Fitri Nganti Wani sudah beranjak ramaja tahun ini, dan Fajar Merah pasti sudah bisa membaca dan menulis dengan baik. Setahun yang lalu, aku menyaksikan Fitri membaca sebuah sajak di Kick Andy. Sajak rindu yang diliputi kesamaran.Sajak yang miris memanggil-manggil sebuah nama untuk pulang. Dalam malam - malam yang hening itu Mbok sipon pasti menahan tangis dihatinya. Dalam-dalam. Menyaksikan kedua anaknya tumbuh bersama kedukaan. Duka yang terikat pada sebuah nama, yang makin jauh mengabur dan semakin tak pernah pulang.
Tidak ada yang tahu Thukul dimana. Ada yang bilang Thukul disembunyikan kelompok yang bersimpati padanya. Ada yang bilang Thukul melarikan diri ke luar negeri. Ada juga yang bilang Thukul masih hidup, dan hanya Mbok Sipon yang tahu keberadaannya. Tapi semua teori itu mentah, karena semua justru terus mempertanyakan nasib Thukul. Ada juga yang beranggapan, Thukul berinisiatif sendiri untuk tidak menampakkan diri sampai saat yang ia anggap tepat. Tapi disaat rezim itu sudah tumbang, dan keterbukaan yang selama ini jadi cita-cita suara Thukul sejak lama telah lahir, Thukul tak juga tak pulang.
Aku secara pribadi, lebih setuju pada sebuah hipotesis politis. Sebab sepanjang sejarah perjuangan politiknya, Thukul tak pernah lelah menentang Soeharto dan kekuatan Militernya. Ia juga pernah aktif di PRD, partai kiri yang selalu di "musuhi" pemerintah dan militer. Thukul diculik dan dilenyapkan secara paksa dalam sebuah operasi militer. Ia (di)hilang(kan) sama seperti aktivis-aktivis lain pada masa itu, yang sampai saat ini mereka tak pernah kembali!
Thukul telah menjalani proses sebagai manusia. Seperti yang pernah ia sebut, ia adalah bunga tak dikehendaki tumbuh. Ia dilahirkan ditengah masyarakat yang dimarjinalkan keberadaannya, benar juga kecuali dalam angka statistik dan bahan kampanye. Sejak lahir ia telah akrab dengan ketiadaan, kemiskinan, bau-bau busuk dari got pembuangan pabrik dan ketidakadilan pembangunan. Ia hafal dengan itu semua dan pada puisilah ia meledakkan ide-idenya. Baginya, tidak ada jarak antara puisi dan kenyataan hidup. Dengan puisi ia mengekspresikan aspirasi yang paling dekat dengan keadaan sekitarnya. Dengan puisi ia peduli terhadap persoalan yang tak pernah didengar. Dengan puisi ia menyuarakan protes kaum buruh pada majikan, juga perlawanan rakyat kecil pada penguasa. Perlawanan melawan keterbatasan dengan mengenalkan pada keindahaan yang bisa berada dimana saja dan melampaui batas-batas kelas.
22 Juli Tahun 1996, saat itulah terakhir kali Thukul tampil didepan umum, karena tak lama kemudian ia menghilang. Pada hari itu ia menyampaikan "Peringatan" yang sangat menggugah itu. Setelah Kudatuli meletus, semua jadi tidak bersahabat bagi Thukul. organisasinya di jadikan kambing hitam kerusuhan, dan ia sendiri dinyatakan oleh rezim waktu itu sebagai buronan. Dan cerita kelam itupun tumbuh pelan-pelan. Thukul pergi dan tak kembali.
Sekarang sudah 1 dekade berlalu. Sepanjang itu pula perasaan gelisah itu setia menggantung di alam bawah sadar Mbok Sipon. Tapi perempuan itu selalu terlihat tenang dan sabar. Entahlah, karena antara kekuatan menahan, pasrah, putus asa kadang mau tidak mau harus dikalahkan. Sepanjang itu ia ditangisi kedua anaknya sambil menanyakan kenapa bapak gak pernah pulang. Keluarga yang malang.
Seorang rekan Thukul, yang pernah bertemu Fitri Nganti Wani menuturkan, "Tatapan matanya membuat saya tidak tahan. Kerinduan, harapan, kepedihan dan kemarahan berpijar dari sepasang mata anak muda itu". Perasaan campur aduk itu selamanya akan selalu hidup di hati Fitri, juga Fajar adiknya.
Keluarga itu harus jadi korban sejarah. Kehilangan masa depan bersama. Tapi diantara beban itu, Mbok Sipon tak pernah kalah oleh waktu. Ia tegar membesarkan kedua anaknya sebagai sebuah takdir yang lambat laun harus dimaklumi. Meski selamanya akan tersa pilu dan muram, saat nama Thukul diperdengarkan padanya.
No comments:
Post a Comment