sebagai pusat kekuatan rakyat Tibet) dengan pimpinan boneka dan membunuh mereka yang menolak mengakui kekuasaan Cina. Cina membanjiri Tibet dengan ribuan imigran asal Chine sendiri, yang mengambilalih kendali atas bisnis local dan mendorong penduduk Tibet dalam kemiskinan dan pelacuran. Cina menegakkan kondisi di Tibet. Kondisi yang mengubah optimisme Dalai Lama menjadi kekhawatiran (secara perlahan-lahan), “Ini adalah masa kritis untuk Tibet, Kita akan menghadapi kepunahan.”

Joshua berjumpa dengan Lhasang Tsering, seorang aktivis terkenal Tibet di pengasingannya sejak meninggalakan Tibet 20 tahun silam. Joshua menuliskan keputus-asaan Tsering, “Saya tidak punya harapan atas masa depan Tibet. Waktu mulai habis. Setiap hari ketika kita duduk disini berdoa untuk perdamaian dunia, Ratusan Cina berdatangan, sumber daya dari Tbiet keluar. Begitu orang Cina memiliki daerah untuk mereka sendiri, mereka mengkondisikan orang Tibet seperti anda orang Amerika melakukan (hal yang sama) dengan orang-orang Indian”. Joshua mengingat, Tsering meletakkan meletakkan kepalanya di tangan, bahunya terguncang hebat karena isakan.

Ketika Cina menduduki Tibet tahun 1959, mereka menghancurkan Negara itu, membiarkan tentara-tentara Mao menghancurkan kuil-kuil, membunuh hampir 1,2 juta orang. Ribuan lainnya dieksekusi, banyak yang meninggal karena kelaparan. Tapi taktik itu tidak berhasil menghancurkan identitas budaya Tibet. Pada akhir tahun 80an, rakyat Tibet yang mulai muak dengan tekanan Cina mulai menyerang balik, membanjiri jalan-jalan di Lhasa, menuntut kemerdekaan. Hu Jintao, seorang birokrat Beijing mengeluarkan perintah darurat perang, menerjunkan ribuan tentara untuk mengunci Tibet. Tapi taktik tangan besi ini justru mengakibatkan dukungan internasional terhadap Dalai lama dan Tibet.

Kini, Cina sudah mengadopsi pendekatan yang lebih lunak. Cina tahu bahwa bersikap keras hanya akan menghasilkan protes keras dari dunia Internasional, mendorong timbulnya perpecahan dibagian lain dari Cina. Cina juga menginginkan ribuan barel minyak dan gas yang baru saja ditemukan di Tibet, sumber daya yang dapat membantu kekurangan bahan baker untuk kemajuan industri Cina yang pesat. Beijing telah menerapkan kebijakan baru yang disebut “merangkul dua tangan”, mendekati rakyat Tibet sembari membungkam mereka yang masih menginginkan kemerdekaan. Beijing tidak lagi menerjunkan barisan tentara dijalan-jalan, menyegel kuil-kuil, namun mencoba mengikis inti dari identitas rakyat Tibet : kependetaan.

Cina telah mengumumkan kebijakan tentang toleransi terhadap Budha. Misalnya Beijing telah mengucurkan dana untuk memperbaiki Potala Palace, dan mebangun kuil baru untuk para Turis. Tapi diblok seberang Potala, seorang pendeta yang tinggal disebuah pondok menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi, “Polisi Cina berpakaian sipil berada ditiap-tiap kuil. Setiap pendeta berkumpul, mereka selalu mengawasi. Orang-Orang Cina melakukan ‘kampanye patriotik” dan semua pendeta dipaksa untuk meninggalkan Dalai lama,” kata pendeta itu pada Joshua.

Disebuah perjalanan di gang kecil di Lhasa kemarin, Joshua bergegas. Ia mencatat “Saya tidak lagi melihat apapun yang yang pernah ada sekitar 25 tahun lalu, diaman para pedagang berkumpul di pasar terbuka, dan para peziarah dengan jubah panjang menggumamkan doa. Kini Lhasa seperti kota modern. Para pekerja konstruksi menggali seluruh kota, membangun jalan baru yang berisi bank-bank dari China, toserba dan restoran cepat saji di depan Jokhang yang suci. Disepanjang jalan utama, taksi dan bus tour Cina memenuhi jalan. Ketika Lhasa dibangun kembali dari bawah, Orang-orang Tibet terdorong ke pinggiran, dibagian baru kota ini. Dan kecepatan perubahan itu semakin tinggi, Cina membuka jalur rel kereta apai ke Tibet, untuk mengangkut ribuan orangnya menduduki Tibet. Uang telah meningkatkan pertumbuhan dan mencipta kemakmuran, tapi itu bukan untuk rakyat Tibet. Tanpa kompnesasi apapun untuk rakyat yang lambat laun akan jadi kaum minoritas di Lhasa!”.

Imigran Cina telah mengambil alih Lhasa, mengbah kebudayaan tradisonal Tibet menjadi sebuah panggung karnaval. Cina telah sukses menyengsarakan Tibet, merampas tanah mereka yang tidak mampu bersaing dengan para imigran. Tingkat kemiskinan Tibet bergerak ke level yang tinggi, mereka mengalami kurang gizi dan tingginya angka kematian bayi. Anak-anak muda jarang mendapat pekerjaan, yang didominasi para imigran. Banyak yang jadi gelandangan, dan terpuruk ke area prostitusi. Ini yang paling menyedihkan bagi Joshua. Di suatu malam ia bercerita, “Di gang belakang Toserba itu, seorang gadis yang masih seperti anak kecil menawarkan oral seks pada saya dengan 5 dollar. Saya menolak, ia lantas menurunkannya menjadi 3 dollar, memohon saya untuk tinggal. Ketika saya menolak lalu pergi menjauh, ia menjerit pedih.”

Dan pada sebuah kesempatan wawancara yang singkat dan ajaib di New York, Joshua bertemu dengan Dalai Lama. “Saya tidak bisa menolak tanggung jawab ini, saya harus memikul itu meninggalkan masa remaja saya,” ujar Dalai Lama yang duduk diseberang Joshua sambil menunduk. Pada momen itu Dalai lama menggambarkan pada Joshua, ancaman-ancaman yang dihadapi Tibet, sikap pemerintah Beijing menurutnya tidak membantu. “Rel kereta baru menuju Lhasa telah membawa pembangunan yang merajalela yang menyebabkan konsekuensi bagi ‘hewan liar dan lingkungan’. Kemudian tekanan demografis meningkat dan masalah ekologi menjadi sangat serius.” Tiba-tiba (kenang Joshua) wajah Dalai Lama menjadi cerah, Dalai bersikeras masih ada harapan di Tibet.

Ketika wawancara akan berakhir, Joshua berujar pelan pada Dalai Lama, bahwa ia baru kembali dari Tibet, sebuah daerah yang tidak bisa dikunjunginya selama hampir setengah abad. Dalai Lama tersentak, menampakkan keharuan. “Apakah anda melihat kota-kota baru sepanjang rel? saya mendengar ada banyak kota-kota Cina yang baru disana”. Ketika Joshua mencoba menggambarkan apa yang dilihatnya di Tibet, ia melirik pada pengawal Dalai Lama yang mulai gugup. Seorangterkemuka telah menunggu Dalai Lama untuk sebuah pemotretan. Tapi Dalai Lama mengacuhkan mereka, dan kembali bertanya pada Joshua, “Apakah anda melihat pengaruhnya pada rakyat dan lingkungan?” Dalai Lama begitu antusias menyodorkan keingintahuan pada tanah kelahirannya.

Akhirnya para pengawal, berhasil menarik perhatiannya. Dalai lama menggenggam tangan Joshua dan menatap mata Joshua dalam-dalam, “Terima kasih”.

Ketika menyaksikan Dalai Lama pergi, Joshua teringat bahwa masa depan Tibet terletak pada orang tua ini. Dalam era terror seperti hari ini, pesan damainya dihadapan kehancuran negerinya telah menciptakan sebuah inspirasiluar biasa bagi banyak orang. Tapi terlepas dari pencapaian Dalai Lama, tak ada pemimpin yang bisa menggantikannya dan kekerasan di Tibet akan semakin meningkat jika ia tiada. Butuh waktu lama untuk menunggu Dalai Lama baru memimpin rakyatnya, dan selama itu pula Orang-orang Cina akan terus berdatangan dan generasi berikutnya akan makin menjauhi gerakan damai. Atap Dunia tidak akan dikenal lagi sebagai Tibet.

“Ini seperti ada pistol ditodongkan dikepala kita dan didepan kita ada jurang”.

Genocide

Malam ini saya sedang terikat pada kalimat ini “ Kita tahu sebabnya ada orang yang percaya bahwa pembunuhan bahkan pembantaian anak-anak bisa halal. Ada orang yang percaya bahwa orang yang tewas itu adalah korban yang diperlukan untuk memperoleh sebuah efek”.

Bukan pada kekecewaan pada ketidaksempurnaan atau bukan pula kekecewaan pada demokrasi, saya merentangkan garis. melainkan pada sisi yang ganda, yaitu kehidupan beragama.

Agama selalu menuntun agar kehidupan manusia tidak kacau balau. Setidaknya secara awam saya menerjemahkan pemahaman saya seperti itu. Tapi sejarah juga mencatat, pemahaman yang “unik” terhadap keagamaan menjadi faktor timbulnya pertentangan, bahkan meletuskan perang yang meluluhlantakkan sebuah bangsa.

Balkan pada awal 1990an, terguncang dalam kisruh. Yugoslavia yang tangguh di era Joseph Bros Tito, remuk terpecah karena pertikaian yang berdarah. Bosnia-Herzegovina, Kroasia,Serbia dan Macedonia berai, memisahkan diri dan berperang atas nama perbedaan agama. “Sekarang pastilah sudah, pertikaian telah menghentikan belajar kami, menutup sekolah kami dan mengirim kami ke kamp pengungsian, bukan ke kelas”, demikian Zlata Filipovic menulis dalam diarinya pada 17 Mei 1992 diantara reruntuhan bangunan di puing-puing Sarajevo. Zlata yang saat itu berusia 13 tahun, bersaksi “Perang bukanlah lelucon. Perang benar-benar menghancurkan, membunuh, membakar, memisahkan, membawa kepedihan”.

Hal serupa juga pernah meremukkan Lebanon. Dalam soal agama, Lebanon adalah negeri Arab yang plural. Tapi ancaman konflik tetap tak terbendung. Antar agama berperang, menghancurkan Beirut yang mempesona. Mematahkan sajak-sajak Kahlil Gibran.

India pun terkoyak. Peperangan agama nyaris tak berujung. Medio 1940an, kemerdekaan yang baru seumur jagung, menjadi hambar. India langsung terbelah. Ali Jinnah memutuskan memisahkan diri dan membentuk Pakistan. Namun perpisahan itu bukan perpisahan yang manjur. Karena hingga saat ini konflik tetap meraja. Lihat saja pada kegelisahan di Kashmir.

Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika juga punya catatan kelam. Jakarta, Ambon, Kupang, Situbondo menyimpan deretan duka karena kerusuhan berbau konflik antar agama, merasakan angin yang tak sejuk itu.

Dan pastilah dibelahan dunia lain, dimana pengetahuan saya tak cukup untuk merangkum dan menceritakannya kembali. Ah, tiba-tiba saya enggan. Ingin rasanya melepaskan ikatan itu. Terlalu tragis untuk malam ini. Takut nanti gak bisa tidur.

Monday, June 30, 2008

Hatta

Konon, ada seorang istri yang harus menyisihkan sebagian dari penghasilan yang diberikan suaminya untuk membeli sebuah mesin jahit. Namun pada suatu ketika, tiba-tiba rencana untuk membeli mesin jahit itu terpaksa harus ditunda, diurungkan. Karena tiba – tiba saja pemerintah hari itu mengeluarkan kebijakan pemotongan nilai rupiah (sanering) dari Rp. 100 menjadi Rp.1. Jadinya, nilai perhitungan tabungan yang sudah dikumpulkan sang istri tidak cukup untuk sang mesin.

Karena sedikit kecewa, sang istri menanyakan kepada suaminya, yang notabene merupakan pejabat tinggi Negara kenapa sang suami tidak memberitahukan akan ada sanering. Dengan kalem dan tenang, sang suami menjawab, “Itu rahasia Negara, jadi tidak boleh diberitahukan, sekalipun kepada keluarga sendiri”.

Sang suami, seorang pemimpin yang langka. Lahir dengan nama (pemberian orang tuanya) Muhammad Athar, pada sebuah Agustus di Bukit Tinggi. Hatta lahir dan besar di keluarga ulama di ranah leluhurnya, Minang. Zaman itu, ia termasuk bocah yang beruntung karena punya kesempatan untuk studi sampai ke MULO di padang. Pada masa belia, ia merantau ke Batavia dan pada masa inilah ia mulai menentukan arah. Ia mulai rajin menulis di Jong Sumatera. Ia mulai meretas kesadaran politiknya, terinspirasi dari Abdoel Moeis, sang idola. Tercatat, ia pernah terjun di Jong Sumatranen Bond, Perhimpunan Indonesia, berkawan dengan seorang nasionalis Hindustan, Jawaharlal Nehru saat bergabung dalam Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di negeri Belanda.

Hatta yang sederhana itu pernah akrab dengan terror. Ia sering ditangkap. Dibuang ke tempat yang asing dan sunyi, Digul, Banda, atau Bangka. Pengasingan sebagai sebuah risiko dari arah yang ia tentukan tadi. Ia berjuang bersama Sukarno, Founding Father negeri ini. Meski dalam perjuangan yang sering dialiri perbedaan persepsi politik dan cara dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Mereka pernah jalan bertentangan, tapi dalam sebuah malam mereka menyadari bahwa mereka harus bersatu demi suatu tugas yang jauh lebih besar daripada yang dapat dilakukan oleh salah seorang dari mereka. Sukarno dan Hatta yang menanam tekad, janji yang jantan untuk berjuang bersama, memimpin Negara, mengusung sebuah revolusi untuk merdeka.

Hatta memimpin dengan penuh sahaja. Dia rela berjalan satu langkah dibelakang, berbicara dengan nada lebih rendah dan sama sekali tidak bermimpi merebut jabatan presiden. Hatta semakin langka, karena ia adalah pemimpin yang mampu menguasai keadaan, banyak berpikir dengan tenang dan dalam, cermat dan bertanggungjawab atas setiap keoutusannya. Hal yang ia sadari, dalam memimpin republic yang masih sangat muda.

Namun, sejarah kemudian menceritakan pada saya. Perjalanan Hatta menemani Sukarno berhenti juga. Klimaks yang muncul ke permukaan karena perbedaan visi dengan Sukarno dan konstelasi politik yang saat itu menghendakinya demikian. Hatta memilih mundur, dan secara terbuka ia tidak sepaham dengan kebijakan politik dan konsepsi demokrasi Terpimpin sang pemimpin besar revolusi.

Ada ikhwal yang menarik perhatian saya perihal kemundurannya. Hatta pernah curhat pada seorang anak angkatnya, Des Alwi Abubakar. “Om Cuma disuruh ngurus koperasi. Segala keputusan politik tidak dikonsultasikan kepada saya. jadi, Om berhenti saja.” Entah itu adalah tragedy atau bukan. tapi setelah itu, Indonesia terpuruk dan rakyat menderita.

Hatta adalah monumen, untuk mengenang kesehajaan seorang politisi. Hatta pasti bahagia, karena ia tidak hidup hari ini (menurut saya). Hatta juga pengingat, dan sekali lagi, ia sosok yang langka

The Glory Belongs To El Nino at The Moment

Joachim Loew diam dan gelisah di sebuah sudut Ernst Happel, Wina. Sesekali ia melongok ke arah jam ditangannya. Memperhatikan waktu. Ia galau, Tim Panser hanya punya sedikitnya 8 menit untuk menyelamatkan diri. Detik-detik lewat, Roberto Rosetti meniup peluit tanda perang usai dan kegalauan itupun berubah menjadi pusaran yang menariknya untuk segera menguasai perasaan yang campur aduk. Loew tertunduk lesu, bersama keresahan Angela Merkel di tribun kehormatan, juga jutaan rakyat seantero bumi manusia.
EuRO 2008 sudah tiba pada ujung. Spanyol menjadi kampium, setelah terapung pada 44 tahun penantian. Luis Aragones membalas tamparan banyak pihak, yang gemar mengkritiknya. Matador-matador itu memenangkan sejarah. Menundukkan Eropa dangen segala keperkasaan.
Malam itu adalah malam yang langka untuk Fernando Torres, 24 tahun. Ia berlari sekencangnya sambil mengukur timing. Ia berpikir, untuk bisa lolos dari duet palang pintu Jerman. Ia sukses, dan hanya membutuhkan ketenangan untuk menaklukkan Jens Lehmann dengan sekali sontekan. Dan ia berhasil lagi, membunuh Lehmann dengan begitu dingin. Torres membukukan gol, satu-satunya dipertandingan itu. Gol yang tak akan sirna dari ingatannya sepanjang masa. Gol yang membenamkan jerman dan membawa spanyol ke tangga juara. Juara Piala Eropa.
El Nino, melengkapi sensasinya musim ini. Meski tanpa gelar, lebih dari 30 gol dalam musim pertamanya di Anfield, cukup untuk menobatkanya sebagai salah satu striker berbahaya saat ini. El nino lahir dengan bakat sebagai mesin gol. Ia cukup lengkap. Gesit, cepat, dan punya naluri tinggi membobol gawang lawan. Sebelumnya ia adalah pujaan publik Vicente Calderon. Ia maskot, jadi kapten tim di usia belia dan inceran klub-klub elite benua biru. Liverpool yang berhasil menciduknya, dengan gelontoran puluhan juta poundsterling. Torres pun hijrah ke lembah Merseyside. Di daratan britania, pesonanya kian menjadi. Ia jadi pemain asing yang dimusim pertamanya mampu mengemas lebih dari 20 gol setelah Ruud van Nistelrooy. El Nino menjelma jadi idola baru The Reds dan andalan sang Rafa Benitez.
Austria - Swiss 2008 jadi ajang pembuktian kiprah internasional El Nino. Ia datang bersama skuad matador, yang dihuni pemain-pemain terbaik di semua lini dengan kualitas yang merata. Secara teknis, sulit mencari kelemahan Spanyol. Namun berulangnya kegagalan negeri itu diberbagai ajang, menumbuhkan konvensi tidak tertulis di kalangan pecinta bola sejagad bahwa secara materi Spanyol memang oke, tapi mereka tidak punya mental juara dan karena itulah mereka gagal. Aragones memimpin tim dengan stigma yang melekat itu. Namun ia tidak gentar. Ia memang keras kepala tapi orang tua itu benar-benar paham apa yang ia butuhkan. Ia tidak memanggil Raul Gonzales, golden boy sepakbola spanyol dan ia pun dicerca karena itu. Tapi demikianlah Aragones, ia melaju mengacuhkan banyak pihak.
Spanyol memulai laga menghadapi Rusia. They did it well, menyuguhkan permainan cantik dan menghujani gawang Igor Akinfeev 4 kali. David Villa mencuri perhatian dengan hattrick-nya (satu-satunya hattrick dalam turnamen ini). Tapi peran El Nino sangat besar, dengan kecepatannya ia memudahkan Villa mencetak gol pertama dan sanggup menarik perhatiaan barisan pertahanan Rusia, sehingga Villa bisa leluasa memberondong amunisinya dengan telak. Melawan Swedia, El Nino mencetak gol pertamanya dan Villa jadi penyelamat di menit akhir. Agresivitas lini tengah Spanyol mulai dilirik. Pers menilai barisan kuartet mereka bermain cemerlang. Xavi Hernandez-Marcos Senna-Andreas Iniesta-David Silva dan sesekali diisi Cesc Fabregas tampil dengan performa memikat dan sangat solid. Kuartet mereka mengingatkan pada kejayaan Michel Platini-Alain Giresse-Jean Tigana-Luis Fernandez mengantarkan Les Blues jadi jawara Euro 1984. Menghadapi juara bertahan Yunani, Spanyol mengistirahatkan hampir sebagian besar pemain intinya. Tapi mereka tetap unggul, dan meraih hasil sempurna di fase penyisihan grup. Ruben de la Red dan Dani Guiza mengirimkan sinyal, bahwa lapis kedua Spanyol juga dahsyat.
Di 8 besar, Azzuri Italia menunggu mereka. Tampil melawan Grendel Cattenacio yang paten, El Nino dan Spanyol kesulitan memberangus gawang Gianluigi Buffon di waktu reguler maupun extra time. Adu Penalti jadi penentuan. Iker Casillas jadi pahlawan dengan membendung usaha Antonio Di Natale dan Danielle de Rossi. El Matador pun melenggang ke Semifinal, kembali jumpa Rusia.
Rusia yang mereka hadapi di Semifinal, bukanlah Rusia yang mereka pecundangi di awal kompetisi. Guus Hiddink berhasil menyulap beruang merah menjadi momok bagi lawan. Yunani dan Swedia berhasil mereka kirim pulang. Belanda yang tampil memukau di grup C mereka bantai dengan sadis. Total Football remuk dihempas badai spartan ciptaan Arshavin dan kawan-kawan. Tapi lagi-lagi Spanyol menunjukkan kesejatian mereka. Lewat permainan yang dinamis dan menggigit, Rusia kembali merasakan pedihnya dihajar habis-habisan. Lini tengah mereka jadi bintang. Spanyol 3, Rusia 0.
Tim langganan Juara Jerman adalah pintu terakhir Spanyol, mengibarkan bendera kemenangan. Bukan lawan mudah, Jerman punya pemain-pemain matang. Jerman punya pengalaman dan jam terbang di turnamen. Dan yang utama Jerman punya sejarah bagus. Wina, cerah hari itu. Spanyol bersiap, meski dengan beban David Villa harus absen karna cedera pergelangan kaki.
Rosetti meniup peluit seperti Krishna menggemakan terompet tanda dimulainya Baratayudha. Jerman dan Spanyol bertarung ketat. Adu pintar. Adu Strategi. Adu fisik. Adu seluruh daya yang tersisa. Semua berjalan imbang, sampai Gol El Nino hadir ditengah-tengah mereka.. Ritme permainan semakin meningkat. Jerman harus mengejar dan Spanyo tidak mau dikejar, bahkan ingin jauh biar tak terkejar. Saling ngotot, saling sikut, saling tabrak, saling hantam. Lehmann dan Casillas harus jatuh bangun berjibaku. Charles Puyol dan Christoph Metzelder bertahan sekuatnya. Pelipis Mickael Ballack sampai berdarah. Entah berapa kaki yang lebam karena benturan keras.
Rosetti meniup peluit akhir. Spanyol menjelang sejarah baru.. Sorang komentator tivi berujar tentang esensi sepakbola, kemenangan spanyol adalah kemenangan sepakbola. Tim terbaiklah yang memenangkan kejuaraan. Joachim Loew memimpin senyum pahit anak asuhnya menerima medali dari Michel Platini. Dan Iker Casillas mengangkat trophy Henry Delauney tinggi - tinggi.. Tanda kejayaan. Tanda kebesaran. Tanda kemenangan. Tak Hanya Casillas dan skuad mattador lain yang tertawa keras. Tapi disitu juga ada sukacita Aragones, Raja Juan dan Pangeran Felipe, serta penantian panjang rakyat spanyol.
El Nino pantas tidak bisa tidur malam itu. Ia pasti gila karena bahagia.

Billie Jean vs Eleanor Rigby

Perhelatan American Idol 2008 musim ketujuh sudah usai sejak beberapa bulan lalu. Secara keseluruhan, saya menikmati kompetisi tahun ini. Menjagokan David Cook sejak awal, excited dengan karakter para kontestan yang colourful, persaingan yang ketat, sampai kejutan-kejutan yang pernah terjadi.
Setiap tahun saya kerap menyediakan perhatian untuk American Idol. Saya penggemar acara ini. Bukan cuma sekedar American idol dalam arti an sich, tapi seperti yang Dave Grohl pernah bilang "American idol bagaikan sebuah institusi".
Masih dengan kemasan yang sama. Ryan Seacrest masih disana. Trio Simon Cowell, Paula Abdul dan Randy Jackson masih setia menyusuri tanah amerika, menyaring ratusan talenta-talenta super, memilih 12 pria dan 12 wanita terbaik (ini pekerjaan yang sangat sulit) dan mendampingi kontestan sejak workshop sampai grand final.
Amerika tak pernah kehabisan bakat. Sejak di babak eliminasi saja, sudah ada sajian olah vokal yang keren. Dan 24 besar itu pastilah yang terhebat (para juri pasti tidak salah pilih).
Diantara top 6 kontestan perempuan, cuma Brooke White dan Carly Smithson yang rada nyangkut. Brooke elegan dengan musikalitasnya. Menggiring Every Breath You Take dan let it be dengan piano hammond atau Jolene dengan gitar akustik ke nuansa yang feminin. Carly, perempuan Irlandia dengan suara bertenaga yang sempat saya prediksi bisa ada di 5 besar. Ia punya aura seperti saya melihat Kelly Clarkson dulu. Belakangan menyusul Syesha Mercado yang punya kemajuan besar. Pada awal kompetisi, Syesha kelihatan biasa saja. Tapi dia punya determinasi untuk berkembang.Dan posisi 3 besar adalah buah kerja kerasnya.Ia punya stage act bagus, mungkin karna pengalamannya sebagai seorang aktris. Amanda Overmayr, Ramielle Mallubay dan Kristy Lee Cook punya vokal yang bisa diandalkan, tapi belum memukau saya.
Tahun ini prediksi awal saya ialah tahunnya kontestan pria. Gila, vokal setiap kontestan beda-beda dan kuat! Saya masih inget, Colton Berry dan Gareth Haley yang melodius harus tersisih di Workshop I. Jason Eager dan Rocker Robbie Carricco tersisih di workshop II. Danny Norriega dan Luke Menard juga gagal menembus Top 12. Padahal saya sempet jagoin Luke masuk, dia pernah bawain Killer Queen bagus sekali.
David Hernandez kontestan yang pertama kali vote off di 12 besar. Suaranya sangat groovy. Mungkin hanya karena kurang dukungan. Sebenernya kalau dia diberi kesempatan dibabak selanjutnya, dia bisa berbuat banyak. Chikezee juga bagus, dia pernah memainkan she's a woman dengan warna soul-nya, tapi dia juga harus pulang. Selanjutnya adalah kejutan terbesar tahun ini, Michael Johns. Saya sempat shock, ketika dia begitu cepat terdepak. Pada awal, saya pernah punya mimpi untuk menyaksikan Johns berduel dengan David Cook di Final. Pasti bakal seru. Bukan apa, Johns penyanyi yang punya karakter kuat, dia pernah memukau (rockin') saat me-medley we will rock you dan we are the champions. Pernah nge-blues banget di It's all wrong but its's all right. Dan menyanyikan Across The Universe dengan sangat maskulin.
Jason Castro, dia disukai karna pembawaanya yang charming. Timbre vokalnya khas, dan bening. Ia yang paling sering menyanyikan lagu-lagu kesukaan saya. If I Feel, Memory, Fragile sampai I Shoot The Sheriff. Semuanya oke, tapi mungkin itu belum cukup untuk bersaing di level 4 besar American Idol. David Archuleta, sang rising star. Dia pernah mengejutkan saya saat menggubah Imagine di babak Workshop. Selanjutnya, dia terus melaju. Sama seperti Syesha, progres bocah 17 tahun ini sangat luar biasa. Dia penyanyi pop yang sangat alami dan Amerika menyukainya.
Yang terakhir adalah sang jawara David Roland Cook. Penampilannya di dua babak workshop awal belum terlalu outstanding buat saya. Baru setelah membuat aransemen orisinil yang dahsyat pada lagu Hello (Lagu pop ekstrim Lionel Ritchie), saya memulai prediksi bahwa dia-lah next american idol. Cook berhasil memodifikasi lagu dengan cara yang benar-benar diluar dugaan. Dia mengambil versi Dexology untuk Eleanorr Rigby (The Beatles) dan versi Chriss Cornell untuk Billie Jean (Michael jackson). Usaha ini yang paling berkesan, sangat merevolusi lagu aslinya. Ekstrim. Dia benar-benar menguji musikalitasnya sepanjang kompetisi, dia bernyanyi dengan Gibson Les paul left hand-nya di lagu All Right Night, Day Tripper, I'm Alive (Lagu klasik Neil Diamond, namun ditangan Cook lagu itu seperti baru dirilis tahun ini), Baba O' Riley,dan Dare you to move. Pun saat menenteng Gitar akustiknya pada nomor Little Sparrow atau The World I Know.
Orisinalitas aransemen juga melekat kuat di penampilannya saat bawain Always be my baby, First Time I ever saw your face juga I dont want to miss a thing. Dan Music of the night yang opera, jadi macho banget. Cook luar biasa.
Saya akan selalu menyediakan waktu untuk American idol.

Saturday, June 28, 2008

Juni Hampir Akhir

Fitri Nganti Wani sudah beranjak ramaja tahun ini, dan Fajar Merah pasti sudah bisa membaca dan menulis dengan baik. Setahun yang lalu, aku menyaksikan Fitri membaca sebuah sajak di Kick Andy. Sajak rindu yang diliputi kesamaran.Sajak yang miris memanggil-manggil sebuah nama untuk pulang. Dalam malam - malam yang hening itu Mbok sipon pasti menahan tangis dihatinya. Dalam-dalam. Menyaksikan kedua anaknya tumbuh bersama kedukaan. Duka yang terikat pada sebuah nama, yang makin jauh mengabur dan semakin tak pernah pulang.
Tidak ada yang tahu Thukul dimana. Ada yang bilang Thukul disembunyikan kelompok yang bersimpati padanya. Ada yang bilang Thukul melarikan diri ke luar negeri. Ada juga yang bilang Thukul masih hidup, dan hanya Mbok Sipon yang tahu keberadaannya. Tapi semua teori itu mentah, karena semua justru terus mempertanyakan nasib Thukul. Ada juga yang beranggapan, Thukul berinisiatif sendiri untuk tidak menampakkan diri sampai saat yang ia anggap tepat. Tapi disaat rezim itu sudah tumbang, dan keterbukaan yang selama ini jadi cita-cita suara Thukul sejak lama telah lahir, Thukul tak juga tak pulang.
Aku secara pribadi, lebih setuju pada sebuah hipotesis politis. Sebab sepanjang sejarah perjuangan politiknya, Thukul tak pernah lelah menentang Soeharto dan kekuatan Militernya. Ia juga pernah aktif di PRD, partai kiri yang selalu di "musuhi" pemerintah dan militer. Thukul diculik dan dilenyapkan secara paksa dalam sebuah operasi militer. Ia (di)hilang(kan) sama seperti aktivis-aktivis lain pada masa itu, yang sampai saat ini mereka tak pernah kembali!
Thukul telah menjalani proses sebagai manusia. Seperti yang pernah ia sebut, ia adalah bunga tak dikehendaki tumbuh. Ia dilahirkan ditengah masyarakat yang dimarjinalkan keberadaannya, benar juga kecuali dalam angka statistik dan bahan kampanye. Sejak lahir ia telah akrab dengan ketiadaan, kemiskinan, bau-bau busuk dari got pembuangan pabrik dan ketidakadilan pembangunan. Ia hafal dengan itu semua dan pada puisilah ia meledakkan ide-idenya. Baginya, tidak ada jarak antara puisi dan kenyataan hidup. Dengan puisi ia mengekspresikan aspirasi yang paling dekat dengan keadaan sekitarnya. Dengan puisi ia peduli terhadap persoalan yang tak pernah didengar. Dengan puisi ia menyuarakan protes kaum buruh pada majikan, juga perlawanan rakyat kecil pada penguasa. Perlawanan melawan keterbatasan dengan mengenalkan pada keindahaan yang bisa berada dimana saja dan melampaui batas-batas kelas.
22 Juli Tahun 1996, saat itulah terakhir kali Thukul tampil didepan umum, karena tak lama kemudian ia menghilang. Pada hari itu ia menyampaikan "Peringatan" yang sangat menggugah itu. Setelah Kudatuli meletus, semua jadi tidak bersahabat bagi Thukul. organisasinya di jadikan kambing hitam kerusuhan, dan ia sendiri dinyatakan oleh rezim waktu itu sebagai buronan. Dan cerita kelam itupun tumbuh pelan-pelan. Thukul pergi dan tak kembali.
Sekarang sudah 1 dekade berlalu. Sepanjang itu pula perasaan gelisah itu setia menggantung di alam bawah sadar Mbok Sipon. Tapi perempuan itu selalu terlihat tenang dan sabar. Entahlah, karena antara kekuatan menahan, pasrah, putus asa kadang mau tidak mau harus dikalahkan. Sepanjang itu ia ditangisi kedua anaknya sambil menanyakan kenapa bapak gak pernah pulang. Keluarga yang malang.
Seorang rekan Thukul, yang pernah bertemu Fitri Nganti Wani menuturkan, "Tatapan matanya membuat saya tidak tahan. Kerinduan, harapan, kepedihan dan kemarahan berpijar dari sepasang mata anak muda itu". Perasaan campur aduk itu selamanya akan selalu hidup di hati Fitri, juga Fajar adiknya.
Keluarga itu harus jadi korban sejarah. Kehilangan masa depan bersama. Tapi diantara beban itu, Mbok Sipon tak pernah kalah oleh waktu. Ia tegar membesarkan kedua anaknya sebagai sebuah takdir yang lambat laun harus dimaklumi. Meski selamanya akan tersa pilu dan muram, saat nama Thukul diperdengarkan padanya.

No Coffee for Tonite

Ada suara jangkerik, mengendap pelan - pelan di teras rumah.
Mengerik semaunya. kadang mayor, kadang minor, kadang tak bernada. Ayah duduk di sebuah kursi ditemani mama.
Membicarakan kesunyian bersama - sama. Kerinduan bersama-sama. Dan perjalanan nanti bersama-sama.
Diteras itu aku pernah tumbuh. Tidak cuma bersama jangkerik, tapi juga kunang-kunang dan nyamuk.
Diteras itu aku belajar membaca, berhitung dan mengaji.
Diteras itu aku menendang bola (sampai memecahkan kaca), bermain kelereng, berkelahi dengan teman-teman.
Diteras itu aku merengek - rengek demi uang jajan dan diteras itu aku pernah jatuh pingsan karena sakit.
Diteras itu aku mencoba menulis puisi dan disana pula aku mulai bermain gitar.
Diteras itu aku mulai mengenal Tan Malaka dan disana pula aku memperhatikan Morisson, Hendrikx juga Bono.
Diteras itu aku mulai mengenal kecantikan peempuan, dan disana pula aku mulai belajar gombal.
Diteras itu aku mendengarkan cerita, dan disana pula aku mulai memperhatikan cara menanam anggrek.
Diteras itu aku mulai menggendong ponakan dan membiarkan dia kencing di bajuku.
Di teras itu pula aku bermain petak umpet dengannya sambil menyuapi makan malam yang telah disediakan untuknya.
Diteras itu pula ayah dan mama menangis, karna di teras itu pula kakakku mengikat janji suci.
Diteras itu aku sering pergi, mengucapkan selamat tinggal.
Diteras itu Papa dan mama menungguku.
Diteras itupun aku akan datang, esok...

Menikmati Euro dari Balik Selimut

Selalu ada paksaan yang paling barbar, untuk memberi perhatian pada tayangan sepakbola. Hampir 20 hari berlalu, sebagian atensi menunggu didepan tivi, lewat siaran live, hi-lite atau berita olahraga. Aku tidak cukup demam, tapi aku melemah.
Aku mencintai sepakbola. hampir disepanjang hidup. Ini warisan papa. warisan yang sangat adil dan membekas. USA 94, England 96, France 98, Belgium-Netherland 00, Korea-Japan 02, Portugal 04, Germany 06 sampai hari ini Austria-Swiss 08. Semua tak lepas dari jauh pengamatanku. Aku menikmatinya.
Setiap perhelatan punya cerita. Aku masih sanggup mengingatnya, aku yakin sekali. Tantang saja aku berdiskusi tentang semua itu, aku akan melayani dengan jiwa yang paling cerah.
Aku tidak ingin bicara tentang Prancis tahun ini. Karena sudah gagal, dan uangku melayang demi gengsi.
Aku ingin mengusik prediksi yang kebolak-balik. atau bercanda dengan kejutankejutan.

Semua sudah berjalan. gugur satu persatu. siapa yang bisa menghitung butiran airmata tumpah karena victory jauh dari genggaman? Karel Bruckner pantas kecewa dan aku mengerti kenapa Petr Cech menangis. Swiss sedikit bisa tersenyum karena punya satu kemenangan yang terlambat. Leo Benhakker mungkin akan kehilangan pekerjaan. Rakyat Austria
harus memendam harapan lebih tinggi. Prancis tak pernah bisa berjalan tanpa Zidane. Duet
Adrian Mutu dan Christian Chivu belum bisa meloloskan Rumania. Ibrahimovic senang karena bisa membuat 2 gol setelah sekian tahun, tapi Swedia harus pulang. Dan Yunani telah benar-benar dijauhi dewi fortuna, tidak seperti 4 tahun silam.
Cristiano Ronaldo sangat berhasil di sepanjang EPL dan Liga Champion kemarin. Tapi kali ini, dia hanya mencetak satu gol dan Scolari pun menutup karir di Portugal dengan pencapaian yang segitu saja. Padahal portugal datang dengan menebar ketakutan. Tapi itu tak cukup taji untuk menikam staying power Jerman. Ya, Michael Ballack kembali jadi sosok sentral itu. Jerman, telah kembali.. Turki lagi lagi berkibar karena teranugerah untuk terbang. Keajaiban itu menyayangi mereka, dan enggan pergi.. 3 kali hampir mengakhiri pertarungan dengan kekalahan, 3 kali pula mereka selamat dan jutaan rakyat Turki menangis gembira. Kroasia sangat menghibur dan Slaven Bilic benar, butuh banyak waktu untuk melupakan kesedihan ini. Belanda menjadi umpatan banyak petaruh, karena superioritas mereka sepanjang turnamen, rontok memalukan. Hiddink memang hebat, dan Rusia akan terus mencintai dia. Ada yang bilang ini penampilan buruk Italia, dua gol dari bola mati memang sangat ironis bagi sang juara dunia. Dan bagi Spanyol, ini saat terbaik untuk mematahkan keraguan sejagad karena mereka punya seniman-seniman terbaik hari ini.
Ada empat martir yang menarik perhatian saya.
Guus Hiddink. Siapa pun tahu, Negaranya bisa dibawa jadi Semifinalis Piala Dunia 10 tahun lalu. Kalau tahun ini, dia menilai dirinya sendiri sebagai pengkhianat terbesar dia tak perlu kuatir. Rakyat di negeri kincir itu harusnya bangga punya tokoh sepakbola yang dicintai banyak bangsa. Korea selatan tak akan pernah melupakan dia, dan gelar Honoris Causa itu hanya sedikit dari penghargaan itu. Dan kini, dia menghentak kremlin. aku berpikir, kalau nikita Kruschev masih hidup apa ya yang akan diberikan untuk sang meneer?? a built in remedy for Kruschev and Hiddink?? Hiddink punya energi untuk menyuntikkan semangat berjihad yang luar biasa. Entah apa yang dikatakannya pada laskar Taeguk yang tak pernah berhenti berlari di sepanjang laga 6 tahun lalu. Atau entah pula apa yang dibisikkannya pada Arshavin dan beruang-beruang merah itu menghabisi saudara sebangsanya sendiri.
Fatih Terim. Sang legenda dibumi Attaturk. 12 Tahun lalu ia mulai memimpin Truki menyerang eropa, meski gagal total tapi sejak itulah benih benih kekuatan masa depan Turki mulai tumbuh. Dan tahun ini ia datang lagi. Memang Turki seolah jadi kubu yang selalu beruntung. Tapi keberuntungan itu takkan muncul tanpa semangat juang yang mati-matian.. mereka hanya punya 5 menit untuk tidak mengecewakan tanah air. Dan Nihat Kahveci pun muncul sebagai juru selamat. Nihat hanya peluru, dan terimlah penembakknya.
Andrei Arshavin. Anak muda ini tak menyiakan kesempatan terakhir. ia hanya jadi penonton saat negaranya di hantam telak oleh Spanyol dan bermain buruk melawan laskar olympus. ia hanya punya kans saat menjumpai swedia. dan ia hadir untuk tidak jadi pecundang. ia bergerak dengan atau tanpa bola. melepas umpan, lalu membunuh harapan skandinavian. melawan nama besar total football ia tidak gentar. saat belanda mungkin memandangnya sebelah mata, ia mengambil inisiatif menekan. dan ia berhasil...
Terakhir Mickhael Ballack... atlet yang gagah dan kuat. ia menangis saat john terry gagal menghukum Cristiano ronaldo. tapi sekarang ia sanggup berjalan tegak. Ia memimpin dengan bakat naturalnya. Ia mencetak gol dengan tendangan terbaiknya dan kekuatan fisiknya. Aku yakin ia akan mengambil kesempatan ini. kesempatan kedua tidak selalu bisa jatuh bebas.
Dari balik selimut ini, aku mencatat mereka.. untuk diskusi dimasa-masa mendatang. saat aku jadi tua, aku akan terus mengingat mereka. Masih dari balik selimut ini, aku menahan kantuk. Serba salah memang. tapi 2 tahun lagi masih sangat lama.