"Sebagai bunga yang sedang hendak mekar, digugurkan angin yang keras"
Aku takjub saat pertama membaca tulisan itu. mungkin dengan kegemparan yang sama dengan Milly Ratulangi dan anak-anak muda zaman itu, hampir 60 tahun yang lalu. Saat itu Milly masih gadis. ia tinggal di Jakarta. Sebuah kalimat dari sepucuk surat yang dikirim oleh Woce, untuknya. Aku tak tahu apa hubungan mereka. Tapi mungkin Milly adalah orang yang spesial bagi Woce.
Woce, masih sangat muda waktu itu. umurnya baru 24 tahun, sama denganku tahun depan. Umur 21 ia telah meninggalkan sekolahnya, persis di bulan Juli tahun 1946. Ia memutuskan menghilang. meninggalkan keluarganya, meninggalkan sukacita masa muda yang masih mungkin dihisapnya. Tidak ada yang tau Woce dimana. Apakah dia masih hidup atau mati muda. Rakyat disana saling menyebar berita dalam bisik-bisik, bahwa Woce masih hidup dan ikut bergabung dalam pasukan pejuang kemerdekaan di pedalaman Sulawesi Selatan.
Woce berjuang memanggul senjata, untuk sebuah perjuangan yang paling mungkin saat itu. Melewati gelap yang dingin, atau terang yang panas. Tiada makanan layak, pakaian yang cukup, juga kesempatan untuk tidur nyenyak. Woce memilih bertarung. Karena baginya tidak ada pilihan lain. Ia memilih ini karena cinta. Cinta pada Ibu Pertiwi yang masih bayi dan setia yang sampai akhir dalam keyakinan.
Woce terus bertarung. suatu hari ia terluka. Ia masih tetap berjuang. Lalu ia ditangkap, ia tidak menyerah. Ia melarikan diri dan berperang lagi. Woce membawa dirinya untuk bertahan dalam peperangan itu, dan ia menjelma menjadi seorang pemimpin gerilya yang di takuti Belanda. Tapi
malang , ia tertangkap lagi. Ia pun di jatuhi hukuman mati, untuk manusia semuda dia.
Tapi Woce tidak pernah takut pada kematian. Ia masih punya kesempatan hidup Andai saja ia mau mengajukan Grasi dan meminta maaf pada pemerintah kolonial. Tapi disebuah persidangan Woce menolaknya. Konon, papanya pun meminta Woce untuk minta ampun saja, agar Woce tidak dihukum mati. Tapi sekali lagi, Woce kembali menolak. Ia sadar akan kesedihan papanya, keluarganya dan mungkin juga kepedihan Milly. Tapi Woce tetap setia pada keyakinannya dan sudah lama menerima apa yang datang bersama zamannya.
Empat hari menjelang eksekusi, Woce menulis sepucuk surat untuk Milly di jakarta . Sepucuk
surat yang sangat ingin aku baca. surat yang menyimpan kata-kata terakhir Woce dihidupnya. Sesuatu yang pasti akan sangat menggetarkan, melewati zaman-zaman sesudahnya.
Woce tengah berdoa dimalam terakhirnya. Ia masih bisa berdoa dengan tenang. Entah apa yang dimintanya pada Tuhan, aku ingin sekali tahu.
5 September 1949, Woce dieksekusi. Ada yang mencatat beberapa menit sebelum dieksekusi, Woce memberi maaf pada regu serdadu yang bertugas menghabisi nyawanya. Woce mati untuk Republik yang masih muda. Untuk harapan yang masih belum memiliki kebimbangan.
Seperti kalimat diatas, woce adalah bunga yang sedang hendak mekar, dan terpaan angin yang keras itu menggugurkannya. Tapi angin keras itu akan membuatnya untuk dikenang.
Jika tidak ada yang mau mengingatnya, Biar saya sendiri yang melakukannya
*) terinspirasi dari Monginsidi, Chairil dan Kartini – GM
No comments:
Post a Comment